[Wacana] Full Day School. Setuju Aja, Asalkan ...

By Keke Naima - August 29, 2016

Wacana Full Day School setuju

CATATAN:

  1. Postingan ini murni berdasarkan pendapat dan pengalaman pribadi. Chi tidak membanding-bandingkan Full Day School (FDS) dengan keadaan negara lain atau apapun yang Chi kurang/tidak paham.
  2. Chi tau kalau FDS yang dilontarkan pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy baru wacana. Tapi, boleh dong sesekali Chi berwacana juga menanggapinya. Di beberapa media pun diberitakan kalau FDS baru sebatas jualan ide. Dan pak menteri ingin respon dari masyarakat untuk jualannya ini. :)
  3. Di salah satu media, pak menteri mengatakan kalau wacana ini lebih tepat disebut Ko-Kurikuler bukan FDS. Chi sempat berpikir kalau jangan-jangan media yang salah kutip. Tapi kemudian Chi membaca salah satu artikel di website Sahabat Keluarga Kemdikbud. Di sana masih menggunakan istilah FDS. Jadi, Chi tetap pakai istilah FDS karena di web Kemdikbud saja masih menggunakan istilah itu *Sayangnya begitu postingan ini publish, artikel di web tersebut sudah tidak ada. Keterangannya Error 400 :)*

 

    Reguler, Full Day, Pesantren, Home Schooling, dan lain sebagainya, manakah model sekolah yang paling baik?

    Menurut Chi, tidak ada satupun model sekolah yang bisa meng-klaim paling baik dibanding yang lain.

    Setiap sekolah punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan kecocokan setiap anak dengan model sekolah bisa berbeda-beda. Tidak bisa digeneralisir. Anak A cocok dengan homeschooling, belum tentu anak B juga. Anak C cocok banget dengan full day school, anak D mungkin lebih bahagia dengan reguler school.

    Setiap kali memilihkan sekolah buat Keke dan Nai, Chi selalu membutuhkan waktu yang panjang. Bisa lebih dari 1 tahun. Keke baru masuk TK, Chi udah mencari SD. Keke baru naik kelas 5, Chi udah cari SMP. Mungkin nanti Keke kelas 8, Chi udah mulai cari SMA. Malah udah dari sekarang, ding hehehe. Semua model sekolah yang Chi tulis di atas pun sudah pernah ditawarkan ke Keke dan Nai.

    Setelah pertimbangan yang cukup banyak dan panjang, Keke dan Nai pun bersekolah dasar di salah satu SD islam swasta. Tadinya, Chi menawarkan Keke untuk melanjutkan di SMP yang sama dengan SDnya. Tapi memang akhirnya dia berada di SMP Negeri yang tentu saja sudah melalui berbagai pertimbangan.


    Seandainya Keke sekarang lanjut di SMP islam swasta yang sama dengan SDnya mungkin Chi akan tergelitik untuk mengatakan/nyetatus kalau FDS itu asik. Buktinya Keke dan Nai selalu betah di sekolah. Sejak TK, sudah seringkali mereka sulit diajak pulang saking betah di sekolah. Kalau sekolah belum sepi banget kayaknya belum mau pulang. Bahkan salah satu tujuan Keke bersepeda ke sekolah saat itu adalah supaya gak diburu-buru pulang ma bundanya. Suasana sekolah, kegiatan belajar-mengajar, hingga guru-gurunya banyak yang asik bagi mereka. Sampe sekarang pun Keke mengakui kalau guru-guru SDnya adalah yang terbaik. Bukan hanya pengajar tetapi juga pembimbing.


    Ya, Chi mungkin akan tergelitik untuk mengatakan kalau FDS itu asik banget. Tapi, sepertinya akan Chi tahan untuk tetap keep silent juga karena kalau Keke kembali bersekolah di tempat yang sama berarti gak punya pembanding. Gak tau seperti apa kondisi sekolah negeri, pesantren, atau home schooling. Hanya sebatas katanya dan katanya. Bahkan sesama sekolah swasta yang menerapkan FDS pun kondisinya belum tentu sama. Tapi karena sekarang punya pembanding, maka lahirlah tulisan ini. Dan, seperti yang tertulis di disclaimer nomor 1 memang tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi.


    Kegiatan Belajar Mengajar vs Ekstra Kurikuler


    Bunda: "Ke, misalnya sekolah Keke itu jadi FDS. Pulangnya jam 5 sore setiap harinya. Senin sampe Jum'at aja, sih. Belajarnya juga setengah hari aja, selebihnya ekskul. Udah gitu ekskulnya asik, misalnya fotografi, videography, atau apapun yang menurut Keke menarik, lah. Keke mau gak FDS?"
    Keke: "Hmmm ... menarik. Tapi, trus kapan Keke ngerjain PR kalau FDS?"

    Krik ... krik ... krik ... krik ... Kami pun pun saling nyengir karena sudah saling tahu jawabannya.

    Jadi gini, ketika SD, sepulang sekolah adalah jam bermain Keke dan Nai. Terserah deh mau main di sekolah atau rumah. Yang penting Chi tau mereka dimana, main sama siapa, dan sebagainya. Selepas maghrib, mereka baru mulai belajar. Itupun gak setiap hari. Kalau mereka sudah bisa menangkap pelajaran di kelas, Chi merasa gak perlu belajar lagi di rumah. Bahkan peraturan ini juga berlaku saat menghadapi UH, UTS, dan UAS. Kalau merasa sudah bisa ya gak perlu belajar lagi di rumah. Untuk tahu mereka sudah bisa atau enggak, bisa dnegan cara bertanya secara acak, mendengar laporan dari wali kelas, meminta mereka bercerita tentang apa aja kegiatan di sekolah pada hari itu, dan lain sebagainya.

    Ketika SMP, PR Keke itu menumpuk. Hampir setiap hari ada PR. Sering kali waktu mengerjakan PR sangat kurang kalau baru dikerjakan usai maghrib. Mau gak mau Keke harus mengorbankan jam bermainnya kalau lagi banyak banget. Kadang guru absen pun, tetep aja PRnya ada.

    Bunda: "Tenang, Nak. Bunda yang akan menemani dan mengajari Keke pelajaran yang belum ngerti. Termasuk juga untuk PR."

    Emang Chi jago matematika? Bahasa Indonesia? IPA? IPS? Atau lainnya? Enggak. Chi biasa aja, kok. Tapi, Chi bicara seperti itu untuk menyemangati Keke. Coba kalau Chi ikutan suntuk juga? *paling sesekali ngerutu doang wkwkwk.*  Bisa tambah berat beban Keke kalau Chi ikutan suntuk.

    Konsekuensinya, Chi harus belajar lagi. Pusyiiinngg ... Ketika Keke sekolah, Chi coba pakai buat belajar di rumah. Biar siap kalau ngajarin Keke hehehe.

    Bersyukurlah juga ada social media. Seperti beberapa hari lalu, Chi pusing sama PR IPA Keke tentang percampuran asam dan basa. Banyak teman-teman yang bersedia membantu mengajari cari jawabannya. Chi memang sengaja minta diajari mencari jawabannya bukan langsung jawabannya supaya Chi dan Keke mengerti cara mengerjakannya. Chi bener-bener terharu sama kesediaan teman-teman. Terima kasih banyak, ya :)

    Bunda: "Ayo tidur, Nak."
    Keke: "Tapi, PR Keke belum selesai, Bun."
    Bunda: "Keke udah mengorbankan jam bermain. Tidur pun beberapa kali mulai larut malam. Semua demi PR. Gak bisa begini terus. Di usiamu sekarang masih sangat berhak untuk main dan tidur cukup."
    Keke: "Tapi kalau Keke ditegur guru gimana?"
    Bunda: "Jelaskan dan terima konsekuensinya. Setidaknya guru-guru mu juga harus tau alasan kenapa PRmu gak selesai. Selama konsekuensinya masih masuk akal, terima aja."
    Keke: "Tapi kalau enggak?"
    Bunda: "Bunda yang akan ke sekolah untuk menjelaskan."
    Tenaaaanngg ... Chi gak akan seperti berbagai kasus yang akhir-akhir terjadi, kok. Gak akan main hakim sendiri. Tapi kalau ajak ngobrol aja boleh, dong? Sampai saat ini sih belum pernah kejadian. Keke masih bisa menanganinya sendiri dengan baik.

    Nah, kalau waktu bermain Keke sudah mulai terpakai untuk mengerjakan PR. Siapa yang bisa menjawab pertanyaan Keke di atas? Kapan Keke ngerjain PR kalau FDS? Pertanyaan seorang siswa yang merasakan langsung, lho. Chi bolak-balik cari berita di berbagai portal, kali aja ada janji tidak boleh ada PR di sekolah. Sampe sekarang belum ketemu ;)

    Katanya, kalau FDS maka jam istirahat anak juga akan lebih banyak. Tapi buat Chi, istirahat tuh tetap lebih enak di rumah. Mau tiduran, mau nonton tv, atau mau apapun silakan aja. Lagipula apa harus ekskul tiap hari? Apakah ekskul yang diinginkan ada? Kualitasnya bagaimana? Di luar sekolah juga banyak kegiatan atau tempat kursus dengan kualitas baik, lho. Kursus renang, musik, bela diri, dan masih banyak lagi dengan pelatih yang berkualitas. Syukurlah kalau sekolah memang bisa menyediakan pelatih yang sama kualitasnya kalau FDS. Tapi, trus biayanya gimana? Hmmm ... Katanya kalau sampai jadi berarti sekolah negeri gak jadi gratis, ya? ;)

    Pengalaman pribadi aja, nih. Keke sempat privat drum di rumah selama beberapa tahun. Sekarang sudah berhenti karena jam sekolahnya kan bertambah lalu waktu kursusnya jadi gak klop ma gurunya. Dari tentang musik aja, apakah sekolah bisa menyediakan ruangan musik dengan alat yang lengkap? Karena bicara tentang musik gak hanya tentang suling dan pianika, lho.


    Belajar Karakter, Pahami Karakter


    Ibu memiliki selembar roti yang akan dibagi sama rata untuk 4 anaknya. Berapa bagiankah masing-masing anak mendapatkan roti?

    Untuk contoh soal matematika di atas, bagaimana cara yang tepat mengajarkan kepada anak? Pengalaman Chi, kalau ke Keke itu tinggal kasih tau aja. Caranya 1 dibagi empat. Tapi kalau sama Nai gak bisa begitu. Chi harus menggambar roti lalu roti tersebut dibagi empat. Bersyukur kalau setelah itu selesai. Tiba-tiba dia bertanya begini ...

    Nai: "Bunda yakin rotinya itu kotak? Kalau ibunya punya roti bulet gimana?"

    Gubrak!!

    Tapi ya begitulah, mereka punya karakter masing-masing bahkan dalam hal belajar. Keke lebih ke auditori sedangkan Nai ke visual untuk gaya belajar. Walaupun saudara kandung, bukan berarti mereka punya karakter yang sama. Bahkan Chi sebagai ibu kandung mereka pun seringkali harus cenat-cenut memahami mereka. 2 anak dengan 2 karakter berbeda.

    Itulah kenapa Chi gak gampang protes ke guru termasuk kalau anak-anak belum mengerti. Kebayang sekian puluh murid harus diajar secara bersamaan. Pastinya gak mudah banget karena setiap anak punya karakter berbeda. Selama gurunya masih ramah sama anak-anak, Chi masih respons positif ajalah. Enggak banget sama guru yang main hukuman fisik, ya. Walaupun mungkin guru zaman dulu ada yang seperti itu. Tapi zaman udah beda. Gak main hukuman fisik, bukan berarti bikin anak jadi lemah, kok :)

    Keke lebih suka kelas yang aktif. Dia lebih suka berdiskusi dengan guru atau teman ketimbang hanya mencatat, menyalin, atau hal-hal seperti itu. Dia sempat mengeluh karena di SMP kesempatan dia untuk berdiskusi nyaris gak ada.

    Chi juga lebih suka dengan kelas aktif, sih. Justru kelas aktif bisa sekalian menanamkan pendidikan karakter. Tapi, Chi juga bilang kalau keadaan gak memungkin jangan memaksa. Biar gimana sekolah di sekolah negeri rasio murid per kelasnya banyak. Wajar kalau Keke sulit untuk berdiskusi. Lebih baik Keke mengalah saja. Nanti kalau diskusi sama bundanya di rumah. Mau berdebat tentang pelajaran juga silakan aja kalau sama bunda hehehe.

    Ketika Kurikulum 2013 (kurtilas) mulai dikenalkan, Chi termasuk yang setuju. Karena kurtilas lebih menekankan pendidikan karakter. Anak-anak pun makin senang belajar di sekolah setelah kurikulumnya diganti jadi kurtilas. Memang buat orang tua jadi sedikit merepotkan karena text book aja gak cukup. Harus cari ilmu dari berbagai sumber. Tapi buat Chi asalkan anaknya senang, gak apa-apa.

    Tidak hanya karakter guru yang ramah anak. Karakter anak juga banyak ragamnya. Kalau sekolah benar-benar tempat yang aman, maka seharusnya gak mungkin ada bully di sekolah, kan?

    Wajar banget kalau sampe ada pro kontra. Selain sesuatu yang baru juga mendidik karakter itu sulit. Seperti jabaran tadi, mendidik karakter 2 anak kandung aja kadang bikin Chi jungkir balik. Apalagi mendidik anak orang lain? Tapi bisa banget asalkan mau berusaha. Paling tidak di SD Keke dulu, sebelum ikut kurtilas kegiatan belajar-mengajarnya tetap menyenangkan, kok. Ramah anak. Apapun kurikulumnya, kalau para pengajarnya bisa ramah anak, bisa tetap asik dan disukai anak. Ya, kalau Chi boleh meminta, sebelum berencana FDS apa gak sebaiknya kegiatan belajar dan mengajar yang sudah ada dibikin menyenangkan dulu?


    Jam Sibuk


    Pernah merasakan trafik lalu-lintas di jam sibuk? Maceeeettt ... Apalagi jalur ke sekolah Keke memang jalur macet. Bisa-bisa Chi pusing urusan transportasi umum kalau jadi FDS. Gak mungkin Chi jemput karena susah banget parkirnya. Lahannya sangat sempit lagian gak boleh parkir di jalan.

    Sejak SMP, Keke naik ojek online. Tapi apa iya di jam sibuk ojek online mudah didapat? Pengalaman pribadi, nih, beruntung banget kalau begitu order pada saat jam sibuk trus langsung dapat. Biasanya lebih dari 30 menit atau malah 1 jam-an baru dapet. Cobain aja, deh hehehe. Trus mau sampe rumah jam berapa?

    Salah satu tujuan FDS kan biar anak dijemput orang tua. Chi jelas gak mungkin jemput. Begitupun K'Aie yang setiap hari pulang dari kantor itu malam hari. Pekerjaannya bukan tipe 9 to 5. Ya, kalau Chi lebih memilih menciptakan benteng yang kuat untuk anak. Dijemput atau tidak, mereka akan bisa bertahan untuk tidak aneh-aneh. Memang bukan proses yang mudah, tapi Chi tetap memilih seperti itu. Biar anak juga belajar mandiri.


    Bonding


    Chi belum pernah merasakan Full Day School. Tapi ketika SMP mungkin bisa dikatakan Chi merasakan FDS ala-ala. Maksudnya, setiap hari selalu berangkat dan pulang bersama orang tua. Itu karena saat SMP udah resmi jadi warga Bekasi sedangkan sekolah masih di Jakarta Pusat. Kelas 1 kan masuk siang, sedangkan orang tua belum mengizinkan naik angkot. Jadi, setiap pagi diantar ke rumah almarhum uwa yang dekat sekolah.

    Berangkat dan pulang bersama orang tua dijamin lebih aman. Setidaknya dibanding naik angkot atau bis. Chi beberapa kali mengalami kecopetan. Adik Chi malah dipalak sepatunya di bis kota. Belum lagi kalau ketemu orang yang aneh kelakuannya. Tapi bagaimana dengan bonding orang tua dan anak?

    Inget banget kalau mamah pernah bertanya kenapa Chi selalu terlihat ceria saat bersama teman, sedangkan begitu masuk mobil terlihat sangat diam. Chi gak marah atau kesal sama orang tua, kok. Chi hanya cape. Pagi-pagi sebelum pukul 6 sudah harus ikut orang tua untuk diantar ke rumah uwa.

    Saking paginya, masuk mobil gak pake mandi dan sarapan juga seringkali di mobil. Kadang malah ngelanjutin tidur.
    Kalau lagi gak ada PR, Chi bisa melanjutkan tidur lagi di rumah uwa. Tapi kalau ada, berarti harus belajar. Menjelang tengah hari, Chi jalan kaki ke sekolah. Pulang sore dan beruntung  banget kalau orang tua gak lembur. Kalau lembur ya berarti maleman pulangnya. Kemudian esok harinya rutinitas kembali terulang. Dulu mah boro-boro punya handphone, telepon rumah aja gak ada. Jadi keseharian jarang ngobrol ma orang tua walaupun sekadar tanya kabar.

    Tapi, setelah Chi jadi orang tua mulai menyadari kalau bonding susah terjalin bila hanya dibentuk saat weekend saja. Bukan gak bisa, tapi lebih sulit. Chi beruntung orang tua masih suka ajak jalan-jalan kalau weekend. Atau biasanya mamah masak masakan yang spesial saat weekend. Setdaknya di saat weekend durasi obrolan orang tua -anak lebih banyak. Walaupun begitu, tetap aja sebaiknya bonding dijalin secara kontinyu setiap hari.

    Chi membayangkan seandainya jadi FDS, ketika Keke pulang ke rumah dia akan bahagia karena makanan favorit buatan bunda sudah tersedia untuk makan malam. Etapi kemudian Chi mikir lagi. Apa dia akan beneran tetap bahagia? Kalau dia kayak Chi dulu gimana? Sampe rumah cuma diam, masuk kamar, trus tidur dengan alasan cape? Trus kalau ada PR gimana? Tambah diem, deh. Huaaa ... Chi bingung harus bagaimana kalau begitu. Udah kebayang bebannya Keke.


    Siapa yang Makan Masakan Bunda


    "Bunda, hari ini bekalnya apa?"
    "Bunda, hari ini masak apa?"

    Bekal adalah pertanyaan Keke dan Nai setiap pagi. Sedangkan masak apa adalah pertanyaan mereka begitu melihat wajah Chi setelah pulang sekolah. Begitu terus pertanyaan rutin mereka setiap hari. Kalau masakannya favorit, mereka akan bersorak kegirangan. Tapi kalau kurang mereka suka biasanya suka nanya, "Gak ada makanan lain?" Kalau udah gitu biasanya ceramahan Chi keluar hahaha.
    Siapa yang makan masakan Bunda kalau sampe FDS? Mungkin kesannya Chi becanda ketika berpikir begitu, ya? Keke dan Nai setiap hari masih dibawain bekal buatan Chi. Tapi tetap aja makan di rumah itu lebih nikmat dibandingkan makan di sekolah walaupun sama-sama buatan bunda.

    Kalau di rumah kan bisa lebih santai. Gak dikejar waktu ma bel sekolah. Makan di rumah juga suasana kekeluargaannya dapet banget. Sambil makan bisa saling bercerita. Chi banyak tau kegiatan mereka saat sekolah, salah satunya saat makan. Kalau sampai FDS, tentu aja suasana kekeluargaan ini akan hilang atau berkurang.

    Chi gak menentang bulat-bulat FDS, kok. Buat Chi, Full Day School sih setuju aja asalkan banyak syarat yang harus dipikirkan. FDS gak sebatas bicara berapa lama ada di sekolah. Mampukah menciptakan sekolah yang ramah anak? Mampukah menjawab pertanyaan Keke tentang PR bila harus FDS? Dan, masih banyak lagi yang harus dipertimbangkan.
    Lebih mudah memerintahkan anak untuk diam dengan gaya yang yang galak kalau perlu memberi hukuman. Daripada menjadi pengajar berkarakter yang mengerti anak itu butuh proses panjang. Mampukah para pengajar menjadi ramah anak menghadapi karakter anak yang rupa-rupa? Ya, Chi pun sering kali tergoda untuk bilang, "Dengerin, Bunda! Ini tuh caranya begini. Masa' gak paham, sih!" Tapi nyatanya gak bisa, setiap anak punya karakter masing-masing yang harus dipahami Chi.

    Belum lagi kalau bicara biaya. Sekolah swasta umumnya mahal karena memiliki fasilitas yang lebih. Fasilitas yang bisa dinikmati anak. Bagaimana dengan sekolah negeri yang gratis? Etapi katanya kalau FDS jadi diterapkan sekolah gak gratis lagi, ya?

    Ah, banyak lah yang harus dipikirin. Chi cuma ibu rumah tangga yang hanya berpikir dari sisi Chi aja, kok. Percaya deh banyak yang lebih ahli di luaran sana. Seperti biasa, Chi gak akan mengeluh berkepanjangan. Sekadar wacana ibu rumah tangga aja. Seandainya FDS diterapkan di sekolah Keke, paling Chi mengamati dulu. Kalau ternyata oke, ya lanjut. Gak oke, ya pindahin. Tapi, (sekali lagi) ini hanya rencana Chi ya. Bukan saran untuk semua orang kalau gak cocok tinggal pindah. Tidak mengeneralisir seperti itu.
    Sumber:


    1. http://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=3455

    • Share:

    You Might Also Like

    30 comments

    1. Masih bingung sih antara setuju dan tidak.

      ReplyDelete
    2. Antara setuju dan tidak ya mbak... Tapi tetap gak kebayang anak Pulang jam 5 sore. Byuuuh...

      ReplyDelete
      Replies
      1. saya juga masih melihat, sih. Tapi memang kesorean kalau anak pulang jam segitu :D

        Delete
    3. Akuuu... Jika gurunya enak setuju tapi kan gak semua guru enak #eh

      ReplyDelete
    4. Bener banget mba..kalo sekolah keke sekarang, rasanya berat deh kl full day..

      ReplyDelete
      Replies
      1. yah begitulah, Mbak. Baru mikir PR aja rasanya udah suntuk :D

        Delete
    5. Saya selalu suka dengan dialog-dialog antara anak dan orangtuanya. Di sinilah sesungguhnya kunci keberhasilan pendidikan anak, terlepas dari FDS atau tidak.

      ReplyDelete
      Replies
      1. semoga komunikasi antara orang tua dan anak selalu terjalin dengan baik, ya

        Delete
    6. kayaknya belum siap kalau full day school deh

      ReplyDelete
    7. Ke mikirin PR yaaa hihii.. Klo FDS pulang jam 5, lumayan banget ya mba.. Aku kasian, takutnya bosen ngga sih mba, dan waktu bersama pasti kurang. Aku bakalan menatap panci aja klo beberapa tahun lagi anak2 FDS :'( sepi

      ReplyDelete
      Replies
      1. susah untuk gak dipikirin karena PRnya setumpuk hampir setiap hari hehehe. Kalau sekolahnya tida/kurang menyenangkan, cuma setengah hari aja udah membosankan. Sama, saya juga bakal kesepian banget ini kalau anak-anak beneran FDS

        Delete
    8. Setuju mbaaa Chi.. Sekolah akan menjadi baik sekali ketika anak-anak menikmatinya. Di sini Bo et Obi mulai sekolah dari jam 8.10 - 2.45. Namun melihat materi belajar dan METODE pengajarannya, memang berbeda dan asyik mba chi.. Jadi anak-anak menikmati proses belajar mereka.. Yah, saya saelalu berharap yang terbaik untuk anak-anak dan juga sistem pendidikan yang berkualitas

      ReplyDelete
      Replies
      1. yup! Poin utamanya juga menurut saya itu. Apakah anak-anak menikmati? Tentu supaya anak-anak menikmati harus ada sesuatu yang diberikan kepada mereka yang sekiranya akan menyenangkan dalam kegiatan belajar mengajar

        Delete
    9. Akhirnya, saya mikirnya gini: kalau anak mau dan happy, maka sy setuju. Tp kalau anak gak mau, ya sy gak setuju hehehe.... labil ya😆 tp sy sdh tanya ke anak saya dan dia bilang sih gak mau. Jadi... saya gak setuju😊

      ReplyDelete
      Replies
      1. Iya, kadang saya juga suka tanya ma anak. Tapi memang sambil diajak diskusi juga

        Delete
    10. Saya juga mikirnya kalau anak-anak dikasih jam tidur siang di sekolah tetep gak efektif. Masih nyaman tidur di rumah. Ekstra kurikuler pun masa selama itu, dengan durasi setiap hari. Selain capek, mereka juga pasti mblenger. Dan yang penting lagi masakan Mama di rumah siapa yang makan? Kalau Mama kangen ngobrol sama anak-anak, gimana? ini juga perlu jadi catatan orang tua dong hehe..

      Makasih Mbak Chi, curhatnya gamblang banget, lengkap dan maknyus! :D

      ReplyDelete
      Replies
      1. Dikasih jam tidur di sekolah yang ada malah main hehehe

        Delete
    11. Kata Pak Menteri sih, karena gak ada tambahan Pelajaran, jadi di Sekolah sambil nunggu jam pulang anak-anak bisa ngerjain PR bersama juga katanya Mbak.

      Hmm, FDS ooh FDS. Kembali ke masing2 individunya lagi yah Mbak :)

      Tapiii, saya sukaaaaa banget dengan postingan ini ;)

      ReplyDelete
      Replies
      1. Iya memang kembali ke individunya. Tapi kalau ngerjain PR di sekolah namanya bukan PR lagi, dong :)

        Delete
    12. Saya juga ngerasa kalo anak2 tidur di sekolah tuh kurang nyaman. Namanya anak banyak, masa iya bisa tidur semua? Trus gak sebebas di rumah. Masalah bondong, masakan ibu, samaaa Mbak saya ngerasa nya.
      Bisa sih ya FDS, tapi berat banget kayaknya. Realistisnya seperti itu sih menurut saya :)

      ReplyDelete
      Replies
      1. Kalau di rumah bisa tidur dengan gaya lebih bebas hehehe

        Delete
    13. kasihan banget sama anak-anak yang mengorbankan waktu bermainnya hanya untuk ngerjain PR :(

      ReplyDelete
    14. aku mah gak setuju . karena sekolah belum bisa memberikan pelayanan ektrakurikuler yang baik. berapa sih jenis ekstra di sekolah??? bisa dihitung jari??? pakai guru profesioanl??? gak kadang kakak alumni yang ngajarnya. saat smp dan sma kedua anak saya gak pernah ikut ekstra karena gak ada yang dia senangi. Jadinya mereka aku masukkan ke klub dimana merejka tertarik. Nah bagi anak2ku gini bsia stres seharian di sekolah dg tak adanya yang dia suka. Aku gak masukan ke sekolah islam yg FDS karena sore harinya dipakai belajar agama, saya sudah mengadakan sendiri di rumah panggil guru. Anak ajdi bisa bermain atau mau tidur siang terserah mereka dan punya jadwal kursus setiap minggunya. Dan dari kesukaannya dan sudah amsuk klub dia bisa cari duit dari hobunay sekarang sambil kuliah, karena di klubnya benar2 diarahkan dengan yang profesioanl

      ReplyDelete
    15. menurutku setuju ga setuju.La wong sekarang aja smp negeri sekolahnya dah full, ya ngikutin aja kebijakan masing2 sekolah.
      YAng penting mah anak belajar sesuai dengan kemampuannya :D

      ReplyDelete
      Replies
      1. Dan anak-anak saya kayaknya gak sanggup full day kalau pulangnya masih dikasih setumpuk PR hehhee

        Delete
    16. sekolah swasta bisa full biasanya karena fasilitas belajar mendukung, terus gurunya juga lebih sejahtera

      ReplyDelete

    Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)

    Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^