7 Tips Berdebat dengan Anak Remaja

By Keke Naima - April 07, 2023

Pengennya anak, tuh, selalu nurut sama orangtua. Tapi, terkadang suka ada aja hal-hal yang bikin berdebat dengan anak remaja. Bikin pusing!
 
Sebetulnya yang seringkali bikin pusing kalau perdebatan menjadi pertengkaran. Sama-sama emosi. Nah, Chi akan berbagi 7 tips berdebat dengan anak remaja berdasarkan pengalaman pribadi, ya.

7 Tips Berdebat dengan Anak Remaja

 

Tetap Tenang dan Kontrol Emosi

 
Memang gak mudah untuk berusaha tetap tenang ketika menghadapi situasi yang kemungkinan akan berdebat dengan anak. Bawaannya pengen langsung ngomeeeeel. Tetapi, kepala rasanya semacam 'alarm' bagi tubuh Chi. Suka langsung sakit, kalau kebawa emosi. Suka agak lama reda pusingnya.
 
Makanya, berusaha untuk tetap tenang. Kalaupun sekiranya sulit, Chi akan meminta waktu. K'Aie dan anak-anak udah paham kalau Chi udah bilang, "Haduuuhh! Nanti dulu deh bahasnya. Dipikirin dulu daripada Bunda sakit kepala."

Gak apa-apa. Lebih baik menunda pembahasan daripada memaksakan untuk tetap berdebat. Tapi, kemudian bukan berdebat yang sehat. Malah jadinya berantem. Sedih!


Berdebat Bukan Berarti Gak Sayang


Tadinya sempat terlintas di pikiran kalau setiap kali anak berdebat artinya mereka gak sayang. Gak cinta sama orangtua. Langsung overthinking dengan segala kekhawatiran. Akhirnya malah jadi baper sendiri.

Mulai berusaha kurang-kurangin pikiran seperti itu. Kalau perlu hilangkan, deh. Anak kalau berdebat bukan berarti udah gak sayang lagi. Tetap saya, kok sama orangtuanya.

Makanya hindari pemikiran seperti itu. Karena justru kalau dibiarkan bisa memancing emosi. Kekhawatiran yang menguasai bikin gak fokus dengan permasalahan yang sebenarnya.

Usia remaja masih masa pencarian jati diri. Seringkali mereka bingung dengan segala perubahan pada dirinya karena hormon. Bingung juga dengan pergaulan yang belum tentu 'semanis' ketika masih SD. Ya, anak remaja sebetulnya juga udah jumpalitan dengan kehidupannya.

Makanya, terkadang mereka lampiaskan itu ke orangtua. Justru bisa jadi karena merasa hubungan dengan orangtuanya dekat. Jadi merasa lebih mudah untuk melepaskan emosi.
 


Cukup Berdebat dengan Salah Satu Orang Tua


menghadapi tantangan anak remaja dan permasalahannya

Tentu Chi yang paling sering berdebat dengaan Keke dan Nai. Alasannya lebih karena quantity time. Chi kan lebih sering ada di rumah.

Chi danK'Aie juga seringkali sepakat kalau kami satu suara. Pendapat apapun yang Chi keluarkan, berarti K'Aie setuju. Begitupun sebaliknya. Kalau pun ada perbedaan, kami memilih diskusi berdua dulu.

Tetapi, karena Chi mudah sakit kepala, tentu pernah beberapa kali meminta waktu jeda. Lalu bagaimana kalau sikonnya harus memutuskan dengan cepat?

Biasanya meminta anak-anak untuk langsung diskusi dengan ayahnya. Bisa juga untuk beberapa topik tertentu memang sebaiknya gak hanya Chi yang bicara. Contohnya ketika Nai minta izin dibolehin ikut demo tentang lingkungan hidup. Chi sempat terdiam, gak langsung menjawab.

"Dulu, Keke dibolehin! Masa' Ima gak boleh!"

Chi pun bilang kalau Nai itu anak perempuan. Tentu gak bermaksud melemahkan Nai sebagai perempuan. Tapi, Chi tetap berprinsip kalau perempuan harus dijaga oleh ayah dan sodara kandung laki-laki. Kelak kalau sudah menikah, suaminya yang bertanggungjawab. Makanya, Chi bilang ke dia, tunggu izin dari ayah dan kakaknya dulu.

Chi pun berdiskusi dengan Keke dan ayahnya. Meminta mereka yang bicara langsung ke Nai. Pokoknya dizinin atau enggak, Chi ikut keputusan 2 laki-laki di rumah ini. Singkat cerita, Nai pun dikasih izin. Ayahnya memantau dari kejauhan yang tentu sepengetahuan Nai. Jadi, gak diem-diem ngikutin.

[Silakan baca: Bun, Boleh Ikut Demo?]


Belajar Mendengarkan

 
Anak yang senang berdebat atau berargumen seringkali dianggap annoying, pembangkang, dan lain sebagainya. Bahkan ketika Keke masih SMP, kami pernah dipanggil ke sekolah. Keke diberi pilihan tetap di sekolah tersebut atau pindah. Tapi, kalau ingin tetap di sana, Keke gak boleh lagi berdebat. Benar-benar harus menurut. Sedih banget digituin, Keke malah lebih marah lagi.

Chi langsung nyengir ketika membaca salah satu artikel di Tempo yang berjudul "Anak Suka Berargumen, Masa Depannya Cerah." Artikel tersebut berdasarkan salah satu penelitian di University of Virgina, Amerika Serikat.

Penelitian dilakukan ke 157 anak remaja. Hasilnya, anak yang sering berargumen berpotensi memiliki masa depan cerah. Karena ketika berargumen, daya pikir kritisnya sedang diasah. Anak lebih percaya diri untuk berbeda pendapat. Termasuk, berani mengatakan 'tidak' ketika diajak melakukan hal negatif.

Mari di-aamiin-kan hasil penelitian tersebut. InsyaAllah, masa depan anak-anak cerah. Aamiin Allahumma aamiin.

Tetapi, satu hal yang juga harus dilakukan saat berdebat adalah belajar untuk mendengarkan lawan bicara. Makanya, ketika kejadian saat SMP itu, Keke sempat emosi banget. Dia merasa pendapatnya gak didengar. Malah ditekan dengan diberi 2 pilihan.

Kami pun bilang ke gurunya kalau kultur di keluarga kami memang seperti itu. Gak pernah melarang anak untuk berdebat. Mereka bebas mengeluarkan pendapat dengan beberapa batasan. Tapi, yang ada malah disarankan untuk pindah ke sekolah internasional. Katanya anak-anak yang berpikiran kritis seperti Keke lebih cocok di sekolah internasional 😅.


Orangtua seringkali ingin menjadi teman bagi anak. Alasannya supaya gak mudah terpengaruh pergaulan yang kurang baik, anak bisa leluasa bercerita, dan lain sebagainya. Ya, kalau memang inginnya begitu, maka harus mau belajar mendengarkan. Karena salah satu faktor anak lebih senang nyaman sama teman-temannya karena setidaknya mereka mau mendengarkan curhatannya. Lagipula, bagaimana bisa memahami kalau mendengarkan aja gak mau?


Jangan Selalu Mencari Menang atau Kalau Saat Berdebat


"Orangtua lebih punya pengalaman!"
"Dulu, Bunda tuh  bla ... bla ... bla ..."

Ya, orang tua memang menang pengalaman. Udah lebih banyak makan asam garamnya dibandingkan anak-anak. Tetapi, Chi selalu berusaha menghindari kata-kata seperti di atas hanya untuk membuat anak patuh. Merasa bisa menang debat dari anak.

Apa yang dialami oleh anak belum tentu pernah dialami orang tua. Zamannya udah beda. Tantangannya juga beda pula. Kalau sama, sebaiknya pengalaman yang udah banyak itu membuat orangtua menjadi lebih bijak.

Coba balik-balik lagi berpikir ke masa ketika masih remaja. Sebel gak ketika mengalami hal tersebut malah jadinya dimarahi bahkan dihukum tanpa didengarkan dulu penjelasan kita sebagai anak? Pasti sebel.

Justru karena orang tua lebih punya banyak pengalaman, harusnya lebih bijak. Karena seharusnya lebih tau cara mengontrol emosi dan mengendalikan situasi. Reaksi apapun dari orang tua juga bisa membuat anak-anak belajar tentang cara berdebat, lho.

Beberapa kali kami membuat keputusan 'sepakat untuk tidak sepakat'. Nah, di sini pentingnya mengajarkan tanggung jawab atas segala keputusan yang diambil. Anak remaja harus belajar memahami risikonya dan mengatasi masalahnya sendiri. Kami hanya memberi arahan. Keputusan diserahkan kembali ke anak-anak.

Anak remaja biasanya gak suka digurui. Diceramahin tuh membosankan. Malah yang ada pesan orangtua masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Mereka lebih suka didengarkan dan diajak berdiskusi.

Salah satu tips menghindari berdebat dengan anak remaja adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan lebih dulu. Yakin mau melakukan ini? Kalau ternyata gagal bagaimana? Udah sampai mana persiapannya?

Seringkali, anak remaja merasa percaya diri dengan keputusan yang diambil. Padahal setelah diajukan beberapa pertanyaan, mereka jadi ragu sendiri. Tapi, kita pun terhindar dari anggapan orang tua yang suka ngatur atau rese'. Perdebatan pun terkadang gak terjadi.

Berbagai pertanyaan bisa membuat anak remaja berpikir ulang dengan pendapatnya atau malah semakin yakin. Ya, gak apa-apa. Setidaknya kami juga jadi lebih tau apa yang mereka mau. Jadi tau sebatas apa mereka mampu bertanggungjawab. Keke dan Nai juga jadi tau konsekwensinya.


Patuhi Aturan dan Tetap Respek


"Apa Keke pernah ngomong kasar?"

Itu salah satu pertanyaan kami ketika dipanggil ke sekolah. Jawabannya gak ada sama sekali. Keke berbicara dengan sopan. Tetapi, memang intinya dilarang berdebat aja. Harus menurut tanpa ada argumen apapun.

Etapi, gak semua guru di sana kayak gitu. Ketika Keke kelas 8, sikapnya yang suka berdebat malah diarahkan. Gak dianggap pembangkang. Keke ditawarin jadi MC acara sekolah. Dan sejak itu Keke mulai terus dipakai ngemsi berbagai acara formal dan non-formal di sekolah. 

Meskipun, Chi dan K'Aie membebaskan Keke dan Nai untuk mengeluarkan pendapat, tetap ada beberapa aturan yang gak bisa diganggu gugat. Salah satunya adalah tetap menjaga kesopanan. Makanya ketika kami dipanggil ke sekolah, salah satu pertanyaan yang diajukan adalah apakah Keke pernah ngomong kasar ketika berargumen.

Perdebatan mungkin bisa alot. Tapi, tetap jangan sampai ngomong kasar. Tidak hanya berlaku ke orangtua, tapi untuk ke semua. Termasuk berdebat ke yang usianya lebih muda. Tentu kami juga memberikan contoh dengan tidak mengeluarkan kata-kata kasar ketika berdebat dengan anak.

Kami gak melarang anak-anak untuk curhat ke teman-temannya, tapi jangan ke medsos. Suka sedih deh kalau baca status seorang anak yang kesal dengan orangtua. Apalagi kalau banyak banget yang menanggapi. Karena seringkali banyak hujatan untuk orangtuanya.

Memang gak ada orangtua yang sempurna. Tapi, selama masalah masih bisa diatasi, selama bukan hal-hal yang dzalim, sebaiknya diskusikan intern aja. Kalau gak cukup dengan orangtua, boleh curhat ke luar. Tapi, hanya ke orang lain yang memang dianggap bisa dipercaya.

Chi ngebayangin, bakal sedih banget kalau suatu saat menemukan Keke atau Nai nyetatus rasa kesalnya terhadap orangtua. Mudah-mudahan jangan sampai kejadian, ya. Aamiin Allahumma aamiin.

Makanya kami selalu bilang sebaiknya tetap ngobrol dengan orangtua. Kalaupun dirasa orangtua mulai gak bisa diajak berdiskusi, udah mulai terlalu mengatur, tegur aja dengan sedikit keras. Tentu jangan dengan kata-kata kasar. Teguran supaya sama-sama introspeksi.

Aturan lainnya adalah tetap respek dengan lawan bicara. Anak respek ke orangtua, begitu sebaliknya. Jadi jangan berdebat untuk menimbulkan rasa kesal. Jangan pula sampai akhirnya menjadi benci. Naudzubillah.

 

Tetaplah Berkomunikasi dengan Baik ke Anak


berkomunikasi dengan anak remaja

Ada atau gak ada perdebatan, tetap lakukan komunikasi dengan anak. Meskipun anak remaja kalau ditanya terkadang jawabannya irit banget hehehe. Tapi, tetap aja berkomunikasi. Awali dengan pertanyaan yang sederhana aja, misalnya "Udah makan belum?"

Itulah yang kemudian bisa membuat perdebatan tetap sehat. Kalau bondingnya udah baik, perdebatan bukan bikin jadi saling sebel atau benci, kok. Malah ya Chi suka mikir kalau anak sebetulnya butuh pendapat orangtuanya. Tapi, emosi anak remaja yang terkadang masih labil, jadinya malah berdebat dan sesekali rada ngegas.

[Silakan baca: Begini Cara Berkomunikasi dengan Remaja]

Ya semoga aja itu hal itu menjadi salah proses pendewasaan. Lama-lama lebih terkontrol emosinya ketika terjadi perbedaan pendapat.

Jadi, itulah 7 tips berdebat dengan anak remaja ala keluarga KeNai. Berdebat gak harus selalu pakai emosi, lho. Sesekali selipkan humor juga bagus banget. Pastikan juga mood semuanya sedang baik saat berdebat.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)

Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^