Chi pernah merasa sedih banget ketika Keke mulai puber. Merasakan patah
hati sebagai seorang ibu melihat anaknya yang udah remaja mulai menjaga
jarak. Gak hanya Keke yang mengalami berbagai perubahan emosi. Chi pun
jadi mudah menangis. Sedih!
Berkecamuk di pikiran tentang perubahan Keke. Menyalahkan diri. Merasa
gagal menjadi ibu. Tetapi, juga bingung karena selama ini merasa dekat
dengan Keke. Kok, bisa sih Keke jadi kayak agak menjauh. Emangnya Bunda
salah apaaaaaa? Pokoknya campur aduk banget perasaan Chi saat itu.
Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan rasa patah hati saat
itu?
Menerima Perasaan Patah Hati
Sedih, marah, atau apapun yang dirasakan adalah hal wajar. Manusia kan
memang seharusnya memiliki emosi. Gak hanya bahagia aja yang bisa kita
terima.
Menerima perasaan patah hati maksudnya untuk belajar menahan diri.
Diterima aja dulu rasa sedihnya. Jangan selalu bilang "gak apa-apa",
trus suatu saat jadi meledak.
Tapi, sejujurnya memang Chi juga sempat mengeluarkan rasa patah hati
itu dengan marah-marah. Kesal karena tiba-tiba kayak berjarak sama Keke.
Meskipun udahannya jadi nyesel banget. Harusnya gak usah
marah-marah.
Nah, karena suka ada rasa menyesal dan feeling guilty setelah
marah, makanya coba untuk diredam. Caranya dengan curhat ke suami. Kalau
komunikasi dengan suami lancar, insyaAllah udah mampu meredakan rasa
sedih karena patah hati.
Nikmati me time. Jangan mikir hal-hal yang bisa bikin sedih ketika me
time. Lakukan deh berbagai aktivitas yang bikin hati seneng. Misalnya,
Chi seneng nonton berbagai serial, ya udah nikmati aja. Gak usah mikir
yang lain-lain dulu.
Memutar Waktu ke Masa Remaja
Dulu, ketika masih remaja, senangnya diperlakukan seperti apa?
Chi lumayan sering berpikir ke masa lalu. Suka mikir dulu ketika usia
segitu senangnya diperlakukan seperti apa. Apa aja yang bikin nyaman dan
enggak. Seringkali membantu mendapatkan solusi kalau berpikir kayak
gini.
Ketika Keke mulai menjauh, pikiran Chi melayang saat masih remaja. Dulu
senengnya gimana, ya? Deket gak sama orangtua?
Chi pun teringat pernah dimarahin mamah ketika ketahuan punya diary.
Mamah menyangka kalau punya diary berarti semacam main rahasia-rahasiaan
sama orangtua. Mamah sangat melarang, diary Chi langsung dirobek.
Di sini, Chi gak bermaksud menyalahkan, apalagi masih kesel, ya. Udah
lama banget kejadiannya. Tapi, memang lumayan memberi dampak yan agak
panjang.
Seringkali berpikir, mungkin itulah penyebab Chi gak bisa konsisten
menulis diary. Baru juga beberapa lembar, udah Chi sobek sendiri atau
dibuang. Makanya takjub nih karena blog bisa bertahan sekian tahun
hahaha.
Padahal ya, niatan punya diary saat itu bukan untuk main
rahasia-rahasiaan ma orangtua. Tapi, memang pengen aja punya ruang
privasi. Terkadang, bukan diisi dengan tulisan. Hanya coret-coretan gak
jelas untuk melepas perasaan yang ruwet.
Chi pun teringat pernah menetapkan syarat tidak boleh ada
rahasia-rahasiaan ketika sudah dikasih izin untuk punya hp. Password
apapun, orangtua harus tau. Ketika sesekali disidak, mereka gak boleh
marah.
Tetapi, memang pelan-pelan harus melepaskan aturan itu. Harus mulai
menaruh kepercayaan ke Keke dan Nai. Gak ada patokan usia, tetapi Chi
dan K'Aie lihat dari kesiapan masing-masing anak. Itu pun gak langsung
dilepas gitu aja. Pelan-pelan dan bertahap, lah.
Bertanya Langsung ke Anak
Bunda: "Ke, kenapa sekarang kalau lagi ada masalah kayak gak langsung
cerita ke Bunda."
Keke: "Gak apa-apa. Emang Keke ada masalah apa?"
Bunda: "Ya, gak tau. Makanya Bunda nanya. Ya, meskipun Keke gak cerita,
Bunda kan tau."
Keke: "Iya gitu?"
Bunda: "Iya, lah. Bunda kan ibumu. Bisa tau dari ekspresi wajah
anak-anaknya lagi seneng, sedih, atau apapun. Meskipun anaknya gak
cerita atau berusaha nutupin."
Keke: "Keke suka serba salah. Kalau Keke ceritain lagi ada masalah,
Bunda suka kelihatan sedih. Padahal gak pengen bikin bunda sedih."
Nah! Ternyata gak hanya Chi yang bisa mengenali dan merasakan ekspresi
anak-anak. Keke pun begitu. Meskipun Chi berusaha menutupinya. Tapi,
bagi Keke masih kelihatan sedihnya. Ya gimana gak sedih kalau anak lagi
punya masalah.
Tapi, memang harus tunggu waktu yang tepat untuk berdiskusi. Terkadang,
belum tentu anak mau langsung jawab. Tarik ulur aja, deh.
Memang butuh waktu dan proses untuk mendapatkan jawabannya. Tetapi,
tetap lebih penting bertanya ke anak. Daripada bermain-main sama pikiran
sendiri. Akhirnya menduga-duga gak jelas. Malah jadinya berprasangka
yang enggak-enggak.
Setelah mendapatkan jawaban Keke, Chi bilang sebagai ibu memang wajar
ikut merasakan apa yang dirasakan anak. Tetapi, Chi malah semakin sedih
kalau Keke menjauh karena alasan itu.
Intinya, Chi kasih Keke mulai kasih ruang privasi. Gak perlu semua hal
harus diceritakan ke ayah atau bundanya lagi. Keke juga jadi bisa
belajar mengelola dan mengatasi perasaannya sendiri. Tapi, kami juga
bilang, orangtua akan selalu siap mendengarkan kapanpun Keke mau
cerita.
Kami memberikan juga berbagai batasan. Ada hal-hal yang memang tidak
boleh dilakukan. Jangan coba-coba melewati batas itu. Apalagi kalau
sampai ketahuan gak cerita-cerita.
[Silakan baca:
Kepercayaan]
Anak Menjaga Jarak Bukan Berarti Gak Sayang
Pada akhirnya, setelah bisa menerima, Chi pun menyadari satu hal.
Ketika anak terasa menjaga jarak, bukan berarti gak sayang. Itu hanyalah
salah satu fase dalam hidupnya. Apalagi anak abege kan mulai berasa
gede. Pengen punya ruang sendiri.
Justru kalau kita nuduh-nuduh gak sayang mau orangtua, bakal menyakiti
hati anak. Kalau terus-terusan dituduh begitu, anak bisa semakin
menjauh. Padahal justru bukan itu yang kita mau, kan?
[Silakan baca:
Jumpalitan dan Tips Menghadapi Anak Puber]
Chi juga harus sadar kalau bukan lagi jadi ibu yang ke mana-mana selalu
diikuti anak. Sampe ke WC pun ditungguin di depan pintu hehehe. Usia
anak semakin bertambah. Gak mungkin lah mereka akan ngikutin terus
ibunya kayak masih kecil.
Buat Chi sekarang, selama mereka masih mau bercerita tentang aktivitas
dan lain sebagainya, itu tandanya sayang ma orangtua. Ya meskipun udah
gak kayak mereka masih kecil yang segala-gala diceritain. Sampai susah
nyuruh brentinya karena ngoceh terus hehehe.
Sabar, Situasi Ini Hanya Sementara
Sabar, situasi ini hanya ujian eh sementara 😄. Maksudnya, coba pakai
feeling kita sebagai orangtua. Sesekali introspeksi. Selama ini bonding
kita ke anak tuh gimana? Deket, biasa aja, atau memang jauh sejak
kecil?
Kedekatan dengan anak tuh gak bisa dipaksa. Chi setuju dengan opini
kalau bonding harus dijalin sejak anak lahir. Gak bisa
ujug-ujug anak dipaksa untuk dekat sama orangtuanya. Semuanya
butuh proses.
Kalau sewaktu-waktu terasa agak berjarak, jangan pula langsung
disimpulkan kalau bonding udah putus. Ibaratnya tali, gak mungkin deh
mendadak putus. Kalaupun iya, pasti ada penyebabnya.
Ya mungkin hanya longgar sejenak. Apapun itu, harus dicari penyebabnya.
Jangan sampai semakin longgar dan akhirnya malah lepas.
Alhamdulillah, Chi dan Keke mulai dekat lagi. Chi jadi percaya, kalau memang bonding awalnya sudah erat, insyaAllah berjarak itu hanya sementara. Pelan-pelan akan dekat lagi
Setelah bisa memahami semuanya, Chi pun mudah sakit hati ketika Nai mulai puber. Sudah bisa memahami kalau ini hanyalah satu fase. Tetap, ada jungkir baliknya, tapi gak nge-drama banget. Alhamdulillah fase ini pun sudah dilewati.
Alhamdulillah, Chi dan Keke mulai dekat lagi. Chi jadi percaya, kalau memang bonding awalnya sudah erat, insyaAllah berjarak itu hanya sementara. Pelan-pelan akan dekat lagi
Setelah bisa memahami semuanya, Chi pun mudah sakit hati ketika Nai mulai puber. Sudah bisa memahami kalau ini hanyalah satu fase. Tetap, ada jungkir baliknya, tapi gak nge-drama banget. Alhamdulillah fase ini pun sudah dilewati.
Gak berkepanjangan sakit hatinya. Alhamdulillah. Kembali dekat sama
Keke dan Nai. Meskipun udah gak dikutin ke manapun lagi. Tapi, akhirnya
kan sekarang jadi bisa pacaran berdua aja sama K'Aie hahaha!
26 comments
Aku belum mengalami fase itu sih mbak krn anakku masih pd kecil. Tapi, denger cerita teman yg pnya anak remaja memang hal seperti jd jaga jarak itu memang ada. Musti diajak traveling kali mbak, tp solo trip berdua aja hehehe. Dulu sih aku sama adikku negitu.
ReplyDeleteMenurut saya, harus diawali dengan introspeksi dulu. Kalau sejak kecil bondingnya memang udah bagus, jaga jarak ketika beranjak remaja bisa jadi hanya sebuah fase. Mungkin anak pengen merasakan privasi. Gak ngikutin orangtuanya terus.
DeleteTapi, kalau dari kecilnya udah gak dekat, semakin besar bisa semakin jauh. Saya rasa effortnya harus lebih besar kalau mau deket lagi sama anak.
Bayanginnya aja udah buat aku mikir gimana nanti aku yaa ??
ReplyDeleteSetuju kalau bonding itu dipupuk sedari kecil sedini mungkin.. Kadang pas anak anak kecil pengen cepet besar biar bisa punya 'ruang' tapi bayangin nak anak remaja, terus dewasa nanti mereka yang justru butuh ruang rasanya nyesssss..
Tetap jalani aja sebaik mungkin, Mbak. InsyaAllah, bisa tetap dekat dengan anak :)
DeleteTapi rata-rata memang anak saat beranjak remaja memang gitu ya. Anak laki-laki aja yang biasa sekolah diantar, kini jadi ogah-ogahan kalau diantar ibunya. Tapi saya sepakat, walaupun bisa jadi hanya sekadar fase, tetap harus dicarikan penyebabnya dan jangan sampai lepas begitu saja.
ReplyDeleteIya, karena remaja lagi masa pencarian jati diri. Merasa udah gede juga. Trus, orangtuanya baper. Padahal salah satu perkaranya mungkin hanya karena anak udah mulai menolak dianterjemput.
DeleteAnak remaja sudah mulai punya dunianya sendiri. Akan jadi jarak kalau ortunya gak mau ngerti. Akhirnya cari-cari deh ke orang lain. Well makasih sharingnya, Mbak. Kita hanya perlu menikmati prosesnya ya
ReplyDeleteYup! Makanya memang sebaper apapun, orangtua harus mencari tau penyebab dan solusinya.
DeleteAku punya adik laki2 yang sekarang mulai beranjak dewasa, usia 17 tahun. Rasanya juga dia mulai berubah. Mulai berani melawan orang tua, berani ga nurut kalo dibilangin. Pokoknya berubah, nggak seperti adik manis yang aku gendong timang2 dulu.
ReplyDeleteSampai sekarang, orang tua di rumah, terutama ibu, masih kayak shock gitu dengan perubahan dia. Patah hati banget, sampai sering nangis.. Hikss :(
Saran saya, harus dicari solusinya. Apa ada pengaruh dari luar atau memang sejak awal gak dekat dengan orangtua? Semoga aja ini hanya salah satu fase yang kemudian bisa segera diatasi, ya. Aamiin
DeleteSuka pas anaknya jawab jujur bhw alasan dy gak cerita ya karena gak mau lihat bundanya sedih. Ini juga yg sering aku lakuin meskipun aku dewasa. Sbnry bukan gak mau cerita, hanya gak mau membenani saja.
ReplyDeleteJawaban Keke sempat menohok saya. Alasannya memang bisa diterima banget. Karena saya juga gampang larut dalam emosi. Tetapi, di sisi lain juga khawatir anak jadi jauh kalau jarang curhat. Ya, memang sebagai orangtua juga perlu banyak belajar.
DeleteJangankan anak beranjak remaja ini baru sembilan tahun aja, udah ga mau diajak foto bareng, udah ga mau ikut cara ayah ibunya. Padahal dulu kemana-mana nempel terus. Sedih juga lho... Gimana nanti remaja dan dewasanya?
ReplyDeleteTapi itulah, memberikan pengertian dan kita share dari awal, sehingga ana dan kita orang tua udah mulai bisa cerita, terbuka dan satu sama lain tahu
Semakin anak besar, memang kuantitas kebersamaan bisa berkurang. Awalnya juga saya sempat baper. Tapi, setelah dipikir lagi, kuantitas berkurang bukan berarti kualitas berkurang. Akhirnya saya pun bisa menerima. Malah sekarang jadi bisa pacaran lagi sama suami :D
DeleteSemoga saat terjadi jarak itu, maka secepat itu juga ada penyelesaian yang melegakan hati dengan komunikasi
ReplyDeleteiya, sebaiknya memang segera dicari penyebab. Dan mulai mencari solusinya
DeleteMenjadikan anak untuk dekat dengan orang tua menjadi hal penting yang perlu disadari sejak dini. Jangan sampai ketika anak menghindar atau tidak dekat dengan orang tua, orang tua baru menyadarinya ketika anak jauh.
ReplyDeleteSelain membangun kedekatan, keterlekatan tidak kalah penting
Yup! Harus selalu introspeksi. Jangan sampai jadi kayak layang-layang putus. Susah nanti nangkepnya.
Deleteaku kawatir nih mba kalo nanti anakku udah gede juga jaga jarak. tapi aku pun berusaha mengantisipasi dengan merajut bonding yang baik sejak masa kecil seperti sekarang
ReplyDeleteMungkin jaga jarak ini bisa terjadi sama siapapun. Tapi, selama bonding terus dirajut, insyaAllah hanya fase sementara
DeleteMemang masing-masing anak itu karakternya berbeda ya, kak Chie..
ReplyDeleteAku salut banget kak Chie menuangkannya di blog, sehingga banyak pembaca yang bisa mengambil hikmah dari kisah kak Chie.
Aku sendiri sempet galau jugan nih.. karena masa peralihan dari anak-anak ke remaja ini cukup mengangetkan, ternyata bukan hanya dari pov orangtua, tapi juga sang anaknya sendiri pun butuh adaptasi sama perasaannya, semacam memahami diri sendiri.
Jadi kalau aku, karena anakku perempuan, aku gak pernah langsung tembak kaya kak Chie sama mas Keke. Tapi dengan ngajak ngobrol, jadi paham bahwa mereka pun butuh waktu dan sebenarnya (semoga iyaya) kalau mereka dalam kondisi baik-baik aja.
Barakallahu fiikum.
Semoga Allah jaga keluarga, suami dan anak-anak untuk tetap pada fitrah kebaikannya.
Dari pengalaman saya pribadi, anak akan merasa tenang selama orangtua selalu ada untuknya. Jadi, meskipun berasa kayak berjarak sebetulnya bukan karena musuhan. Tapi, memang butuh privasi aja.
DeleteSaya pun sebagai anak juga pernah merasakan itu. Berjarak dg orangtua, bukan berarti sebel. Tapi, pastinya senneg banget ketika butuh, orangtua mau memahami.
Waduh aku nih yang sepertinya akan memasuki fase ini karena mas Deniz usianya sudah beranjak remaja. Mesti siapin mental dan juga kesabaran ya, dan katanya emang harus lebih banyak bonding juga ya mbak biar mereka tetap ngerasa nyaman dengan orangtua?
ReplyDeleteSaya merasa lebih jumpalitan ketika anak-anak masuk masa puber dibandingkan ketika mereka masih kecil. Tapi, memang bonding harus dijalin sejak kecil. InsyaAllah, sejumpalitan apapun, anak-anak tetap terkontrol dan dekat dengan orangtua
DeleteHihihi, plusnya asyik banget, ya, kan, Kak? Ruang privasi yang mungkin terkesan berat memberikannya nyatanya memang inilah perkembangan yang dijalani sehingga bagi yang bisa melewati malah bisa bikin kian erat bondingnya, ya, Kak.
ReplyDeleteyup! Ya, terkadang butuh kebesaran hati orangtua untuk mau 'melepas' anak. Dalam artian, gak bisa menuntut anak selalu ada di dekat orangtua secara fisik. Semakin besar, semakin butuh privasi. Jadi jaga jarak sebetulnya gak selalu berarti negatif.
DeleteTerima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^