Jangan Ucapkan atau Lakukan Hal Ini Saat PPDB

By Keke Naima - July 23, 2023

Setelah pro kontra wisuda mulai mereda, netizen kembali diramaikan dengan PPDB. Awalnya, mau diam aja karena pengalaman 2 tahun lalu rasanya mengesalkan. Sistem seleksinya yang berubah banget yang bikin Chi merasa marah.

[Silakan baca: Setuju Gak Wisuda untuk TK Hingga SMA?]

Kalau diperhatikan, PPDB DKI memang baru kisruh di 3 tahun terakhir. Sebelumnya tuh sistem seleksinya memuaskan dan transparan. Makanya adem ayem. Bahkan saking puasnya, Chi selalu menulis pengalaman Keke dan Nai mengikuti PPDB beserta tata caranya. Tapi, yang terakhir ini, saat Nai ikut untuk seleksi SMAN, Chi males banget nulisnya. Saking keselnya hahaha!


jangan lakukan atau katakan hal ini saat ppdb

Tadinya, Chi mau melupakan aja. Mendingan kembali fokus dengan pendidikan Nai. Alhamdulillah masih bisa menyekolahkan anak di swasta. Masih ada rezekinya.

Seperti sudah diduga, semakin ramai yang protes. Semakin banyak korban anak-anak usia sekolah karena sistem seleksinya yang 'gak banget' dan kelihatannya minim evaluasi pula. Tapi, di sini, Chi gak akan cerita detil tentang tata caranya, ya. Hanya selain sistem, juga ada beberapa hal lain yang bikin kesel bahkan sampai nyakitin hati.


Ikut PPDB Sekadar Coba-Coba = Minim Empati


Peserta yang ikut PPDB tuh selalu banyak sekali jumlahnya setiap tahun. Mau sistem seleksinya kayak apapun juga pasti akan ada yang gak lolos

Herannya selalu ada aja yang ikut sekadar iseng. Cuma pengen coba-coba. Tujuannya apa, sih?

Dulu, Chi mikir mungkin orangtuanya pengen pamer NEM anaknya. Biar orang-orang tau kalau anaknya pinter. Kan, kalau sampai lolos PPDB berarti NEMnya bagus. Apalagi kalau dapatnya sekolah negeri favorit di DKI. Udah pasti NEM anaknya tinggi (banget), tuh.

Bukan sesuatu yang dibenarkan sebetulnya. Karena niatannya kan cuma pengen pamer. Padahal sebetulnya udah mantap di sekolah swasta. Buat Chi, yang coba-coba gini tuh minim empati. Kepala Sekolah Keke waktu SMA aja sampai geram lho dengan orang-orang yang iseng begini.

Eh, pas sistemnya berubah, tetap ada yang kayak gini. Yang dicari apaan, siiiiiih? Sedihnya ada pula yang Chi kenal melakukanhal itu. Dengan bangganya bilang, "Anak saya sejak awal udah milih swasta. Ikut PPDB cuma iseng aja. Ternyata gampang banget. Anak saya dengan mudah diterima."

YAEYALAH MUDAAAAH! RUMAHNYA CUMA BEBERAPA LANGKAH DARI SEKOLAH! SATU RT PULA!

Seriusan emosi bacanya hahaha! Sejak UNBK dihapus Mendikbud, seleksi PPDB DKI udah gak lagi pakai NEM. Tapi, lihat dari lokasi dan usia.

Saat Nai ikut aturan PPDB SMA Negeri aturannya berubah total karena UNBK sudah dihapus. Zonasi dibadi menjadi 3 wilayah (zona 1 hingga 3), tapi dilaksanakan dalam seleksi yang sama. Yang masuk zona 1 adalah yang rumahnya se-RT ma sekolah. Zona 2 se-RW, tapi beda RT. Sedangkan zona 3 hanya sama di kecamatan ma sekolah yang dituju.

Tentu yang didahulukan adalah zona 1. Kalau kuotanya udah habis di zona 1, zona 2 dan 3 tinggal gigit jari. Nah, Nai termasuk yang gigit jari karena masuk zona 3.
 
Makanya kalau dibilang masuk sekolah negeri di Jakarta itu gampang, ya jelas gampang kalau rumahnya di zona 1. Apalagi kalau usianya tua. Karena untuk menentukan urutan hanya dilihat dari usia. Jadi, kalau ada siswa yang keterima berada di urutan atas, kemungkinan besar rumahnya di zona 1 dan usianya udah tua. Gak heran di Jakarta usia 20-21 tahun pun ada! Karena aturan yang membolehkan.

Siapapun boleh ikut PPDB DKI asalkan sesuai aturan. Mereka yang coba-coba pun gak ada aturan yang dilanggar. Sah! Gak ada pelanggaran. Tapi, rasanya tetap gimana gitu, ya.

Di sisi lain, ada ratusan bahkan ribuan yang sangat ingin bisa belajar di sekolah negeri. Tapi, harus tersingkir dan kuotanya diisi oleh yang hanya ingin coba-coba.

Mereka yang ingin sekolah negeri gak selalu karena alasan sekolah negeri tuh favorit. Banyak yang karena alasan ekonomi. Apalagi di Jakarta sampai jenjang SMA tuh gratis sekolahnya.

Makanya, coba deh bayangin mereka yang gak mampu menyekolahkan anak ke swasta karena alasan biaya. Sekolah negeri menjadi harapan. Gak apa-apa, deh, bukan skeolah favorit juga. Tapi, kemudian gagal mendapatkannya, sedangkan di sisi lain diperlihatkan fakta ada yang mampu menyekolahkan di swasta yang mahal trus ikut negeri cuma untuk coba-coba. Nyesek gak lihatnya?

Ditegur gak nih kalau ada yang dikenal melakukan seperti itu? Tentu aja. Tapi, selalu alasannya merasa berhak.

Iya, siapa pun berhak. Tapi, kalau sekadar iseng mendingan jangan ikutan. Karena jadinya merampas hak orang lain. Tolonglah empatinya dipakai. Kan, udah mantap sekolah di swasta, ya udah gak usah ikutan seleksi sekolah negeri hanya dengan alasan iseng.

[Silakan baca: Ssstt! Ternyata Ada Seleksi Umur di PPDB Online DKI]


Kalau Pintar Harusnya Ikut Japres, Bukan Zonasi!


Setiap kali bahas PPDB, Chi selalu bilang INI MEMBAHAS PPDB DKI. Karena meskipun namanya sama-sama PPDB, jalurnya pun sama, tetap aja aturannya bisa beda-beda.

Waktu Nai ikut PPDB DKI untuk jenjang SMAN, japres tuh CUMA DAPAT KUOTA 5%. Seuprit banget! Jomplang banget dengan kuota ketika masih pakai NEM. Bisa sekitar 60-70%. Dengan kuota sebesar itu aja masih ada yang tersingkir. Apalagi kalau cuma seuprit.

Makanya, Chi gregetan banget kalau ada netizen yang dengan entengnya komen, "Katanya anaknya pinter. Kok, gak ikut japres, tapi malah zonasi." Padahal jelas banget si pembuat konten tentang PPDB DKI, Gregetan baca komennyaaaaa ...

Sejak awal pun Chi kurang setuju kalau Japres berdasarkan nilai raport. Cukup yakin sih bakal ada beberapa kecurangan karena raporti nilainya lebih mudah dikatrol dibandingkan NEM. Udah gitu, di PPDB DKI itungannya agak ribet. Ada beberapa istilah yang Chi baru tau seperti persentil dan sidanira.

Ya, pokoknya gak hanya raport yang dinilai. Tapi, kemudian banyak sertifikat yang dipertanyakan. Kalau ngikutin PPDB 2 tahun lalu, pasti tau, deh. IGS Chi aja sampai bersemut waktu itu saking banyak protes hahaha.

Yuk, ah, jangan biasain enteng jarinya. Apalagi kalau gak tau permasalahannya.

Hmmm ... apa lagi, ya?

2 hal itu sih yang paling gregetan. Terutama untuk alasan yang coba-coba itu. Cukup tau aja lah kalau ada yang Chi kenal pun melakukan hal itu.

Bagaimana dengan yang numpang KK? Ya, itu juga salah satu bentuk kecurangan. Tapi, Chi kurang sreg juga kalau hanya menyalahkan pihak orangtua. Seolah-olah yang melakukan itu hanya para ortu yang ambis menyekolahkan anak ke sekolah favorit.

Faktanya gak bisa digeneralisir hanya karena alasan itu. Masih ada rumah di area blind zone juga termasuk salah satu masalah Zonasi.

Lain kali aja dibahasnya. Karena sebetulnya, Chi kurang semangat membahas sistem PPDB yang baru ini sejak UNBK dihapus. Tapi, karena gregetan aja melihat 2 hal tadi. Jadi mau sedikit curhat.

Di manapun sekolahnya, tetap semangat, ya! InsyaAllah, dilancarkan jalannya dan menjadi orang sukses. Aamiin Allahumma aamiin.

  • Share:

You Might Also Like

55 comments

  1. nah ini, aku ga setuju banget dengan mereka yang daftar sekolah atau kuliah di negeri karena coba2 aja. kalau keterima terus dilepas. duuh. kasihan jatah yang lain jadi keambil.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget, Mak. Saya juga suka gregetan sama yang keterima di negeri trus dilepas gitu aja. Dengan alasan ikut ujian buat iseng doang. Aslinya gak bakal kuliah di PTN. Duh! Kebayang sedihnya mereka yang gagal trus lihat yang kayak gitu.

      Delete
  2. Haddeuh KZL juga cucu rangking 1 di sekolanya nilai rapotnya dominan diatas 96 malah ada ya 100 lho! Tapi mboten lulus di 2 univ negeri. Ada apa ini ya?Apa ada batu dibalik udag eh, salah maksudnya apa ada udang di balik batu?Sekarang terpaksalah hunting univ.swasta.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lewat jalur raport ya, Bun? Kabarnya ada jatah kuota juga. Tapi, saya kurang paham juga kalau jalur raport untuk PTN

      Delete
  3. Huhuhu, yang bilang cuma iseng nyebelin banget sih :(

    ReplyDelete
  4. Waduh, emang betein bener urusan PPDB. Nih Fakhri dapat zona 3 semua sekolah SMA padahal deket banget rumah. EH yang masuk SMAN malah usia tua2 kayak 19, 18 th dll tapi domisili mereka jauuuuuh wkwkwkwk. Emang deh pemerintah mesti mengkaji ulang. Masa anak pinter malah tersingkir hiks :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mari kita berpelukan, Mbak hehehehe. InsyaAllah Fakhri tetap sukses di mana pun sekolahnya. Aamiin Allahumma aamiin

      Delete
  5. Tahun depan aku akan coba lagi deh karena masuk SMA. Pas masuk SMP gagal padahal jarak rumah zonasi 1,2 kilometer. SMA ini ada SMA negeri hanya 650 meter. Nggak tahu masuk apa ngga. Hehheee

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mudah-mudahan gak ada lagi kecurangan numpang KK. Juga syarat usia diturunin. Terlalu ketuaan kalau kata saya di syarat yang sekarang. InsyaAllah tahun depan dilancarkan dan bisa masuk negeri ya, Mbak

      Delete
  6. Ya Allah, aku selalu ikut deg deg an tiap musim ppdb ini
    Dua tahun lagi aku akan merasakan ppdb smp nih. Semoga si sulung lolOS SMP negeri incerannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. InsyaAlah 2 tahun lagi lebih baik ya, Mbak. Semoga pihak berwenang mau mengevaluasi kebijakan PPDB ini.

      Delete
  7. Ya ampun itu ilustrasi gambarnya cakep mak Chi. Iya sih PPDB sekarang itu kalau kata teman-temanku selain menguras kesabaran juga menguras emosi. Walau pun aku belum mengalaminya tapi aku merasakan dari cerita teman-temanku kemarin mak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saking greget, jadinya bikin ilustrasi begitu hahaha. Saya udah beberapa kali ngikutik PPDB sekolah negeri. Selalu deg-degan karena khawatir 'terdepak'. Tapi, ketika masih pakai NEM, seleksinya lebih fair. Kalau pun sampai gagal masih bisa terima, lah. Nah, yang sistem baru ini memang sangat ngeselin. Ditambah lagi, masih ada aja yang nir empati.

      Delete
  8. Tahun ini di kelas anakku ada 14 anak gak dapat SMP negeri, Mbak. Sedih banget karena pas hari H baru tahu bahwa beberapa daerah udah dibatasi pilihan sekolahnya. Misal tahun lalu kelurahan A bisa pilih 7 sekolah, tahun ini taunya cuma bisa 4 sekolah. Kan ngenes banget. Nilai juga rata2 90 tapi dapat persentil 90% yg mana Nilai Akhir langsung anjlok, umur udah 13-an tapi tetep kalah karena terbatasnya sekolah pilihan. Tahun ini kelas anakku berduka banget dengan hasil PPDB, hanya 50% yg bisa masuk negeri. Gak kebayang kalau pas masuk SMA nanti masih begini lagi. Duh pengen nangis karena rumah zona 3 dan usia muda. heuheu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sedih banget lihat fakta seperti itu, Jadi inget kejadian saat Nai ikut PPDB ke SMAN. Memang lagi jelek sistem seleksinya, Semoga tahun depan ada perubahan ke arah yang baik, ya

      Delete
  9. Yang coba-coba ikut PPDB hanya sekedar pamer bahwa anaknya pintar, padahal tetap mau menyekolahkan anaknya di Swasta, itu agak gimana ya Mbak. Kelakuan mereka menutup kesempatan anak-anak lain yang benar-benar membutuhkan agar diterima lewat jalur priviledge ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, menurut saya kurang aja empatinya, Mbak. Karena tega banget.

      Delete
  10. Dua kali merasakan "indahnya" drama PPDB yang beneran mak chi gak cuma di DKI lhoo, Tangsel apalagi deh...itu kayaknya blom selesai riweuhnya tahu2 ini tahun depan udah ada 2 lagi yang harus dikawal PPDBnya ke tingkatan selanjutnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setahun saya daerah lain lebih dulu pakai sistem zonasi ya, Mbak. Itupun kelihatannya banyak yang ribet sistemnya.

      Delete
  11. Jangan orang tua kayak Mak Keke, kami pun para guru geram lihat tingkah orang tua yg kayak gitu. Suka kasihan lihat anak-anak yg berjuang masuk sekolah negeri demi gratisan malah diambil jatahnya yg jelas-jelas tidak.mau sekolah di situ. Hanya coba-coba? Kezzel banget Mak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama kayak Kepala Sekolah Keke. Beliau merasa sangat geram dengan ulah orangtua yang coba-coba kayak gitu.

      Delete
  12. Dulu pas aku daftarin keponakan sekolah, ada drama juga karena ya jarak dekat pun gak masuk. Sekarang soal kaya gini gak mau asal bikin status. Bilang cuma coba-coba dan keterima, emang jadi nyebelin banget ya. Soalnya banyak yang berjuang tapi ternyata belum berhasil

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kegagalan udah pasti bikin sedih. Tapi, kalau kemudian lihat fakta ada yang berhasil masuk trus menyia-nyiakan rasanya bikin gregetan

      Delete
  13. Ppdb di bandung dan jawa barat juga gitu, banyak yang curang.... Sedih dan kecewa deh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setahu saya di Jabar udah sejak lama sistem zonasinya ya, Mbak. Dan, masih aja bermasalah. Semoga tahun depan bisa lebih baik.

      Delete
  14. Membaca apa pun tentang PPDB, selalu membuatku jadi ikut emosi jiwwwwa! Paling nggak habis pikir sama usia anak yang jadi prioritas penerimaan. Ya, memang sih ada minimum usianya. Tapi kok bisa-bisa ada yang daftar SD umurnya sampai 9 atau 10 tahun? Adanya di zona 1, ini aman banget, ya. Cuma itu ngapain masukin SD umur segitu? Aku dari awal alhamdulillah nggak nyobain PPDB, udah mantap masuk swasta. Semoga nanti SMP bisa ke swasta lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena untuk SD hanya ada batas minimum, Tapi, maksimumnya gak dibatasin, Makanya gak heran kalau usia 'tua' baru masuk SD

      Delete
  15. Buat anak kok coba-coba...jadi ingat iklan jadoel saya
    tahun depan anak bungsu saya PPDB SMA, Bismillah aja, karena sistemnya ganti lagi dari saat pertama kali dulu diterapkan zonasi (2019) pas anak sulung saya...Duh, ganti mulu kapan pastinya ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Emang ngeselin lihat gonta-ganti melulu. Udah gitu gantinya malah semakin jelek. Jadi semakin kesel. Tapi, insyaAllah tahun depan prosen putra bungsu Mbak Dian dilancarkan, ya. Aamiin

      Delete
  16. Sini kutambahi biar tambah geregetan Chi hehehee... 2 tahun yang lalu aku mendaftarkan anakku ke SMPN, termasuk favorit tuh di Semarang. Masih pake zonasi plus nilai waktu itu. Padahal anakku udah berangkat ke pondok sebulan sebelumnya. Memang jadinya memakan kuota anak lain, tapi Alhamdulillah begitu ada surat pengunduran diri, kuotanya diberikan kepada anak lain yang membutuhkan.

    Apa alasan melakukan hal itu? Selama ini gemas dibilang mondokin anak tuh karena si anak kurang mampu dalam mengikuti pelajaran, alias ga pinter-pinter amat gitu. Apa yang kulakukan itu untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada anakku bahwa dia mondok itu bukan dalam rangka 'dibuang', tapi ada misi lain dalam hidupnya yang tak akan diperolehnya kalau enggak mondok (ini subyektif dari sudut pandang keluarga kami)

    Penjelasan ini bukan dalam rangka membela diri lhoo hehehe.. tetap merasa bersalah juga akhirnya ketika kulihat banyak kasus seperti yang Chi sebutkan tadi. Mohon maaf yaa.. asli bukan berniat pamer nilai anak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya agak kurang paham dengan kalimat 'kuotanya diberikan ke anak lain'. Mungkin karena di PPDB DKI gak begitu ya, Mbak. Kalau di DKI, bila keterima dan gak daftar ulang, kuotanya masuk ke seleksi berikutnya. Jadi semua calon siswa bersaing lagi. Makanya itulah saya bilang nir empati.

      Tapi, di Bekasi (beberapa tahun lalu) kuota yang gak kepake otomatis diberikan ke calon siswa yang ada di waiting list. Ini pernah dialami sepupu saya. Masuk waiting list urutan nomor 1. Begitu ada yang mengundurkan diri, otomatis sepupu saya yang diterima.

      Maaf, Mbak Uniek. Menurut saya, kita gak bisa mengontrol pendapat orang. Di sini juga ada kok kasak-kusuk kalau anak-anak swasta tuh manja-manja. Gak kayak anak-anak di negeri.

      Tapi, saya memasukkan anak ke negeri, setelah mereka lulus dari SD swasta, bukan untuk membuktikan mereka gak manja. Memang ada banyak pertimbangan lain.

      Delete
  17. Yang coba-coba itu aduh nggak paham maksudnya apa ga, di saat orang lain serius ingin masuk ke sekolah yang dituju. Memang saya lebih suka pas zaman saya dulu sekolah, bisa masuk sekolah bagus kalau punya nem yang bagus juga, bukan hanya berdasarkan zonasi aja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sampai anak saya yang pertama masuk SMA juga sistem seleksinya masih pakai NEM. Selisih 2 tahun doang, adeknya kena zonasi hihihi.

      Tapi, saya bersyukur masih ada rezeki menyekolahkan ke swasta. Kasihan yang orangtuanya bener-bener gak mampu secara ekonomi. Trus, dilihatin fakta ada orang-orang iseng kayak gitu. Sedih.

      Delete
  18. iya mbak, aku juga kesel banget sama anak-anak yang komen di lama disdik Jabar saat menunggu pengumuman tahap 2 ppdb, mereka itu udah lolos tahap 1 tapi di pilihan kedua dan mau kansel katanya. aduh jadi pengen bikin rujak yang pedes terus dikirim ke anak itu, kenapa sih gak diambil aja meski pilihan 2. kan kasian buat anak anak yang emang ngarep banget masuk ke pilihan 2 yang mau dia lepas. bener mbak, yang kayak gini tuh nir empati banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh kalau di Jabar bisa gitu ya, Mbak. Di DKI enggak bisa, Kalau udah lolos trus gak daftar ulang, namanya otomatis kena blacklist. Gak bisa ikut tahap 2. Paling bisanya ikut tahap bangku kosong. Nah, di bangku kosong ini, jarang sekolah yang masih punya kuota.

      Delete
  19. baca tulisan ini, aura gemesnya nyampe banget nih ke saya hehe. tapi jujur emang gemesin n bikin kesel juga sih apalagi kalo pas baca tentang poin coba2, duhh kayak kurang kerjaan aja ya. btw saya jadi kepo sama dua istilah diatas, sidanira sama persentil. langsung auto googling.

    ReplyDelete
  20. aku baru tahu loh ada juga yang ortu yang ikutan ppdb cuma untuk coba2, selama ini tahunya cuma yg numpang KK, karena ada temen yang anaknya numpang KK di sekolah smp di mana kakanya kerja sbg administrasi disitu, waktu tau juga aku kaya lah enak amat yah sudah numpang kaka pakai jalur orang dalam juga

    ReplyDelete
  21. Ya Allaah, kasiannya yang tersingkir gara-gara ada yang coba-coba! Astaghfirullah ikut emosi bacanya...

    Kenapa sistem PPDB sekarang begini ya? Padahal tujuannya zonasi itu bukannya biar kualitas pendidikan sama rata ya? Artinya yang pinter-pinter gak cuma di sekolah itu aja, tapi sama rata, di semua sekolah ada yang pinter.

    Kalo nggak salah di Jepang apa ya, yang sistem zonasinya bagus. Jadi mau anak itu pinter atau nggak, dalam arti nilainya bagus atau enggak, berapapun nilai rapotnya, ya harus sekolah di sekolahan yang deket rumahnya dulu. Kalau sistemnya seperti ini memang bisa sama rata. Sekolah dimana saja sama. Apalagi terus gurunya digilir, dipindah tugaskan gitu. Jadi guru-guru hebat nggak terpusat di sekolah tertentu aja. Sekolah lain juga berkesempatan merasakan inovasi dari para guru yang beneran kompeten..

    ReplyDelete
  22. Kekesalanmu nyetrum sampe sini lho mba. Akupun akan kesel banget kalau ada yang dengan sengaja coba-coba ikutan PPDB tapi akhirnya dilepas. Dilepasnya bukan karena alasan penting pula, tapi karena coba-coba doang. Kasihan sama calon siswa lainnya

    ReplyDelete
  23. Aku yang nggak ikutan PPDB aja emosi lho dengan segala kecurangannya. Anyway mas Deniz nggak ikutan PPDB masuk SMP karena emang udah niatan mau masuk swasta, plus emang emaknya yang rada males juga ikutan PPDB karena kuatir bakalan ketemu dengan kecurangan-kecurangan yang seperti mbak Myra ceritakan. Masa mau sekolahin anaknya biar pinter, biar jadi 'orang' tapi diawali dengan cara yang nggak berkah. Yang ada nanti ilmu yang didapat pun nggak berkah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, harusnya kayak Mbak Tya. Kalau niatannya udah ke swasta ya gak usah coba-coba ikut PPDB sekolah negeri. Buat apa, sih? Kan, jadinya ambil jatah orang lain.

      Delete
  24. Saya baru ngerasain PPDB Online tahun ini karena adik masuk SMP. Niat pengin masuk SMP Favorit, tapi jaraknya di atas 1 kilometer. Dan ngelihat data tahun sebelumnya, jarang segitu nggak keterima. Akhirnya daripada ribet, terpaksa daftar zonasi di yang dekat saja hanya 400 meteran. Dan alhamdulillah keterima.

    Secara pribadi saya sih lebih sepakat kayak zaman dulu saja, biarkan anak-anak bersaing dengan nilai di sekolah pilihan masing2. Zonasi ini boleh diberlakukan, kalau fasilitas sekolah negeri sudah sama bagusnya. Kalau belum, biarkanlah anak dan orang tua memilih yang terbaik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah. Selamat untuk adiknya, ya.

      Sama. Saya juga lebih setuju bersaing dengan nilai aja. Kecuali sudah terjadi pemerataan. Jumlah sekolah merata di semua tempat.

      Delete
  25. Gemes banget sama alasan-alasan absurd rang-orang itu.
    Kenapa minim empati begini ya...? Dan ini aku yakin nurun ke karakter anak-anak mereka sii..
    Orangtuanya aja begini....

    Tapi yah.. aku setuju sama kak Chie.
    Minim menuliskan uneg-uneg ini di blog, sehingga ada banyak orangtua yang bisa BACA dan SADAR bahwa kalau niat mengikutkan anaknya ujian masuk, ya kudu sungguh-sungguh. Bukan hanya sekedar coba-coba.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, gagal paham banget saya sama yang ikutan seleksi hanya untuk coba-coba. Padahal itu bakal ambil jatah orang lain

      Delete
  26. Ikut kesel bacanya. Itu orang-orang yang tes buat coba-coba doang, nggak memikirkan nasib pendaftar lainnya apa? Nggak cuma di PPDB mbak, tapi juga di tes-tes beasiswa. Mungkin perlu kali ya sekolah/kampus bikin slot "coba-coba/iseng" khusus. Buat mereka yang cuma pengen pamer dan kepo nggak penting.

    Aku nggak suka banget sistem zonasi, itu membatasi. Zonasi nggak cocok buat negara yang persebaran fasilitas pendidikannya nggak merata gini. Banyak sekolah negeri nggak dapet murid didik baru. Banyak remaja cuma bisa sekolah di SMA Terbuka karena nggak ada SMA Negeri di kecamatannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebetulnya ada yang namanya try out. Ya bisa kali diukur dari itu. Kalau kira-kira bagus, kan, ada bayangan kemungkinan diterima atau enggak.

      Saya pun gak sreg dengan sistem zonasi. Sebetulnya bagus, asalkan jumlah sekolah merata. Nah, ini PR pemerataannya belum diselesaikan, tapi aturan udah diterapkan. Kan, jadinya ruwet masyarakatnya

      Delete
  27. udah dua tahun tapi keselnya masih membara yah
    aku ikutan kesal kalau ternyata emang udah mantab di swasta tapi tetap coba-coba masuk ke negeri. Ini butuh achievement atau apa si? Trus kalau ga jadi daftar, kuotanya diapakan? Bisakah adalagi yang masuk dari waiting list?
    biaya hidup di Jakarta kan lumayan, banyak yang ngincer masuk sekolah negeri karena gratis. lumayan kan yaa bisa nabung buat biaya pendidikan selanjutnya atau biaya les.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya pribadi udah lumayan bisa menerima Nai di swasta. Anaknya juga terlihat enjoy. Alhamdulillah.

      Tetapi, setiap tahun ramai kisruh zonasi. Bikin saya jadi gemes lagi. Apalagi terlihat belum ada perbaikan sistem. Kasihan yang gagal hanya karena kalah usia. Belum lagi lihat orang-orang yang kurang empati. Bikin gemes!

      Gak ada waiting list di PPDB DKI. Kalau kuotanya gak kepake, langsung dilimpahkan ke jalur seleksi berikutnya. Jadinya, ya harus pada bersaing lagi.

      Delete
  28. Akan aku ingat tulisan mbak ini
    Anakku sekarang kelas 5 SD, dua tahun lagi aku akan berjuang di PPDB
    Mohon doanya ya mbak, agar sukses ikut seleksi ppdb masuk SMP negeri

    ReplyDelete
    Replies
    1. InsyaAllah dilancarkan dan sistemnya dibuat lebih baik. Aamiin Allahumma aamiin

      Delete
  29. Puk puk mbak myra 🤗🤗. Ngerasa sih aku, Krn tahun lalu udah ngerasain daftarin anak masuk sd, tapi hrs ketendang Ama anak yg usianya 10,11 THN, buat anak 1 SD 😂. Walopun akhirnya anakku ditrima, tapi lokasinya agak jauh dr rumah, ga 1 sekolah Ama kakaknya.

    Masih bersyukur, walopun gemeees.

    Dan makin kesel pas baca ada yg sampe ikutan hanya iseng atau malsuin kk segala. 😔. Ntahlaah, mungkin dlm kehidupan sehari2 memang terbiasa berbuat curang mba. Agak susah handle orang yg mindsetnya menghalalkan segala cara gini. Biar aja ntr kena batunya sendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Agak ngeri lihat faktanya ya, Mbak. Usia 10-11 tahun baru masuk SD. Ya, meskipun peluangnya jadi semakin besar karena seleksi kan hanya berdasarkan usia. Tapi, kan, jadi pertanyaan juga kalau usia segitu baru sekolah.

      Iya, kesel banget saya sama yang curang gitu. Apalagi ikutan sekadar iseng. Semoga cepat sadar aja. Kalau itu perbuatan nir empati

      Delete

Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)

Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^