Bulan Juli lalu benar-benar penuh drama. Hampir setiap hari menangis
karena kecewa dengan sistem PPDB DKI. Masih harus ditambah pula dengan
mendapatkan kabar kalau keluarga besar Chi di Bandung semuanya positif
COVID-19. Rasanya pengen teriak!
Tanpa ada 2 kejadian itu pun rasanya banyak yang belum bisa melupakan
kejadian di bulan Juni-Juli, ya. Masa di mana Indonesia mengalami
gelombang kedua COVID. Ada juga yang mengatakan tsunami
COVID-19.
Sempat terpikir untuk berhenti sementara dari medsos. Abisnya dari pagi
hingga malam, berita duka seperti gak ada hentinya. Semua platform apapun
terasa suram.
Tetapi, berhenti sejenak dari medsos kayaknya gak akan menghentikan
suasana duka. Kami bersyukur di lingkungan rumah tidak ada yang terkena
COVID. Tetapi, di sini dikelilingi beberapa masjid. Setiap saat toa masjid
mengabarkan berita duka. Udah kayak bergantian, terkadang sahut-sahutan.
Belum lagi suara ambulance mondar-mandir kayak gak kenal waktu. Asli
horror juga pada saat itu.
Chi mulai curiga ketika salah seorang sepupu buat IGS. Katanya dia udah
kena demam beberapa hari. Nah hari gini, demam juga bisa bikin parno,
dong?
Chi menghubungi dia dan katanya sedang menunggu hasil Swab. Besok paginya
dia mengabarkan kalau positif. Setelah itu berturut-turut dengar kabar
satu per satu juga terpapar.
Batasi Asupan Informasi tentang Pandemi, Jangan Denial Apalagi Abai
Kita tidak bisa mencegah seseorang atau media memberitakan tentang pandemi. Kita hanya perlu mengontrol kemampuan diri sendiri.
Buat beberapa orang, berita tentang pandemi yang seperti tiada henti
memang terasa mengerikan. Apalagi kalau yang menyampaikannya dengan nada
emosi.
Chi paham kalau setiap orang berbeda-beda. Ada yang baca 1 berita sedih
aja bisa kepikirannya berhari-hari. Tetapi, ada juga yang tetap
tenang.
Menurut Chi kuncinya ada di diri sendiri. Kurang pas rasanya kalau kita
mengkritik mereka yang sering menyampaikan berita tentang pandemi. Padahal
yang disampaikan bukan hoax. Tetapi, kalau kita merasa cukup terganggu
atau gak sanggup, tinggal dikontrol aja. Tentukan kapan waktunya membuka
medsos. Kalau perlu mamanfaatkan fitur mute/hide.
Membatasi asupan berita tentang pandemi, jangan membuat kita menjadi
denial apalagi abai. Chi melihat selama ini keluarga besar agak seperti
itu. Kami suka becanda, tetapi bahasan tentang COVID-19 seperti terasa
kurang menarik bagi keluarga besar. Hampir gak pernah kami ngobrolin
tentang hal ini. Coba kasih info kayak kurang direspon. Berbeda dengan
becanda. Dan selalu merasa baik-baik aja seperti tidak ada wabah
corona.
Ketika mendapat kabar kalau semua keluarga besar di Bandung positif
Covid, rasanya pengen pura-pura gak tau. Malah pengen julid juga.
*langsung istighfar
Ya abisnya Chi lagi pusing sama urusan sekolah Nai, trus dapat kabar
begini. Udah gitu selama ini kayak pada nyantai. Sebetulnya Chi juga
kurang tau apa selamai ini mereka patuh prokes atau enggak. Cuma kayak
yang Chi bilang, bahasan pandemi di WAG berasa anyep.
[Silakan baca:
Cerita di Bulan Juli, Seleksi PPDB DKI Jakarta yang Mengecewakan]
Denial dengan pandemi bisa membuat 'buta arah'
Tetapi, ya gak tega juga. Namanya juga ma keluarga sendiri. Apalagi
kelihatannya banyak yang kebingungan. Entah bingung karena sedih semuanya
kena atau gak tau harus berbuat apa.
Gak sekalipun Chi menceritakan tentang kesedihan gara-gara PPDB di WAG.
Chi langsung fokus untuk bantuin bersama beberapa sepupu yang tidak
tinggal di Bandung. Dari mulai kasih info hingga kirim makanan dan
suplemen. Chi juga gak bertanya bagaimana bisa kena. Ya udah lah pokoknya
fokus dulu saja sama kesembuhan semua.
Bijak Saat Memberikan Bantuan Meskipun Niatnya Baik
Ketika mendengar kabar keluarga besar di Bandung positif COVID, Chi
langsung berkomunikasi dengan sepupu di Malaysia. Alhamdulillah teknologi
digital saat ini memudahkan komunikasi dan kirim-kirim bantuan. Bahkan
yang di luar kota dan luar negeri sekalipun bisa kasih bantuan.
Chi selalu bertanya dulu ketika akan kirim-kirim. Bukannya gak mau
spontan. Tetapi, siapa tau udah banyak dapat bantuan. Padahal lagi sakit
biasanya gak begitu nafsu makan. Sayang aja kalau sampai mubazir.
Terkadang keluarga minta dikirim bahan makanan. Alasannya biar bergerak.
Gak mageran karena sakit. Ya udah kirim bahan makanan. Tapi, yang mudah
diolah kayak nugget, bakso, dan semacamnya.
Kalau isi kulkas lagi penuh, kami kirim makanan jadi. Biasanya tanya dulu
pengen dikirimin makanan apan. Biar semangat makannya meskipun beberapa
keluarga mengalami hilang rasa.
Bantuan berupa semangat atau segala macam saran pun ada. Nah, saran ini
yang beberapa kali menjadi masalah. Positif thinking, deh, maksudnya
mungkin baik. Misalnya kasih saran minum obat ini dan itu supaya lekas
sembuh.
Sayangnya info yang dibagikan, ada yang gak disaring dulu. Dapat sari
sumber manapun langsung dibagikan. Beberapa menyarankan obat keras. Malah
ada yang udah terlanjur beli dan konsumsi. Hadeuuuuhhh. Kayak gini yang
bikin Chi jadi bawel banget. Udah kayak suster online hihihi.
Kalau ada keluarga, teman, tetangga, atau siapapun yang sedang sakit, tetap harus berhati-hati memberikan bantuan. Apalagi kasih saran konsumsi ini-itu. Jangan sampai malah jadi menimbulkan efek yang tidak diinginkan bagi yang sakit. Ini berlaku untuk penyakit apapun. Tidak hanya tentang COVID.
Kami gak berlama-lama meratapi kesedihan karena pada positif. Di WAG
selalu becanda. Kirim-kirim video lucu atau apapun yang bisa bikin ketawa.
Kalau ada yang curhat gak bisa merasakan rasa apapun, kami tertawa-tawa
menanggapinya. Pokoknya berusaha membuat suasana jadi senang.
Vaksin Terbukti Mengurangi Risiko Saat Positif COVID-19
Menegangkan banget ketika semua positif COVID. Apalagi terjadi di
gelombang kedua. Suasana yang sedang serem-seremnya. Keluarga besar Chi
pun kena juga. Mana ada 1 orang tante yang komorbid. Oiya yang tinggal di
satu lokasi ada 2 keluarga. Tetapi, keluarga lain yang gak serumah pun
juga ikutan kena di waktu yang bersamaan.
Alhamdulillah semua masih bergejala ringan. Cukup isoman selama 2 minggu.
Tetapi, yang bener-bener ringan gejalanya dirasakan oleh anggota keluarga
yang sudah divaksin. Saat itu hanya 3 orang keluarga yang sudah divaksin
yaitu 1 orang tante (usia 60 tahun) dan 2 orang sepupu yang masih berusia
awal 20 tahun. Ketiganya divaksin Sinovac.
[Silakan baca:
Mamah Sudah Divaksin Sinovac untuk Lansia]
Meskipun cukup isoman semua, tetapi gejalanya berbeda-beda. Ada yang
bener-bener hilang rasa makanan/minuman dan hilang penciuman. Ada yang
masuk sedikit makanan aja langsung mual. Ada juga yang malah kacau indera
perasanya. Misalnya semua rasa makanan dan minuman terasa manisnya
kebangetan. Padahal yang dikasih adalah jeruk peras asam. Ada juga yang
merasa semua makanan itu sangat asin.
Hampir semua bermasalah dengan indera penciuman saat terkena COVID-19.
Gak bisa mencium aroma apa pun. Pernah kejadian ada tikus mati di dapur.
Ukurannya lumayan besar, tetapi gak ada yang bisa mencium aroma busuk dari
bangkainya. Mungkin terkesan sedikit menguntungkan, ya hehehe. Tetapi,
tetap aja harus disingkirkan.
[Silakan baca:
Tips Menghilangkan Lem Tikus yang Menempel di Kulit]
Ada yang badannya terasa sangat sakit kayak ketujes-tujes banyak
jarum. Bibir pada pecah-pecah. Meskipun semua bergejala ringan, tetapi
ternyata yang dirasakan bisa beda-beda.
Ada juga yang mengalami long covid. Meskipun udah selesai isoman, tetapi
batuk masih terus ada. Gejala ringan pun ternyata tetap gak enak. COVID
bukan flu biasa.
[Silakan baca:
Mencari Lokasi Sentra Vaksinasi untuk Vaksin Sinovac Dosis Kedua]
Kelakuan Penganut Teori Konspirasi Beneran Meresahkan!
Alhamdulillah, satu per satu mulai sembuh setelah isoman 14 hari. Tentu
bersyukur banget semua bisa melewati. Tanpa harus ada yang dirawat di
rumah sakit, antre oksigen, dan lain sebagainya.
Kami sedang bahagia dan bersyukur karena mulai pada sembuh. Tapi dalam
sekejap berubah jadi kesel banget. Ya gimana gak kesel kalau tau-tau ada
yang bilang COVID sebetulnya cuma flu biasa. Menuding dokter mengcovidkan
dan share link tentang konspirasi.
Eyaaampuuunn! Ini yang sakit udah di depan mata, lhooooo! Keluarga
sendiri yang kena. Masa' masih juga gak percaya?
Kelakuan semua pelaku teori konspirasi tuh sama, ya? Gak hanya di WAG
keluarga. Di grup lain juga kelakuannya mirip-mirip.
Mereka menghilang ketika suasana di grup sedang suram karena ada yang
positif, minta tolong infoin tabung oksigen, donor plasma, dan lain
sebagainya. Boro-boro kasih info atau bantuan apapun. Sekadar mengucapkan
'semoga lekas sembuh' pun gak ada.
Gak ada kok yang memaksa harus kasih bantuan. Tetapi, terkadang Chi
berpikir, "Apa sih susahnya mengucapkan kalimat 'semoga lekas sembuh'?"
Ya, mungkin bagi mereka yang gak percaya akan berasa berat. Karena mereka
tetap menganggap penyakit sepele.
Tetapi, mendingan diam aja seterusnya. Jangan pas suasana di grup lagi pada panik, gak ada suaranya. Tetapi, ketika sudah mulai tenang, ujug-ujug muncul dengan segala teori konspirasinya. Seolah-olah mereka yang membutuhkan bantuan saat kena COVID lagi pada ngedrama. Kan, jadinya bikin keseeeeelll.
Tetapi, mendingan diam aja seterusnya. Jangan pas suasana di grup lagi pada panik, gak ada suaranya. Tetapi, ketika sudah mulai tenang, ujug-ujug muncul dengan segala teori konspirasinya. Seolah-olah mereka yang membutuhkan bantuan saat kena COVID lagi pada ngedrama. Kan, jadinya bikin keseeeeelll.
Mungkin Chi akan terus berbeda pendapat dengan mereka yang gak percaya
COVID. Tetapi, apa pun alasannya, empati jangan sampai hilang. Udah fakta
di depan mata ada yang sakit, jangan bersikap nir empati dengan mengatakan
'Ah, itu cuma flu biasa' atau semacamnya. Padahal di antara mereka yang
sedang diberi cobaan ada yang sampai nangis-nangis karena bingung cari
rumah sakit, butuh oksigen, dan lain sebagainya. Bahkan ada juga yang
sampai wafat anggota keluarganya.
Perbedaan pendapat yang terjadi jangan sampai menghilangkan hati nurani
45 comments
Sabar ya myr... Ngerti bangetttt yg mba rasain, Krn terjadi juga di keluargaku. Banyak yg masih ga percaya, masih abai, bilang urusan politik dll. Mending kalo Diem aja, ini juga sampe nyebarin hoax. Salah satu alasan kenapa aku kluar dari grub keluarga besar. Si orang julid kata adikku, yg kluar dari grub mau dicoret dari kluarga besar ATO gimana...
ReplyDeleteAku langsung ngakak, Krn sbnrnya pengen jawab, mending dikeluarin aja, soalnya malu 1 keluarga sama begituan 😤.
Mba myra dan keluarga sehat2 yaaaa... Semoga tahun depan kita bener2 bisa kluar dari pandemi ini
Aamiin Allahumma aamiin
DeleteYa, pandemi jadi bikin kita menyeleksi lagi. Sedihnya keluarga juga ada beberapa yang kena seleksi
Perbedaan pendapat yang terjadi jangan sampai menghilangkan hati nurani
ReplyDeleteSepakat dgn quote ini mbaa
Kakak iparku July lalu berpulang juga setelah positif covid.
semoga kita semua bisa melalui pandemi ini ya.
Turut berduka cita ya, Mbak. Semoga kita bisa terus diberi kekuatan
Deletesetuju, perbedaan pendaapat jangan sampai menghilangkan hati nurani..
ReplyDeleteAku memilih ga berkabar di WAG keluarga suami karena hampir mereka semua antivaksin dan tidak percaya Covid. Ya sudah, sekedar pesan semangat aja pun tak ada. Tapi syukurnya saya dapat limpahan semangat dari yang lainnya
Heuuu! Sedih banget kan kalau gini. Seharusnya keluarga termasuk orang-orang terdekat dalma hal memberi semangat
DeleteNah aku setuju pada point di mana obat obatan keras itu dishare dan orang beramai ramai stok di rumah
ReplyDeleteAku sempat tergoda beli beberapa tapi y ang kayak obat batuk asma, dan vitamin karena kupikir kalo vitamin toh aku juga butuh terus Chi
Yup! Maksud hati memang baik. Tetapi, jangan sampai jatuhnya jadi salah
DeleteIya ya.. Diaaat ada yg kena covid memang harus ditanya sama si oenderita maunya apa. Kalau saya di keluarga itu yg sebel, udah kena covid, keluarga yg satu rumah mentang2 ga positif lalu jalan2 kemana2. Mau marah gimana. Ga marah juga gimana. Serba salah
ReplyDeleteakhirnya cuma bisa sedih ya, Mbak
DeleteIya mbak, kalo udah rame di keluarga besar yg terkena paling ga ya minimal kasi ucapan semoga cepat sembuh. Bukannya nambah²in omong ttg nggak percaya dengan covid 19.
ReplyDeleteyup! Empati lah sama yang sakit
DeleteI feel you Mba. Pas lagi serangan gelombang kedua, Ibu, Bapak, Adek ipar dan suami juga kebagian "arisan covid". Duh rasanya tu ya nano-nano. Lelah tapi harus kuat-kuatin diri supaya gak ikutan drop.
ReplyDeleteAlhamdulillah sekarang udah pada sehat ya, Mbak
DeleteIya nih mba, aku juga sedih banget beberapa teman berpulang karena Covid. Kami juga di Medan belum vaksin dan belum bisa balik Tangerang. Tetangga si Tangerang sekeliling kena Covid bahkan Ibu RT juga meninggal karena Covid.. Sedih 😢, semoga segera pulih negara kita dari Covid ya mba
ReplyDeleteDuh Beneran bulan Juni Juli itu bikin stre, banyak kasus positif. Apalagi suami kena, selang dua pekan, aku kena. Jangan lagi deh. Sehat sehat. Sepakat deh jangan sampai hilang empati dan simpati
ReplyDeleteSehat-sehat selalu setelah ini ya, Mbak. Aamiin
DeleteGimana kabarnya sekarang, udah membaik keluarganya Mba? Moga udah pada sehat ya. Pandemi ini emang jangan sampai diabaikan, jangan denial juga. Memang benar biasanya kalau udah vaksin, efek yang ditumbulkan engga akan separah yang belum vaksin. Udah setahun setengah lebih malahan pandemi ini, harapannya semoga pandemi cepat berlalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah pada sehat semua
DeleteAlhamdullilah aku sudah vaksin lengkap, suami dan anak-anak juga yang sudah bisa vaksin, sudah dua kali vaksin juga, jadi sedikit berkurang rasa khawatirnya soalnya sudah mulai uji coba PTM, tapi aku tetap wanti-wanti anak-anak harus tetap jaga prokes ketat karena vaksin bukan berarti ngak bakalan kena tapi hanya salah satu cara agar jika terkena kondisi tidak parah. Syukurlah keluarga besar meskipun sempat mengalami covid tapi ngak parah karena sudah vaksin semua termasuk tanteku yang sudah sepuh.
ReplyDeleteAlhamdulillah. Semoga terus sehat ya, Mbak
Deleteuntukku pun bulan Juni - Juli merupakan bulan perjuangan banget, karena aku pun sekeluarga positif covid. Gelombang 2 covid ini memang lebih berasa banget mak, aku pun sudah campur aduk sekali perasaannya.
ReplyDeleteSemoga jangan ada gelombang lagi. Aamiin Allahumma aamiin
DeleteBener banget nih soal pemberian saran. Kadang tuh kalo ad yg positif langsung banyak yg ngasih saran kasih ini kasih itu. Gak salah ketika obatnya tipikal imunimodulator yg meningkatkan imun. Tp kali udah obat yg bahaya n hrs pake konsultasi dokter y sebel jg kalo ad yg lngsung percaya n beli sesukanya
ReplyDeleteIya, Mbak Harus hati-hati banget
DeleteKalau ada sodara ata tetangga yang terkena covid, lebih baik nggak asal kirim kirim. Paling enak memang kasih kabar dulu, butuhnya apa. Ini benar-benar membantu sekali... jadi udah pasti kepake atau kemakannya, karena kita ngasih yang mereka butuhkan
ReplyDeleteIya, daripada gak kemakan trus kebuang. Kan, jadinya mubazir
DeleteAlhamdulillah keluarga sudah sehat, ya Mbak. Saya pribadi percaya Covid ini nyata. Lha gimana udah sempat isoman juga. Cuma waktu itu hanya suami yg positif. Tapi kami sekeluarga ikut isoman 14 hari cuma di ruangan yg berbeda. Kalau sekarang cenderung mulai berani keluar, itu bukan karena gak percaya sih, tapi karena kayak udah sampai pada titik berusaha melawan dengan prokes dan sebagainya. Bismillah mulai bergerak tapi harus terus waspada.
ReplyDeleteYa memang tetap akan ada mobilitas. Gak bisa terus-terusan di rumah. Gak apa-apa juga asalkan prokes
DeleteAh iya, pasti lebib parno klo keluarga besar yang kena ya mbak
ReplyDeleteSetuju mbak, vaksinasi membuat kita lebih terhindar dari COVID-19 ini
Menegangkan ketika pada kena
DeleteIya ya kakakku ada yang kena Covid-19 bahkan suaminya dirawat juga 1 bulan di wisma atlet. Kami saling menyemangati di WAG keluarga
ReplyDeleteHarusnya memang seperti ini
DeleteHuhu persis aku saat Juli - Agustus lalu nih. Serumah kena. Setuju banget dengan apa yang ditulis MakChi. Apalagi tentang kelakuan covidiot. Huhu nyebelin. Bikin penanganan covid berlarut-larut. Dan iya juga, vaksin bikin gejala covid jadi ringan. Ayo semua divaksin!
ReplyDeleteyuk vaksin. Ikhtiar agar pandemi lekas berakhir
DeleteYa Allah...
ReplyDeletePas banget aku sebagai wargi Bandung juga merasakan hal yang sama nih, kak Chie.
Mulai berkurangnya awarness masyarakat dan doaku, semoga semua dilindungi Allah. Ikhtiar maksimal mah..wajib banget.
Yup! Jangan abaikan ikhtiar
DeleteJuni Juli kemarin itu emang beneran "masa suram". Saya pun awalnya kalau ada notif pesan di group wa, "innalillahi..." nggak berani langsung membuka.
ReplyDeleteSaya pun jengkel yang sampai saat ini masih bilang "alah, ini sih permainan politik aja, ada konspirasi bla bla bla..."
Campur aduk banget pas gelombang kedua ya, Mbak
DeleteBetul banget mba, kita ga boleh jadi gak empati hanya karena opini pribadi kan. Karena meski banyak yang tidak bergejala, banyak juga yang sampai meninggal, beberapa di antaranya teman saya. Sehat-sehat ya mba sekeluarga
ReplyDeleteSehat-sehat juga untuk Mbak Eni dan keluarga
Deletehuhuhu aku pun ngalamin sendiri juli kemaren kayak nightmare
ReplyDeleteduh moga2 semua sehat ae wes
tapi emang kesel ksalau masih masih banyak yang ga mau vaksin -____________- apa coba bukannya bikin pada sehat malah bikin pada kena. duh apalagi di desa begini mba huhu pengen tak tutuk pala e ben gellem vaksin
Gregetan banget ya, Cha
DeleteSekarang gimana, Mbak? Ada efek long covid enggak? Suamiku sampe sekarang masih belum pulih pembaunya, padahal dah 3 bulanan.
ReplyDeleteAlhamdulillah udah pada sembuh dan gak ada long covid
DeleteTerima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^