Cerita di Bulan Juli, Seleksi PPDB DKI Jakarta yang Mengecewakan
By Keke Naima - September 12, 2021
Halo, September! 8 bulan sudah melewati tahun 2021. Alhamdulillah masih
diberi kesehatan dan kenikmatan. Tetapi, di antara 8 bulan ini, kayaknya
Juli yang paling emosional. Ada cerita tentang seleksi PPDB DKI yang
mengecewakan hingga keluarga besar positif COVID-19. Kejadiannya pun
berbarengan.
Chi ceritain tentang sistem PPDB DKI dulu, ya ...
Chi sudah 3x mengikuti proses PPDB DKI. 2x seleksi ke SMP Negeri untuk
Keke dan Nai. Terakhir, waktu Keke seleksi ke SMA Negeri. Alhamdulillah
semua prosesnya lancar dan nyaris tanpa drama.
Bahkan Chi bilang kalau PPDB DKI Jakarta termasuk terbaik. Prosesnya gak
ribet dan sangat transparan. Puas banget pokoknya. Sampai Chi membuat
beberapa tulisan tentang pengalaman ini.
Tetapi, di setiap tulisan Chi selalu bilang kalau tahun depan bisa aja
aturannya berubah. Ya, gonta-ganti peraturan sepertinya bukan hal aneh di
Indonesia. Apalagi kalau pemimpinnya ganti. Makanya Chi (berusaha) siap
dengan kebijakan apapun.
3x ikut PPDB meskipun gak rutin setiap tahun, peraturannya kurang lebih
masih sama. Kalaupun ada, perubahannya minor banget. Jadi gak begitu
terasa. Tetapi, mulai tahun lalu peraturannya berubah banget, dong.
Semua berawal dari UNBK yang dihapus ... 😌
Selama ini aturan PPDB di DKI menggunakan seleksi NEM. Semakin tinggi
NEMnya, semakin berpeluang mendapatkan sekolah negeri yang diinginkan.
Tetapi, karena mulai tahun lalu gak ada UN, peraturan PPDB berubah
total.
Oiya, sebelum lanjut menceritakan pengalaman ikut PPDB tahun ini, Chi
udah gak mau jelasin lagi tentang anggapan NEM tinggi hanya bis adiraih
oleh mereka yang ikut bimbel, sekolah negeri seharusnya untuk kalangan
tidak mampu, dan lain sebagainya. Karena semua jawaban itu udah Chi ulas
lebih dari 1000 kata setahun yang lalu. Jadi silakan baca aja postingan
yang berjudul
Kisruh PPDB DKI Tahun 2020 Jalur Zonasi.
Bertahun-tahun PPDB DKI berjalan dengan aman dan adem ayem. Tetapi, sejak
tahun lalu, kisruh pun dimulai. Bahkan banyak orang tua yang demo dengan
sistem seleksi terbaru.
Chi pun ikut bersuara meskipun ada beberapa yang bilang santai aja,
anaknya kan belum lulus. Lha, Nai memang saat itu belum lulus. Tetapi,
kalau sistemnya masih sama bikin ketar-ketir juga. Chi berharap ada
perbaikan, dong.
Emang iya ada perubahan sistem lagi. Tapi, ternyata lebih parah, dong.
Seriusan bikin emosi jiwa. Sejujurnya Chi pun udah males bahasnya. Makanya
di postingan ini kayakna gak akan cerita detil. Padahal udah banyak bukti
screenshot. Tapi, semangat ceritainnya udah menurun banget hehehe.
Gagal Masuk SMA Negeri Jalur Akademis dan Zonasi
Ada beberapa jalur seleksi di PPDB DKI. Tetapi, Nai hanya bisa ikut di 2
jalur itu. Karena sisanya adalah jalur KJP, Anak Panti Asuhan, Anak supir
TransJakarta/JakLingko, Anak Guru, Ikut Pindah Orang Tua Kerja, dan Anak
Nakes. Ya kalau gak salah sisa jalur lainnya itu. Chi beneran lagi males
cek ke website PPDB DKI hahaha.
Ketika mendengar/membaca kata 'akademis' biasanya langsung ingatnya ke
nilai-nilai pelajaran, dong? Ternyata jalur akademi tahun ini beda banget.
Secara garis besar dibagi jadi 3 poin yaitu nilai raport, ketua
OSIS/Ekskul, dan prestasi akademis.
Katanya 3 poin penilaian ini sejalan dengan kurikulum terbaru dari Kemendikbud yaitu kurikulum Sekolah Penggerak. Ada yang bilang juga kalau di luar negeri, akademis memang tidak hanya tentang nilai pelajaran. Tetapi, juga prestasi menjabat di organisasi atau pernah menjuarai lomba.
Katakanlah semua itu benar. Tetapi, masalahnya adalah ... MINIM SOSIALISASI. Selalu dibikin mendadak macam tahu bulat. Hufff!
Itulah kenapa setiap kali bikin postingan tentang PPDB, Chi selalu
bilang gak tau apakah sistem seleksi akan berubah lagi atau enggak di
tahun depan. Sebetulnya kebijakan yang berubah-ubah gak hanya terjadi di
DKI. Tetapi, kayaknya udah jadi rahasia umum kalau tiap kali ganti menteri
ganti kebijakan.
Hitungan Persentil yang Pengen Banget Disentil
Sejak dulu sosialisasi PPDB ini sangat minim. Tetapi, karena sebelumnya
minor banget perubahannya, kecuali tahun lalu dan sekarang, jadi masih
santai aja.
Setelah peraturan PPDB tahun lalu yang penuh kontroversi, wajar dong
kalau Chi dan banyak orang tua lainnya merasa cemas. Berharap ada
perubahan peraturan yang lebih. Tetapi, karena gak juga ada sosialisasi,
rasanya kayak dibikin menduga-duga.
Menjelang pembukaan PPDB baru ada sosialisasi. Semangat banget untuk
datang. Bahkan K'Aie sampai ikut. Padahal biasanya salah satu dari kami
aja yang rapat. Ternyata infonya cuma setengah-setengah.
Kami hanya dikabarkan kalau penilaian akademis nanti gak murni nilai
raport. Berbeda ketika masih ada UNBK. Seleksinya murni pakai NEM.
Untuk nilai rapor ada hitungan persentil. Kemudian ada poin-poin tambahan
lain. Masalahnya poin-poin tambahannya itu gak dikasih tau. Orang tua
sudah bertanya, tetapi hanya dapat jawaban, "Ibu dan bapak tenang aja.
Semua sudah dihitung oleh sistem."
Padahal bukan perkara dihitung oleh sistem atau enggak. Kalau itu, sih,
kita seneng-seneng aja. Tetapi, kan, kali aja bisa kasih masukan kalau
ternyata kurang sreg.
Kami baru tau hasil penghitungannya di saat PPDB dibuka. Semua dibikin
terkejut. Gak hanya orang tua di sekolah Nai. Telihat dari ramainya protes
di akun medsos Disdik dan PPDB DKI. Bahkan banyak juga orang tua yang demo
ke kantor Dinas Pendidikan DKI.
Komposisi nilai akademis terbagi 3, yaitu
Persentil Nilai Raport
Perhitungan persentil nilai rapot tuh 30% anak dengan nilai tertinggi di
satu sekolah akan mendapat poin tambahan 100. Sedangkan sisanya 60. Itu
untuk sekolah akreditasi A. Sedangkan akreditasi B dapat 20% dan C
10%.
Siswa yang bersekolah di sekolah unggulan akreditasi A bisa dirugikan
dengan persentil ini. Kejadian di sekolah Nai. Di mana nilai rapotnya
tinggi-tinggi. Tetapi, hanya 30% anak yang mendapatkan tambahan nilai
100.
Nai hanya mendapatkan tambahan nilai 60. Menyesakkan ketika melihat
banyak siswa dari sekolah lain yang nilai raportnya lebih kecil dari Nai,
tetapi hasil akhirnya bisa lebih tinggi. Ya mungkin di sekolahnya anak
tersebut termasuk yang paling tinggi nilainya sehingga mendapatkan
tambahan 100.
Tambahan Nilai Sebagai Ketua Osis atau Ketua Ekskul
Banyak yang bilang kalau jalur akademis tahun ini adalah jalur Ketua
Osis. Kuota jalur yang cuma seuprit ini didominasi oleh para siswa yang
pernah menjabat Ketos.
Nai hanya mendapat tambahan nilai sangat kecil karena jadi pengurus
ekskul. Gak sebanding dengan yang pernah menjabat sebagai Ketua Osis atau
Ketua Ekskul.
Banyak sekali orang tua yang kesal dengan penilaian yang ini. Gak ada satupun ekskul yang boleh berjalan selama pandemi. Tetapi, ketua ekskul menang poin banyak dari sini. Padahal kegiatannya aja gak ada!
Siswa Berprestasi Juga Dapat Nilai Tambahan
Dulu siswa berprestasi yang pernah menang kejuaraan masuknya ke jalur
non-akademis. Karena biasanya berprestasi di bidang olahraga. Tetapi,
tahun ini yang menang lomba-lomba akademis juga diapresiasi.
Teorinya memang bagus. Sayangnya karena pandemi, isian poin-poin ini
dilakukan sekolah. Bukan oleh petugas PPDB. Jadi seperti tidak ada
pengawasan. Sistem mah menerima aja informasi apapun dan tinggal
menghitung.
Akhirnya terjadi banyak keanehan. Banyak lomba-lomba yang kayaknya
'enggak banget'. Bahkan ada juga yang nyasar. Misalnya lomba
baris-berbaris harusnya masuk ke jalur non akademi. Ternyata ada juga yang
dimasukkan ke akademis. Berhasil masuk negeri dong karena nilainya
ngangkat.
Sistem PPDB DKI sangat transparan. Ini patut diapresiasi. Tetapi, karena
transparasi itu pula jadinya beberapa keanehan terpampang nyata dan
menimbulkan banyak protes dari orang tua.
Chi punya beberapa bukti yang udah discreenshot. Tetapi, sekarang malas
banget lah uploadnya. Pokoknya cukup tau aja banyak yang aneh.
Sakit hati ketika ada siswa yang sehari-harinya terlihat jarang banget
isi daftar hadir PJJ. Tugas pun jarang ngumpulin. Sampai walas pernah
marah karena banyak guru matpel yang angkat tangan ma anak ini.
Eh, dia berhasil dapat negeri, dong. Hanya karena punya sertifikat kejuaraan baris-berbaris. Padahal itu kan lombanya sebelum pandemi. Ikut lombanya juga bareng-bareng. Gak baris sendirian.
Eh, dia berhasil dapat negeri, dong. Hanya karena punya sertifikat kejuaraan baris-berbaris. Padahal itu kan lombanya sebelum pandemi. Ikut lombanya juga bareng-bareng. Gak baris sendirian.
Nyesek banget, lah. Nai dan banyak temannya jungkir balik belajar dengan
tekun selama PJJ. Harus kalah dengan poin-poin tambahan seperti itu. Nah
dan banyak temannya yang hanya punya nilai bagus di raport harus ketendang
dari jalur akademis.
Kembali membahas 3 poin penilaian ini yang katanya sesuai dengan kurikulum terbaru yaitu Sekolah Penggerak. Ada yang bilang juga jadi mirip kayak di luar negeri.
Teorinya memang bagus. Apalagi banyak masyarakat yang bilang kalau pendidikan di Indonesia seperti hanya mementingkan nilai.
Tetapi, masalahnya adalah angkatan Nai udah terbiasa dengan mengejar nilai. Tau sendiri kan ya seperti apa sulitnya pelajaran zaman sekarang? Jadi seperti memaksa harus memilih belajar atau aktif di organisasi dan ikut berbagai lomba.
Gak heran kalau banyak yang memilih bekerja keras untuk belajar supaya nilainya bagus. Bahkan sampai ikut bimbel dan gak sempat ikut kegiatan lain. Karena mereka terbiasa bersaing dengan nilai pelajaran. Gak pernah kebayang UNBK dihilangkan dan peraturan jalur akademis sangat berubah.
Kalau paling gak sejak 1 tahun sebelumnya disosialisasikan, mungkin gak akan ngotot banget belajar. Mending punya nilai biasa aja, lah. Asalkan punya jabatan atau pernah juara, justru malah tinggi nilai akhirnya.
Kalah Usia di Jalur Zonasi
Kuota terbesar di PPDB DKI ada di jalur zonasi. Tetapi, Chi udah kayak
merasa kalah sebelum perang kalau melihat perturan tahun lalu. Makanya
berharap banget bisa masuk lewat akademis. Gak menyangka jalur akademis
pun peraturannya mengejutkan.
Jalur zonasi masih simple. Tetapi, ada perbedaan banget. Sebelum pandemi
persaingannya lewat NEM. Dikatakan zonasi karena hanya boleh memilih
sekolah di kecamatan yang sama dengan domisili KK. Simple banget kan
aturannya?
Setelah UNBK dihapus seleksinya diganti pakai usia, dong. Jelas aja Nai
langsung kalah telak. Gak hanya Nai. Siswa berusia 15 tahun ke bawah
banyak yang ketendang. Padahal gak bisa dibilang kemudaan juga. Justru
rata-rata anak SMP lulusnya di usia segitu. Di sekolah Nai aja sebagian
besar gak keterima di negeri gara-gara kalah usia. Paraaaahhhh ....!
Usia maksimal masuk SMP di DKI adalah 15 tahun. Sedangkan untuk SMA, usia maksimal 21 tahun.
Karena seleksinya hanya berdasarkan usia, sejak tahun lalu usia tua
mendominasi. Sejujurnya, Chi agak ngeri kalau Nai harus seangkatan dengan
banyak siswa berusia 18 tahun ke atas. Bahkan ada beberapa yang berusia 20
tahun.
Pengalaman dari beberapa teman juga sempat bikin hati Chi ciut. Dari
berbagai cerita yang didapat, usia 18 tahun ke atas cara bergaul dan
pikirannya udah beda. Sedangkan anak-anak seusia Nai, kan, masih banyak
yang lugu.
Di Mana Empatimu?
Chi dan banyak orang tua lainnya mempertanyakan sistem umur ini. Chi
membuat banyak sekali tulisan di IGS dan mention pihak-pihak berwenang.
Sayangnya ada yang japri menuding Chi gak punya empati.
Memang gak banyak jumlahnya. 5 orang pun gak ada. Tetapi, udah lah lagi
sedih karena Nai gak keterima di negeri, masih juga dituding gak
berempati. Kenal juga enggak sama yang pada japri itu. Seenaknya aja
menuding orang gak berempati. Hellloooooo ...!!!
Maksimal usia 15 tahun masuk SMP itu termasuk udah tua, lho. Berarti
kalau usia segitu baru masuk SMP, SDnya usia 9 tahun. Itu kalau lancar
terus sekolah selama 6 tahun, ya.
Tapi, kayaknya di DKI udah jarang anak masuk SD usia 9 tahun. Rata-rata
7-8 tahu, kalau di swasta malah bisa lebih muda lagi.
Katakanlah benar ada anak usia 9 tahun baru masuk SD. 6 tahun kemudian lulus dan masuk SMP usia 15 tahun. Seharusnya usia 18 tahun udah masuk SMA kan, ya? Kok ini bisa untuk SMA maksimalnya jadi 21 tahun?
Selisih 3 tahun ngapain aja?
Apa iya gak naik kelas selama 3 tahun? Dikeluarin dari sekolah atau ada alasan lain?
Dengan selisih SMP ke SMA malah jadi 6 tahun, wajar dong kalau orang tua
banyak mempertanyakan? Apalagi banyak anak usia 18 tahun ke atas diterima
di negeri gara-gara sistem ini. Padahal pasti ada alasan kenapa mereka
baru masuk SMA di atas usia 18 bahkan ada yang 20 tahun.
Mereka yang menuding melalui japri bilang harusnya Chi punya empati. Bisa
jadi mereka ada jeda panjang karena harus cari kerja atau alasan
lainnya.
Kalau Chi disuruh berempati dengan mereka, trus bagaimana dengan Nai dan
banyak sekali anak seusianya yang terpaksa harus tereliminasi hanya karena
usia? Padahal anak-anak ini justru yang selalu belajar di saat pandemi.
Gagal masuk sekolah negeri hanya karena masih berusia muda, kan, bikin
sakit hati!
Dalam hal ini, Chi lebih memilih berempati untuk Nai dan banyak anak seusianya di sekolah mana pun yang terpaksa tereliminasi hanya karena usia.
Kesel aja, sih, ketika membaca cerita beberapa orang tua. Ada yang
berusaha mengadukan masalah ini ke Disdik DKI. Tetapi, hanya disarankan
untuk masuk jalur paket atau PKBM (Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat).
Chi tidak mengecilkan kualitas PKMB. Tetapi, apa gak kebalik kalau
anak-anak yang lagi punya semangat tinggi untuk sekolah formal malah
disuruh PKBM?
Apalagi dapat beberapa cerita kalau siswa berusia tua yang berhasil masuk
negeri tahun lalu banyak yang lanjut ke kelas XI. Alasannya gak sanggup
mengikuti kurikulum. Nah, kan! Selain itu mereka yang berusia tua mungkin
juga ada yang udah kerja. Justru PKBM paling cocok buat mereka. Tetapi,
hanya karena masuk sekolah negeri sekarang hanya seleksi umur, jadi banyak
yang ambil kesempatan.
Oiya, ada juga yang japri ke Chi kalau mereka yang bikin peraturan
terdiri dari orang-orang pintar di bidangnya. Ya terus
kenapaaaaaa?
Justru memang harus orang pintar yang bikin peraturan. Tetapi, bukan
berarti gak boleh dikritik. Memangnya hanya karena kami-kami gak
dilibatkan itu artinya pada bodoh-bodoh? Ada-ada ajaaaaa ...
Alhamdulillah Udah Move On
Part ini yang bikin Chi mau tetap menulis tentang PPDB DKI Jakarta yang
sangat mengecewakan tahun ini. Sekesel-keselnya, masih ada yang bisa
disyukuri. Mungkin kalau masih mangkel terus, gak bakal tulisan ini
publish hehehe.
Chi gak pernah memaksa Keke dan Nai harus masuk sekolah negeri.
Seandainya sistem seleksinya masih pakai NEM, Chi ikhlas bila mereka gagal
ke negeri. Karena itu artinya banyak yang nilainya lebih baik dari
anak-anak. Tetapi, kalau hanya seleksi umur rasanya nyesek banget.
Seolah-olah usaha anak untuk belajar sangat tidak dihargai.
Terlebih saat ini sedang pandemi. Bisa tetap menjaga ketekunan belajar di
saat PJJ lebih sulit daripada kalau sekolah tatap muka. Udah gitu Nai
anaknya tekun banget. Sedih melihat dia harus gagal hanya karena umur.
Meskipun Nai terlihat sabar, tapi sebagai ibu, Chi merasa sangat marah
sistem seleksi yang buruk begini.
Bener-bener berubah banget, deh. Padahal tadinya Chi sangat puas dengan
sistem PPDB DKI. Terbaik! Tetapi, sejak gak ada UNBK jadi berubah total.
Apa gak bisa bikin yang mendingan gitu sistemnya? Banyak banget lho orang
tua yang kecewa.
[Silakan baca:
Pengalaman Mengikuti Wisuda Virtual 2021]
Cuti, Home School, atau Sekolah Swasta?
Chi sempat menawarkan cuti setahun. Tentu aja selama setahun, Nai jangan
kayak pengangguran gak jelas. Bisa diisi dengan berbagai kursus yang
bermanfaat.
Tetapi, Nai gak mau dengan alasan semua temannya sekolah masa' dia
enggak. Chi pun berpikir, gak ada jaminan tahun depan masih sama
aturannya. Ya gitu, deh, Sosialisasinya selalu dibikin mendadak. Kalau
ternyata tahun depan sistemnya jauh berbeda dan tidak berpihak ke Nai,
bisa-bisa dia jadi kecewa.
Oke, skip pilihan cuti. Pilihan kedua adalah home school dan Nai udah
setuju. Kami sudah memilih sekolah yang saat ini kelihatannya sedang
banyak dipilih oleh orang tua karena pandemi. Tetapi, sepertinya sekolah
ini bukan rezeki kami.
Berkali-kali kami menghubungi, tetapi tidak direspon balik. Saya coba DM
lewat IG dan japri ke WA. Tetapi, hanya dikasih link kontak untuk
dihubungi oleh pihak sekolah. Yaelah, padahal udah dibilangin kalau Chi
udah beberapa kali isi form di link tersebut. Tapi, gak dikontak juga
padahal dijanjikan maksimal 24 jam.
Ya sudahlah karena kayak di-ping pong, pilihan terakhir adalah sekolah
swasta. Dengan kondisi pandemi begini, kami harus down grade pilihan
sekolah swasta.
Kami masih sangat bersyukur. Setidaknya masih ada rezeki untuk menyekolahkan Nai ke sekolah swasta. Banyak banget orang tua yang kebingungan dengan biaya bila harus ke swasta. Makanya memilih bekerja keras dengan dengan belajar supaya bisa keterima di sekolah negeri karena nilainya bagus.
Gak semua anak yang nilainya bagus karena ikut bimbel, lho. Harus dicatat ya ini karena masih ada yang menganggap siswa yang bernilai bagus karena punya privilege bisa ikut bimbel. Kalau sekolah di negeri akan ketemu dengan kalangan ekonomi yang beragam.
Pandemi semakin menambah beban karena banyak ekonomi orang tua yang terhantam. Sedih kalau baca curhatan para orang tua di WhatsApp. Mana ada pula yang sedang positif COVID. Sedang sakit masih harus kepikiran nyekolahin anak. Hiks!
Kami juga sangat bersyukur karena Nai terlihat masih tabah. Dia masih mau
sekolah meskipun harus down grade. Beberapa anak ada yang kecewa
berkepanjangan karena merasa usahanya sia-sia. Ada yang sampai mengurung
diri berhari-hari. Sampai orang tuanya bingung karena anaknya gak mau
sekolah saking kecewannya karena tereliminasi dengan peraturan yang
ngaco.
Chi paham banget dengan kekecewaan anak-anak itu. Kecewa bukan karena gak
dapat sekolah negeri. Tetapi, kecewa karena setahun lebih belajar tekun,
tapi berasa gak dihargai banget.
Saat itu, kalau pas lagi datang pikiran kalutnya, Chi sempat mikir, tau gitu gak usah ingetin Nai untuk tekun belajar. Mendingan dia nyantai aja selama PJJ. Rebahan, main game, nonton tv, atau apalah. Anggap aja lagi dikasih libur sekolah setahun lebih.
Kalaupun mau berfaedah, cari lomba-lomba yang bisa dapat sertifikat. Buat modal dimasukin ke jalur akademis. Lumayan, kan, bisa naikin poin akhir. Karena udah terbukti banget. Dari sekolah Nai aja ada yang kayak males-malesan PJJ, sampai banyak guru kesel, tapi nilai akhirnya tinggi hanya karena 1 sertifikat. Ajib banget, kan!
Sayangnya kayak gini gak pernah disosialisasikan dari jauh-jauh hari. Selalu mendadak macam goreng tahu bulat.
Tapi, abis itu langsung istighfar. Memang sepintas kayak sia-sia. Sampai saat ini pun Chi masih ada sedikit rasa sakit hati dan tauma. Khawatir usaha anak gak dihargai lagi.
Insya Allah, Ketekunan Gak Sia-Sia
Setelah tenang, Chi merasa gak ada sesuatu yang sia-sia. Ketekunan itu bukan proses instan. Memang kelihatannya saat itu Nai kayak gak dihargai. Tetapi, dia bisa tekun selama PJJ adalah sesuatu yang patut diapresiasi banget. Paling gak dari orang tuanya. Chi juga bersyukur karena Nai gak manjang kecewanya. Chi bisa semakin patah hati kalau Nai terus-menerus sedih.
Makanya tulisan ini pun tetap Chi buat. Sesuai dengan tagline blog ini
yaitu Catatan Harian Keke dan Naima. Kisah ini juga jadi pengalaman
berharga. Nai, bahkan kami orangtuanya, jadi sama-sama belajar kalau
kecewa itu secukupnya. Setelah itu move oooooonnn, meskipun masih rada
keki kalau diingat lagi hahaha!
Tetapi, kami tetap percaya semua akan ada hikmahnya. Hidup gak selalu diisi kekecewaan. Insya Allah apa yang dialami Nai sekarang bisa berbuah manis untuknya di masa depan. Aamiin Allahumma aamiin.
Tetapi, kami tetap percaya semua akan ada hikmahnya. Hidup gak selalu diisi kekecewaan. Insya Allah apa yang dialami Nai sekarang bisa berbuah manis untuknya di masa depan. Aamiin Allahumma aamiin.
0 comments
Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^