Chi pernah baca tentang efek orang tua yang terlalu berambisi kepada
anaknya. Tentu saja, kami tidak ingin seperti itu. Makanya, suka
berdiskusi dengan anak-anak. Biar tau apa yang mereka mau dan
pikirkan.
Menjadi, orang tua yang gak ambisius juga katanya lebih asik di mata
anak. Karena anak tidak dituntut harus menjadi ini itu untuk menuruti
ambisi orang tua. Ya syukurlah kalau memang dianggap sebagai orangtua yang
asik. Tetapi, bukan itu juga yang ingin dibahas di sini.
Berusaha menjadi orang tua yang tidak ambisius, ternyata bukan berarti
anak tidak memiliki ambisi yang kuat. Bahkan akhir-akhir ini setidaknya
ada 2 kejadian yang bikin Nai jadi ngedrop. Dia terlalu memaksakan diri
sendiri.
Berambisi Menjadi Ketua OSIS
Ini kejadian waktu Nai di kelas 8. Dengan riang dan terlihat semangat,
dia cerita kalau sedang mengikuti seleksi calon Ketua OSIS dan Ketua
Paskibra.
Ekspresi Chi saat itu campur aduk. Senang karena Nai memiliki aktivitas
yang bermanfaat. Terkejut karena setahu Chi, Nai ini tipe anak yang
introvert. Dia memang senang dengan ekskul Pakibra. Tetapi, gak menyangka
aja kalau dia berani mencalonkan jadi kedua.
Perasaan lainnya adalah galau. Menurut Chi, kedua jabatan itu sama-sama
bagus. Tetapi, juga memiliki tanggung jawab yang tidak mudah. Chi pun
menyarankan ke Nai supaya memilih salah satu. Supaya dia fokus.
Nai bersikeras ingin ikut keduanya. Dan dia tipikal yang keras kalau
sudah punya mau. Jadi, Chi paling tarik ulur aja. Tetap mendukung, tetapi
juga mengingatkan.
Nai benar-benar serius dengan keinginannya. Dia mengkonsep beberapa
program untuk dipresentasikan. Usahanya memang sangat keras. Chi
seringkali mengingatkan Nai untuk makan dan istirahat yang cukup.
Pemilihan Ketua OSIS dan Paskibra diselenggarakan berdekatan. Sayangnya,
menjelang pemilihan, Nai pun tumbang. Dia sakit hingga gak bisa
sekolah.
Nangis banget dia saat itu. Terpaksa mengundurkan diri dari keduanya. Chi
ikut merasakan kesedihannya. Rasanya pengen ikut nangis bersama. Tetapi,
'kan harus berusaha tegar di depan Nai.
Chi ajak dia ngobrol berdua secara pelan-pelan. Alhamdulillah, kekecewaan
Nai berangsur berkurang. Dia mulai ceria lagi.
Selang beberapa bulan kemudian, Nai terpilih sebagai Ketua Panitia Lomba
Paskibra yang akan diadakan secara nasional. Setiap tahun, sekolah Nai
mengadakan lomba ini dengan peserta se-pulau Jawa. Karena selalu berjalan
lancar, rencananya mau ditingkatkan jadi skala nasional. Dan Nai terpilih
sebagai ketua panitia. Tentunya bukan tugas yang ringan.
Setelah terpilih sebagai ketua, kesibukan Nai pun bertambah. Sayangnya
pandemi COVID-19 datang dan semua kegiatan pun dihentikan. Padahal kalau
gak ada wabah kemungkinan Oktober ini lombanya digelar.
Nai: "Bun, Ima heran, deh. Giliran Ima santai, gak kepengen banget gitu
terpilih, eh malah dipilih jadi ketua. Tetapi, giliran waktu itu, Ima
sampai sakit."
Bunda: "Ya justru karena Adek santai. Makanya jadi lebih fokus.
Kalau sebelumnya 'kan Adek terlalu berambisi. Ikut 2 pemilihan pula.
Akhirnya Adek stress sendiri."
Nai: "Iya ya, Bun hehehe."
Berambisi Masuk Sekolah Negeri
Ini kejadian yang baru banget. Kurang lebih 1 bulan yang lalu. Chi mulai
merasakan ada yang berbeda dari Nai. Dia semakin jarang terlihat keluar
kamar. Setiap kali masuk ke kamarnya, Nai lagi di depan laptop. Bahkan
hingga larut malam.
Sebetulnya, sejak dulu Chi punya aturan kalau anak-anak gak boleh tidur
larut malam. Meskipun ada tugas yang belum selesai, tidur harus tepat
waktu. Biar bagaimanapun mereka masih harus terbiasa tidur dengan jumlah
waktu yang cukup.
Tetapi, kali ini Nai terlihat ngeyel. Dia memang bukan tipe yang
meledak-ledak kalau melawan. Hanya saja suka terlihat masih di depan
laptop. Padahal harusnya dia sudah tidur dari tadi.
Awalnya, Chi pikir dia lagi banyak tugas sekolah. Sempat merasa kesal
juga karena tugas sekolah kok gak kira-kira. Nai belajar terus sampai
tengah malam. Itupun Chi paksa dia harus tidur. Kalau enggak kapan
istirahatnya?
Ternyata bukan. Dia katanya pengen belajar aja karena ada yang belum
mengerti. Nai memang tekun anaknya. Tetapi, kalau sampai larut malam, gak
bagus juga. Chi kembali mengingatkan Nai untuk jaga kesehatan.
Sebetulnya Chi udah merasa ada sesuatu yang salah. Nai bukan hanya jadi
jarang keluar kamar. Senyumnya juga menghilang. Muram terus ekspresinya.
Judes juga kalau diajak ngobrol. Mulai agak sering sakit-sakitan.
Ngebaking udah gak pernah dia lakukan lagi.
K'Aie sempat berpikir apa perubahan Nai itu karena PMS. Tapi, Chi yakin bukan. Perubahannya beda, meskipun kelihatan uring-uringan. Lagian kalau PMS paling beberapa hari aja gak sampai berminggu-minggu.
Nai ini aslinya suka becanda, celetak-celetuk, dan kayak terlihat santai.
Ketekunannya juga tinggi. Tetapi, kalau untuk urusan pribadi sangat
tertutup. Agak sulit mengorek Nai supaya mau terbuka. Persis banget lah
sifatnya kayak ayahnya.
Jadi, Chi juga mau langsung menebak permasalahannya. Meskipun sudah
merasa ada sesuatu yang salah. Bahkan udah menebak-nebak kira-kira apa
permasalahannya. Paling hanya mengingatkan tentang pentingnya menjaga
kesehatan. Jangan sampai lupa minum, makan, dan istirahat. Chi juga bilang
kalau ada apa-apa cerita.
Hingga suatu hari, Chi sedang kesal. Nai pun kena pelampiasan marah.
Padahal dia gak salah apa-apa. Dia langsung teriak, "Ima benci PJJ!" Dia
menangis sampai sesenggukan.
Chi langsung ajak masuk ke kamarnya. Membiarkan Nai nangis sampai puas.
Jarang banget lho Nai nangis seperti itu. Setelah selesai menangis, Chi
minta Nai untuk bercerita.
Dugaan Chi selama ini benar. Nai belajar supaya nilai-nilainya baik.
Tetapi, semakin keras dia belajar, justru nilainya semakin turun. Hal ini
bikin dia kecewa dan terpuruk. Selalu terlihat murung dan mulai
sakit-sakitan.
"Dek, memang selama ini Bunda pernah menuntut Adek untuk selalu punya
nilai sempurna? Memang Bunda selalu langsung marah kalau Adek dapat
remedial?"
Nai bilang gak pernah. Ya, kami memang gak pernah memaksa anak-anak untuk
selalu mendapatkan nilai bagus apalagi sempurna. Kami juga gak pernah
marah kalau mereka ulangannya harus remedial. Selama kami tau mereka sudah
berusaha belajar itu cukup.
Karena buat kami yang penting tekun. Kalau sudah tekun belajar, tetapi
belum bagus nilainya ya gak apa-apa. Lagipula gak harus juga mereka
menguasai semua mata pelajaran.
Nai menjadi begitu keras terhadap dirinya karena dia pengen banget masuk
sekolah negeri. Terutama, di sekolah yang sama dengan Keke. Perubahan
peraturan PPDB tahun ajaran ini yang drastis memang terlihat sangat tidak
menguntungkan bagi Nai. Kans dia menjadi kecil banget.
Sebetulnya Chi udah menebak permasalahan itu sebelum Nai cerita. Ya
mungkin ini yang dinamakan feeling seorang ibu. Meskipun anaknya belum mau
cerita, tetapi bisa merasakan ada sesuatu yang salah.
Hati Chi seringkali merasa pedih banget setiap kali melihat Nai begitu
tekun belajar. Chi suka menangis di depan K'Aie. Gak tega rasanya kalau
dia sampai gagal masuk SMA Negeri melihat ketekunannya belajar. Jadi
semakin kesel banget dengan perubahan sistem PPDB DKI.
Chi gak akan cerita di sini ya seperti apa perubahannya. Karena udah
ditulis panjang banget di blog ini. Jadi meluncur aja ke postingan Chi
tentang perubahan peraturan PPDB tahun ini yang membuat banyak sekali
orang tua berdemo.
"Menurut Adek, memangnya kakak mu jago matematika? Dia beberapa kali
remed. Tapi, kakak mu santuy aja kayak gak ada masalah hehehe. Tapi, ya
Keke juga punya kelebihan di mata pelajaran lain."
Chi juga cerita zaman masih sekolah. Meskipun masuk jurusan IPA, gak
otomatis pelajaran eksak pasti jago. Biologi menjadi kelemahan. Saat kuliah matkul akuntansi yang kepayahan. Udah pasti
remed melulu, deh.
"Dek, meskipun Bunda remed melulu untuk beberapa pelajaran, tetapi buktinya Bunda masih hidup dan bahagia tuh sampai sekarang
hahaha."
Ketika Chi menceritakan pengalaman remedial diri sendiri dan Keke, mulai
terlihat senyum kecil di wajah Nai. Sebetulnya, Nai juga pernah merasakan
remedial. Hanya karena kali ini dia sedang terlalu keras dengan dirinya,
remedial malah membuatnya jadi terpuruk.
Melihat Nai mulai tersenyum kecil, Chi merasa agak bersalah. Selama ini,
Chi memang kurang banyak cerita ke Nai. Lebih terbuka ke Keke.
Karena Keke juga anaknya terbuka. Apa aja bisa dia ceritain. Makanya Chi
pun suka cerita tentang masa sekolah dan lain sebagainya. Termasuk kalau
lagi galau juga kadang-kadang curhat ke Keke hehehe.
Tentu gak sekali itu aja Chi ajak ngobrol. Chi pun mulai lebih banyak
ceritain lagi tentang pengalaman masa sekolah dan lain sebagainya.
Diselipin juga dengan pesan tentang masuk sekolah negeri. Kalau sampai gak
keterima, boleh banget kok kecewa, marah, atau sedih. Asalkan jangan
kebablasan. Gak apa-apa masuk SMA swasta kalau memang itu udah jalannya.
Gak otomatis, masa depannya jadi suram kalau keinginan belum
dikabulkan.
Sama-sama berusaha dan berdo'a. Jangan pula sampai memaksakan diri.
Apalagi ini udah kejadian kedua, Nai terlalu keras sama dirinya sampai
murung dan sakit-sakitan.
Sehari setelah kejadian Nai menangis, Chi izin ke wali kelas untuk tidak
ikut PJJ dengan alasan sakit. Memang bener Nai sedang sakit. Kondisinya
sedang tidak memungkinkan untuk belajar meskipun dari rumah.
Selama sakit, Chi minta Nai untuk membebaskan diri. Terserah mau
melakukan apapun, selain belajar tentunya. Dan, dia memilih marathon
menonton drakor "It's Okay to Not Be Okay".
Dia juga ketawa-tawa dan sesekali terlihat menari mengikuti boyband Korea favoritnya. Jangan tanya boyband apa yang Nai suka, ya. Berkali-kali dikasih tau, tapi Chi gak pernah hapal juga namanya hehehehe.
Gak apa-apa dia mau melakukan apapun. Pokoknya yang penting
hatinya senang dulu. Lupakan semua pelajaran sekolah untuk beberapa saat. Jangan pula sampai lalai sholat, makan, minum, dan
istirahat.
Secara perlahan, Nai mulai terlihat cerah lagi wajahnya. Mulai suka
ngemil dan ngebaking lagi. Celetukannya yang bikin gemes mulai keluar
lagi. Alhamdulillah ya Allah. Chi merasa terharu banget karena Nai mulai
membaik.
Tips Menghadapi Anak yang Berambisi Tinggi
Karakter Nai kalau lagi happy ya begini. Suka usil dan bikin gemes
Chi akan coba berbagi tips menghadapi anak yang memiliki ambisi tinggi. Ya mungkin tips ini akan berbeda-beda bagi setiap anak. Tetapi, setidaknya cara ini yang kami lakukan ketika menghadapi Nai.
Setiap kali anak sedang memiliki masalah, Chi dan K'Aie suka berdiskusi
dan introspeksi. Apakah masalah yang sedang terjadi karena kami sudah
melakukan kesalahan?
Bisa juga tanya langsung ke anaknya. Seperti yang Chi tulis di atas.
Bertanya ke Nai apakah selama ini kami suka memaksakan kehendak sehingga
Nai jadi begitu berambisi.
Pahami Karakternya
Sifat Nai yang tertutup untuk urusan pribadi memang seringkali bikin
gregetan. Chi pengennya tuh semua anak terbuka.
Karakter Nai memang persis ayahnya. Jadi, gak kaget juga sebetulnya.
Memahami karakternya buat Chi lebih baik daripada memaksa untuk
berubah.
Tertutup di sini bukan berarti dia pendiam banget sampai gak pernah
ngobrol ma keluarga. Nai dan ayahnya tipe yang menutup diri untuk masalah
pribadi. Lebih suka memendam dan menyelesaikan masalah sendiri. Bukan
karena gak percaya ma orang. Memang begitu sifat mereka berdua.
Tetapi, kalau untuk hal lain bisa ngobrol. Malah celetukannya suka bikin
gregetan. Abis suka gak terduga dan bikin ketawa.
Selalu Ada Untuknya
Sejak kecil, kalau Nai udah nangis sesenggukan sendirian di kamar itu
artinya dia lagi sedih banget. Tetapi, gak otomatis dia mau langsung
cerita kalau di tanya. Mulutnya bisa tetap terkunci rapat dan memilih
bilang, "Gak apa-apa."
Paling yang Chi lakukan adalah tarik ulur. Sesekali dipancing supaya mau
terbuka. Kalau dia tetap diam ya udah. Dipaksa untuk terbuka malah bikin
Nai semakin menutup diri.
Sesekali Chi samperin buat nanya udah makan atau belum. Ingetin dia untuk
minum dan istirahat. Elus-elus kepalanya sambil sesekali berkata dengan
lembut, "Kalau ada apa-apa cerita ya, Dek." Kalau pun Nai belum mau
cerita, setidaknya Chi berharap dia tau bundanya akan selalu ada
untuknya.
Kadang-kadang, Chi nyamperin dia sekadar untuk bilang, "Dek, udah lama
gak bikin kue. Bikin, dong. Bunda kangen nih sama buatan Adek." Ya
maksudnya untuk mencairkan suasana. Berharap juga Nai akan berpikir kalau
dia punya potensi dan passion yang sebetulnya disukai orang lain.
Dengarkan, Dipuji, dan Beri Saran
Dari 2 kejadian di atas, Chi suka gregetan pengen bawel. Suka pengen
bilang, "Adek nih kenapa sih gak langsung terbuka. Harus nunggu sampai
sakit-sakitan dulu. Coba nurut sama Bunda!"
Berusaha banget gak Chi lakukan kebawelan itu. Daripada Nai jadi kesel
karena diomelin. Bisa-bisa dia semakin menutup diri.
Etapi, pas marah keluar juga kalimat, "Kenapa sih Adek tertutup banget!
Kesel Bunda lihatnya!" Meskipun setelah Chi marah itu, Nai akhirnya mau
cerita. Tapi, sebaiknya jangan dilakukan sering-sering, ya. Khawatirnya
malah anak jadi semakin tertutup.
Setelah Nai mau terbuka, yang pertama kali Chi lakukan adalah
mendengarkan. Biarin aja dia cerita dulu sepuasnya. Jangan disela
omongannya. Berusaha jadi pendengar yang baik. Kalau udah selesai, Chi
langsung kasih pujian.
Kenapa harus dikasih pujian?
Karena yang dilakukan Nai bagus, kok. Dia berani mencalonkan diri sebagai
Ketua OSIS dan Ketua Paskibra aja udah langkah bagus. Dia tekun belajar,
tentu bukan hal jelek. Keinginan kerasnya untuk mencapai sesuatu memang bukan sesuatu yang jelek.
ambisi/am·bi·si/
n keinginan (hasrat,
nafsu) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu
(seperti pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu:
ia mempunyai -- untuk menjadi duta besar; pengabdiannya penuh
dedikasi, tanpa -- pribadi;
berambisi/ber·am·bi·si/
v berkeinginan keras
mencapai sesuatu (cita-cita dan sebagainya); mempunyai ambisi:
regu bulu tangkis lawan merupakan tim yang sangat ~ dan perlu
diperhitungkan
Merujuk dari defini ambisi di KBBI juga berarti gak masalah kalau anak
punya ambisi tinggi. Jadi, harus dong tetap dikasih pujian. Supaya Nai
tetap mau semangat bila ingin mencapai sesuatu.
Selama belajar di rumah pun dia disiplin dan tekun banget. Dia selalu
bangun sendiri tepat waktu. Langsung mempersiapkan segala keperluan
belajar, termasuk sarapan. Selama kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh
berlangsung, dia tetap duduk menyimak dengan baik. Gak diselingin dengan
main game, nonton drakor, dll. Bahagia banget 'kan Chi lihatnya.
Setelah dipuji, langkah selanjutnya memberi masukan. Gak selalu dilakukan
dengan cara menggurui. Seringkali diawali dengan berbagai cerita
pengalaman pribadi. Ya kayak waktu ceritain ke dia kalau nilai-nilai
pelajaran bundanya juga pernah beberapa kali jeblok.
Sambil cerita diselipi dengan saran. Intinya gak apa-apa merasakan gagal.
Boleh banget merasa kecewa bahkan marah. Asalkan jangan berlebihan
aja.
Membolehkan anak merasa kecewa, marah, dan sedih saat merasa gagal bagi
kami penting, lho. Memang iya sebagai manusia harus tegar. Tetapi, biarkan
sejenak merasakan perasaan yang lain dulu. Itu manusiawi banget,
kok.
"Dek, gak apa-apa kalau nanti akhirnya gagal masuk sekolah negeri. Ayah
dan Bunda tetap bersyukur dan bangga sama Adek. Karena tau banget kok
gimana usaha Adek supaya bisa keterima. Pokoknya usaha aja terus, tapi
jangan sampai membebani diri sendiri. Insya Allah, sekolah di mana pun itu
akan jadi rezeki terbaik untuk Adek."
Kritikan Sebagai Langkah Terakhir
Mendapatkan kritikan bisa menimbulkan rasa kurang nyaman. Meskipun
beberapa kritik memang bersifat membangun. Tetapi, tetap aja harus
disampaikan dengan cara dan waktu yang tepat.
Itulah kenapa Chi menempatkan kritik di langkah terakhir. Menunggu sampai
Nai terlihat mulai pulih dulu badan dan perasaannya. Coba deh bayangin ke
diri sendiri. Kalau lagi bad mood trus ada kritikan, biasanya rentan
baper. Tapi, kalau perasaannya enak, bisa lebih menerima.
Begitu juga dengan Nai, kalau perasaannya sedang nyaman dia bisa menerima
semua kritikan dengan santai. Pokoknya beda banget ekspresinya, deh.
Bersabar dengan Proses
Chi bukan ibu peri yang punya kesabaran super duper tinggi, kok.
Kadang-kadang terpicu marah juga. Tetapi, menghadapi kejadian begini
memang salah satu kuncinya bersabar.
Ketika Nai sudah mau terbuka, bukan berarti semua akan langsung berjalan
lancar. Tetap akan ada masa up and down. Jadi bersabar aja dengan semua
proses.
Chi bilang ke Nai kalau segala ambisinya jangan sampai berhenti. Orang
tua merasa bersyukur melihat anak yang tekun dan berkemauan tinggi.
Tetapi, jangan sampai kebablasan. Harus belajar mengukur kemampuan. Jangan
sampai terlalu keras sama diri sendiri yang akhirnya malah merugikan.
KAlau bisa sih jangan terlalu tertutup, lah.
Kritikan sebagai langkah terakhir bukan berarti permasalahan selesai.
Tetap secara berkala Chi ajak diskusi. Mulai lebih sering mengajak dia
ngobrol, mengingat ini bukan kejadian pertama Nai 'tumbang' karena
ambisinya.
Sempat ada rasa khawatir kalau Nai bisa depresi bila terlalu berambisi,
sedangkan dirinya tertutup. Duh! Naudzubillah min dzalik.
Pikiran tentang depresi, Chi coba tepi jauh-jauh. Anggap aja itu hanya kekhawatiran sesaat. Insya Allah gak terjadi bila masih
memiliki iman. Juga memiliki circle yang mendukung dan ada
untuknya.
Chi tetap Nai anak yang tangguh. Hanya memang perlu belajar lagi
dan menahan diri untuk tidak terlalu berambisi. Jangan sampai menekan dirinya
terlalu keras hingga batas kemampuan. Karena yang terjadi malah
berantakan. Semoga aja Nai bisa ambil pelajaran dari kejadian yang pernah
dialaminya. Aamiin.
Alhamdulillah Nai udah kembali ceria. Semoga keinginan dia untuk masuk
sekolah negeri, khusus SMAN yang sama dengan Keke, bisa dikabulkan oleh
Allah SWT. Mohon do'anya untuk Nai ya, Teman-teman 😘
Bunda: "Dek! Masih betah gak PJJ?"
Nai: "Hehehe."
Bunda: "Ih! Adek mah ditanya malah ketawa. Mau balik belajar ke sekolah,
gak?"
Nai: "Enggak!"
Nai menjawab sambil ketawa-tawa usil. Chi udah paham maksudnya.
Alhamdulillah, Nai udah kembali ceria lagi.