"Bun, boleh ikut demo?"
Bagaimana reaksi teman-teman ketika anak ikut demonstrasi? Atau paling gak minta izin dibolehkan demo. Langsung melarang atau diizinkan dengan banyak syarat?
Beberapa hari terakhir ini, Chi jadi semakin sering mengikuti berita. Dari mulai masalah Kahutla, KPK, hingga tentang RKUHP dan RUU lainnya yang dianggap bermasalah. Secara pribadi, Chi mendukung demo mahasiswa.
Tentu yang murni tuntutan mahasiswa, ya. Bukan yang merembet jadi bentuk dukungan atau penolakan terhadap rezim tertentu. Kalau untuk satu ini, Chi bener-bener no comment. Gak pernah golput. Tetapi, sudah menjadi prinsip untuk tidak mau menunjukkan siapa yang didukung. Pastinya berusaha seobjektif mungkin. Jangan sampai cinta buta terhadap seseorang atau golongan tertentu.
Kembali ke demo mahasiswa. Meskipun Chi mendukung aksi ini, tetapi ketika anak sendiri minta izin untuk ikutan rasanya bikin lemes dan deg-degan. Kenapa? Chi ceritain selengkapnya di sini. Tetapi, mau flashback sedikit tentang aksi demo tahun '98.
Bagaimana reaksi teman-teman ketika anak ikut demonstrasi? Atau paling gak minta izin dibolehkan demo. Langsung melarang atau diizinkan dengan banyak syarat?
Beberapa hari terakhir ini, Chi jadi semakin sering mengikuti berita. Dari mulai masalah Kahutla, KPK, hingga tentang RKUHP dan RUU lainnya yang dianggap bermasalah. Secara pribadi, Chi mendukung demo mahasiswa.
Tentu yang murni tuntutan mahasiswa, ya. Bukan yang merembet jadi bentuk dukungan atau penolakan terhadap rezim tertentu. Kalau untuk satu ini, Chi bener-bener no comment. Gak pernah golput. Tetapi, sudah menjadi prinsip untuk tidak mau menunjukkan siapa yang didukung. Pastinya berusaha seobjektif mungkin. Jangan sampai cinta buta terhadap seseorang atau golongan tertentu.
Kembali ke demo mahasiswa. Meskipun Chi mendukung aksi ini, tetapi ketika anak sendiri minta izin untuk ikutan rasanya bikin lemes dan deg-degan. Kenapa? Chi ceritain selengkapnya di sini. Tetapi, mau flashback sedikit tentang aksi demo tahun '98.
Ikutan Demonstrasi Mahasiswa Tahun '98, Gak?
Beberapa waktu lalu, seorang teman yang pernah satu kampus dengan Chi
nyetatus tentang nostalgia ketika ikut demo tahun 98. Tapi, yang bikin
agak gak enak dibaca tuh kesannya apa yang dinikmati saat ini
seolah-olah hanya jasa mahasiswa yang turun ke jalan. Mungkin karena Chi
juga lagi rada baper. Jadinya agak kzl aja bacanya karena gak pernah
ikutan demo.
Pada saat itu Chi udah kuliah memasuki tahun ke-3. Mana boleh ikut-ikutan demo sama orang tua. Udah gitu, Chi tipe anak yang gak berani bicara. Apapun yang dibilang orang tua ya diturutin.
Terlepas dari Chi berani bicara atau enggak, inget banget deh pada saat kejadian lagi nemenin mamah ke supermarket. Kami sempat bingung kenapa tiba-tiba rolling door mulai ditutup. Untungnya pas kami selesai bayar jadi bisa segera pulang. Dari radio kami mendengar berita mulai terjadi kerusuhan di beberapa lokasi.
Chi bersyukur kami sampai di rumah dengan selamat. Tetapi, adik ketiga Chi yang saat itu SMA tertahan di sekolah dan terpaksa menginap. Kepsek melarang anak-anak pulang demi keselamatan. Papah akhirnya bisa pulang ke rumah saat malam hari. Itupun setelah putar balik dengan menjebol pagar pembatas jalan. Tentu aja papah gak melakukan sendiri. Semua pengendara mobil saling bantu menjebol pagar karena gak mungkin terus maju. Di depan sudah mulai terjadi kerusuhan.
Dulu, kami belum mengenal hp, apalagi media sosial. Info tercepat ya mendengarkan radio. Kebayang gak cemasnya seperti apa? 2 anggota keluarga belum pulang ke rumah. Kami gak bisa menghubungi sama sekali. Pada saat itu, Chi bersyukur gak ikutan demo. Kalau enggak mamah cuma berduaan ma adik yang paling kecil yang saat itu usianya 5 tahun. Wah, bisa panik banget tuh mamah kalau begitu.
Pada saat itu Chi udah kuliah memasuki tahun ke-3. Mana boleh ikut-ikutan demo sama orang tua. Udah gitu, Chi tipe anak yang gak berani bicara. Apapun yang dibilang orang tua ya diturutin.
Terlepas dari Chi berani bicara atau enggak, inget banget deh pada saat kejadian lagi nemenin mamah ke supermarket. Kami sempat bingung kenapa tiba-tiba rolling door mulai ditutup. Untungnya pas kami selesai bayar jadi bisa segera pulang. Dari radio kami mendengar berita mulai terjadi kerusuhan di beberapa lokasi.
Chi bersyukur kami sampai di rumah dengan selamat. Tetapi, adik ketiga Chi yang saat itu SMA tertahan di sekolah dan terpaksa menginap. Kepsek melarang anak-anak pulang demi keselamatan. Papah akhirnya bisa pulang ke rumah saat malam hari. Itupun setelah putar balik dengan menjebol pagar pembatas jalan. Tentu aja papah gak melakukan sendiri. Semua pengendara mobil saling bantu menjebol pagar karena gak mungkin terus maju. Di depan sudah mulai terjadi kerusuhan.
Dulu, kami belum mengenal hp, apalagi media sosial. Info tercepat ya mendengarkan radio. Kebayang gak cemasnya seperti apa? 2 anggota keluarga belum pulang ke rumah. Kami gak bisa menghubungi sama sekali. Pada saat itu, Chi bersyukur gak ikutan demo. Kalau enggak mamah cuma berduaan ma adik yang paling kecil yang saat itu usianya 5 tahun. Wah, bisa panik banget tuh mamah kalau begitu.
Demonstrasi Mahasiswa dan Keberanian Anak STM Tahun 2019
Ketika Keke minta izin ikut demo, reaksi pertama Chi jelas kaget dan
lemas. Pengennya sih langsung ngomong, "Gak usah ikutan dan kamu harus
menurut apa kata orang tua!"
Tetapi, Chi menahan diri untuk tidak terburu-buru bertindak seperti ini. Ini tentang kebebasan berpendapat. Kalau Chi langsung melarang malah jadinya gak pernah tau alasan kenapa Keke ingin ikut demo.
[Silakan baca: Begini Cara Berkomunikasi dengan Remaja]
Beberapa hari lalu, Keke datang bersama temannya meminta izin untuk dibolehkan ikut demo. Chi larang dan Keke menurut. Setelah itu, Chi lihat Keke mengambil uang tabungannya untuk dikasihkan ke teman. Katanya untuk ongkos atau uang makan mereka. Tetapi, pemberian Keke ditolak.
"Jangan, Ke. Kita gak enak terimanya kalau lo gak dikasih izin. Udah lo nurut aja sama orang tua."
Chi berusaha menahan nangis di balik pintu, lho. Biar bagaimanapun Keke sudah remaja. Dia pun termasuk generasi Z yang melek digital. Dia punya hak untuk didengar dan bersikap. Setelah temannya berangkat, hal pertama yang Chi ucapkan adalah, "Apa yang Keke tau? Sepertinya Bunda tertarik, nih!"
[Silakan baca: Instagram dan Generasi Milenial]
Mau Keke tau banyak atau cuma seuprit, ya gak apa-apa. Bahkan kalaupun dia bilang demi solidaritas pun tetap akan Chi dengarkan. Berusaha menghindari tuduhan, "Kamu tau apa, sih? Masih anak-anak mendingan belajar!"
Dengan berdiskusi, apalagi ketika bundanya bilang menarik, bikin dia jadi semangat untuk mengemukakan pendapat. Ini juga bagian dari pembelajaran. Tetapi, kalau menuduh dengan kalimat 'Kamu tau apa? Masih anak-anak!' Chi malah khawatir akan mengerdilkan pikiran dia. Paling enggak, dia jadi males untuk terbuka dengan orang tuanya. Keke pun bercerita apa yang dia tau dan Chi mendengarkan. Setelah itu baru berdiskusi.
Kemudian Chi jelaskan ke dia kalau larangan itu murni karena rasa khawatir seorang ibu. Apalagi Keke masih SMA. Jadi bukan tentang dukung atau tidak mendukung. Pengennya sih memberi kebebasan bertanggung jawab. Tetapi, rasa khawatir Chi masih sangat besar bila dia harus langsung turun ke jalan.
Kerusuhan tahun '98 masih jelas terbayang. Chi tidak menyalahkan aksi mahasiswa saat itu. Bila tida terjadi demo, mungkin saja kita tidak merasakan kehidupan berdemokrasi seperti saat ini. Tetapi, memang apapun itu imbasnya gak selalu semuanya positif. Seperti kejadian tahun '98, kerusuhan menjadi sesuatu yang harus dibayar mahal oleh masyarakat Indonesia.
Itulah kenapa Chi masih melarang Keke untuk berdemo pada saat ini. Silakan aja kalau ingin mengeluarkan pendapat dengan cara lain. Perjuangan 'kan gak selalu harus turun ke jalan. Semua punya cara dan peran masing-masing. Makanya, ketika Keke setiap hari menyuarakan pendapatnya di Instagram Stories, Chi biarin aja. Sekadar dipantau dan didiskusikan setelahnya.
Bunda: "Ke, teman-teman mu bagaimana?"
Keke: "Gimana apanya?"
Bunda: "Jadi demo? Di daerah mana?"
Keke: "Jadi. Ya di Senayan dan sekitarnya."
Bunda: "Pada pulang jam berapa?"
Keke: "Jam 12 malam."
Chi membayangan kalau Keke ikutan. Bakalan berapa puluh atau ratusan pesan di WA yang Chi layangkan ke dia. Khawatir banget pastinya.
Chi juga bersyukur karena tidak terjadi bullying. Khawatir disangka gak punya solidaritas karena gak ikutan demo. Alhamdulillah ternyata gak kejadian. Malah jadi menambah pelajaran buat Chi kalau anak SMA pun bisa menghargai perbedaan.
Tetap, bukan persoalan yang mudah juga. Biar bagaimana Keke masih memiliki darah muda. Jadi emosinya pun masih turun naik. Bukan emosi dalam artian memaki-maki, ya. Chi berusaha tarik ulur ketika mengajak dia berdiskusi. Kalau bisa jangan sampai malah jadi obrolan yang membosankan. Ya harus banyak memaklumi, lah. Supaya ada win-win solution juga.
[Silakan baca: Darah Muda]
Mungkin lain ceritanya kalau Keke udah kuliah. Tentu aja, mau sampai usia berapapun, Chi maunya anak-anak jangan sampai ikutan demo. Sekali lagi, ini murni karena rasa khawatir sebagai orang tua. Bukan karena dukung atau tidak dengan apa yang didemokan. Semakin besar, anak semakin dilepas dan diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Pastinya apapun itu, do'a orang tua gak putus.
Tentunya Chi berharap juga gak akan ada demo-demo lagi. Kalau ada demo, apalagi semakin besar skalanya, berarti ada sesuatu yang salah di negeri ini.
Gak usah baper ketika Chi katakan ada yang salah. Ini gak mengarah ke salah satu pihak. Tetapi, ibarat dalam keluarga, bila ada 1 aja anggota keluarga yang protes, berarti ada sesuatu yang harus diselesaikan. Ya belum tentu juga yang diprotes yang salah. Bisa jadi memang protesnya gak jelas. Tetapi, bisa jadi juga salah semuanya.
Tetapi, Chi menahan diri untuk tidak terburu-buru bertindak seperti ini. Ini tentang kebebasan berpendapat. Kalau Chi langsung melarang malah jadinya gak pernah tau alasan kenapa Keke ingin ikut demo.
[Silakan baca: Begini Cara Berkomunikasi dengan Remaja]
Beberapa hari lalu, Keke datang bersama temannya meminta izin untuk dibolehkan ikut demo. Chi larang dan Keke menurut. Setelah itu, Chi lihat Keke mengambil uang tabungannya untuk dikasihkan ke teman. Katanya untuk ongkos atau uang makan mereka. Tetapi, pemberian Keke ditolak.
"Jangan, Ke. Kita gak enak terimanya kalau lo gak dikasih izin. Udah lo nurut aja sama orang tua."
Chi berusaha menahan nangis di balik pintu, lho. Biar bagaimanapun Keke sudah remaja. Dia pun termasuk generasi Z yang melek digital. Dia punya hak untuk didengar dan bersikap. Setelah temannya berangkat, hal pertama yang Chi ucapkan adalah, "Apa yang Keke tau? Sepertinya Bunda tertarik, nih!"
[Silakan baca: Instagram dan Generasi Milenial]
Mau Keke tau banyak atau cuma seuprit, ya gak apa-apa. Bahkan kalaupun dia bilang demi solidaritas pun tetap akan Chi dengarkan. Berusaha menghindari tuduhan, "Kamu tau apa, sih? Masih anak-anak mendingan belajar!"
Dengan berdiskusi, apalagi ketika bundanya bilang menarik, bikin dia jadi semangat untuk mengemukakan pendapat. Ini juga bagian dari pembelajaran. Tetapi, kalau menuduh dengan kalimat 'Kamu tau apa? Masih anak-anak!' Chi malah khawatir akan mengerdilkan pikiran dia. Paling enggak, dia jadi males untuk terbuka dengan orang tuanya. Keke pun bercerita apa yang dia tau dan Chi mendengarkan. Setelah itu baru berdiskusi.
Kemudian Chi jelaskan ke dia kalau larangan itu murni karena rasa khawatir seorang ibu. Apalagi Keke masih SMA. Jadi bukan tentang dukung atau tidak mendukung. Pengennya sih memberi kebebasan bertanggung jawab. Tetapi, rasa khawatir Chi masih sangat besar bila dia harus langsung turun ke jalan.
Kerusuhan tahun '98 masih jelas terbayang. Chi tidak menyalahkan aksi mahasiswa saat itu. Bila tida terjadi demo, mungkin saja kita tidak merasakan kehidupan berdemokrasi seperti saat ini. Tetapi, memang apapun itu imbasnya gak selalu semuanya positif. Seperti kejadian tahun '98, kerusuhan menjadi sesuatu yang harus dibayar mahal oleh masyarakat Indonesia.
Itulah kenapa Chi masih melarang Keke untuk berdemo pada saat ini. Silakan aja kalau ingin mengeluarkan pendapat dengan cara lain. Perjuangan 'kan gak selalu harus turun ke jalan. Semua punya cara dan peran masing-masing. Makanya, ketika Keke setiap hari menyuarakan pendapatnya di Instagram Stories, Chi biarin aja. Sekadar dipantau dan didiskusikan setelahnya.
Bunda: "Ke, teman-teman mu bagaimana?"
Keke: "Gimana apanya?"
Bunda: "Jadi demo? Di daerah mana?"
Keke: "Jadi. Ya di Senayan dan sekitarnya."
Bunda: "Pada pulang jam berapa?"
Keke: "Jam 12 malam."
Chi membayangan kalau Keke ikutan. Bakalan berapa puluh atau ratusan pesan di WA yang Chi layangkan ke dia. Khawatir banget pastinya.
Chi juga bersyukur karena tidak terjadi bullying. Khawatir disangka gak punya solidaritas karena gak ikutan demo. Alhamdulillah ternyata gak kejadian. Malah jadi menambah pelajaran buat Chi kalau anak SMA pun bisa menghargai perbedaan.
Tetap, bukan persoalan yang mudah juga. Biar bagaimana Keke masih memiliki darah muda. Jadi emosinya pun masih turun naik. Bukan emosi dalam artian memaki-maki, ya. Chi berusaha tarik ulur ketika mengajak dia berdiskusi. Kalau bisa jangan sampai malah jadi obrolan yang membosankan. Ya harus banyak memaklumi, lah. Supaya ada win-win solution juga.
[Silakan baca: Darah Muda]
Mungkin lain ceritanya kalau Keke udah kuliah. Tentu aja, mau sampai usia berapapun, Chi maunya anak-anak jangan sampai ikutan demo. Sekali lagi, ini murni karena rasa khawatir sebagai orang tua. Bukan karena dukung atau tidak dengan apa yang didemokan. Semakin besar, anak semakin dilepas dan diajarkan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Pastinya apapun itu, do'a orang tua gak putus.
Tentunya Chi berharap juga gak akan ada demo-demo lagi. Kalau ada demo, apalagi semakin besar skalanya, berarti ada sesuatu yang salah di negeri ini.
Gak usah baper ketika Chi katakan ada yang salah. Ini gak mengarah ke salah satu pihak. Tetapi, ibarat dalam keluarga, bila ada 1 aja anggota keluarga yang protes, berarti ada sesuatu yang harus diselesaikan. Ya belum tentu juga yang diprotes yang salah. Bisa jadi memang protesnya gak jelas. Tetapi, bisa jadi juga salah semuanya.
Keke Pernah Ikut Demonstrasi
Etapi, Keke beneran gak pernah ikut demo? Pernah. Dia ikut demo
tentang Krisis Iklim yang diadakan Greenpeace Indonesia. Itupun Chi
gak langsung kasih izin. Keke harus menjelaskan dengan detil alasan
ikut demo dan kami juga berdiskusi.
Tak lupa kami berikan bekal alias pesan-pesan yang banyak. Apalagi pesan dari Chi. Biasalah di mana-mana ibu kayaknya suka lebih banyak pesannya hehehe.
Ini demo dengan skala kecil dengan tema yang global. Tidak sebatas tentang masalah Kahutla. Demo berjalan cukup lancar. Selesainya pun sore. Chi pun memantau dari IGS-nya.
Kalau cek di berbagai media sosial, demo tentang lingkungan ada di berbagai belahan dunia manapun. Memang kenyataannya bumi sedang sakit. Coba deh teman-teman nonton animasi The Lorax. Bumi kita belum sesakit itu, tetapi mungkin saja terjadi bila gak disembuhkan. Generasi Keke ke bawah yang akan menikmati masa depan. Kalau gak ada kepedulian dari sekarang, kasihan mereka.
[Silakan baca: Kisah The Lorax yang (Sepertinya) Mulai Jadi Kenyataan]
Kenapa harus demo? Apa gak ada cara lain? Ada, kok. Banyak cara yang bisa dilakukan. Chi pribadi juga lebih suka tanpa demo. Kadang-kadang mau sekecil apapun demo, tetap ada potensi penyusup atau mengganggu ketertiban umum. Capek 'kan kalau lagi di jalan trus kejebak macet karena demo.
Tetapi, seperti yang Chi tulis di atas. Setiap orang punya peran masing-masing. Demo hanyalah salah satu cara. Bila sampai turun ke jalan biasanya tujuannya supaya suara lebih didengar. Jadi, bukan berarti setelah demo, tugas mereka selesai. Bisa jadi mereka ini lebih peduli lingkungan daripada kita. Sudah mempraktekan di kehidupan sehari-hari.
Memang jadi pelajaran juga buat Keke. Apalagi kalau dia sudah berani menunjukkan di depan umum. Jangan sekadar berani menyuarakan pendapat. Tetapi, tidak berusaha mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya dimulai dari hal kecil dulu ketika mulai peduli dengan lingkungan.
Tak lupa kami berikan bekal alias pesan-pesan yang banyak. Apalagi pesan dari Chi. Biasalah di mana-mana ibu kayaknya suka lebih banyak pesannya hehehe.
Ini demo dengan skala kecil dengan tema yang global. Tidak sebatas tentang masalah Kahutla. Demo berjalan cukup lancar. Selesainya pun sore. Chi pun memantau dari IGS-nya.
Kalau cek di berbagai media sosial, demo tentang lingkungan ada di berbagai belahan dunia manapun. Memang kenyataannya bumi sedang sakit. Coba deh teman-teman nonton animasi The Lorax. Bumi kita belum sesakit itu, tetapi mungkin saja terjadi bila gak disembuhkan. Generasi Keke ke bawah yang akan menikmati masa depan. Kalau gak ada kepedulian dari sekarang, kasihan mereka.
[Silakan baca: Kisah The Lorax yang (Sepertinya) Mulai Jadi Kenyataan]
Kenapa harus demo? Apa gak ada cara lain? Ada, kok. Banyak cara yang bisa dilakukan. Chi pribadi juga lebih suka tanpa demo. Kadang-kadang mau sekecil apapun demo, tetap ada potensi penyusup atau mengganggu ketertiban umum. Capek 'kan kalau lagi di jalan trus kejebak macet karena demo.
Tetapi, seperti yang Chi tulis di atas. Setiap orang punya peran masing-masing. Demo hanyalah salah satu cara. Bila sampai turun ke jalan biasanya tujuannya supaya suara lebih didengar. Jadi, bukan berarti setelah demo, tugas mereka selesai. Bisa jadi mereka ini lebih peduli lingkungan daripada kita. Sudah mempraktekan di kehidupan sehari-hari.
Memang jadi pelajaran juga buat Keke. Apalagi kalau dia sudah berani menunjukkan di depan umum. Jangan sekadar berani menyuarakan pendapat. Tetapi, tidak berusaha mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya dimulai dari hal kecil dulu ketika mulai peduli dengan lingkungan.