Senin, 24 Oktober 2016, bertepatan dengan HUT ke-66 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menggelar aksi damai secara serentak di seluruh tanah air dengan berpusat di depan istana negara, Jakarta. IDI ingin menyuarakan tentang Reformasi Sistem Kesehatan dan Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran yang Pro Rakyat.
Oke, sebelum Chi membahas tentang aksi damai IDI ini, mau cerita dulu tentang 'keakraban' keluarga kami dengan tenaga medis di 2 tahun terakhir ini. Sekitar 2 tahun lalu, papah mertua pernah terjatuh ketika sedang membuka pagar. Karena sempat tidak sadarkan diri setelah terjatuh menyebabkan harus dirawat selama sebulanan di rumah sakit. Penyakit diabetes yang sudah menahun memang mambuat papah mertua menjadi lebih lama dirawat rumah sakit.
Setelah pulang dibolehkan pulang hingga kini, setiap 1-2 minggu sekali, papah mertua harus rutin melakukan terapi dan kontrol di rumah sakit. Kondisinya memang belum kembali seperti semula. Hanya bisa berbaring di kasur dan perlu banyak bantuan. Progress ada tetapi perlahan.
Kondisinya yang demikian tidak memungkin papah mertua untuk jalan sendiri ke rumah sakit. Biasanya selain mamah mertua, K'Aie dan kakaknya ikut menemani. Berangkat pagi-pagi dan di rumah sakit bisa seharian. Paling tidak sampai pukul 1 atau 2 tapi kadang sampai sore.
Kok, bisa selama itu? Menurut K'Aie yang bikin lama itu antreannya. Untuk pengobatan dan terapi ini kami menggunakan BPJS. Ya, kalau mau cepat sih bisa tapi biayanya juga lebih tinggi, ujar Chi dalam hati. Prihatin dan sedih sebetulnya. Tapi, mau gimana lagi? Cuma bisa pasrah dan berharap yang terbaik.
Menunggu itu pekerjaan yang paling membosankan, lho. K'Aie yang sehat setidaknya masih bisa berjalan-jalan sejenak atau sekadar menggerakkan badan untuk mengusir bosan. Masih bisa lihat smartphone untuk online. Bagaimana dengan papah mertua yang hanya bisa duduk di kursi roda selama menunggu, Pastinya melelahkan. Berjam-jam lho menunggunya. Hiks :(
Seringkali Chi berpikir, mungkin gak ya suatu saat nanti ada solusi yang lebih baik? Dari sisi keluarga pasien, keberadaan BPJS memang sudah membantu. Bersyukur tenaga medisnya cukup ramah. Tapi, berharap suatu saat antreannya gak selama itu. Gak minta dikasih fasilitas macam-macam, kok. Hanya berharap supaya antreannya bisa lebih dipersingkat. Berharap boleh, kan?
Aksi damai IDI beberapa hari lalu, menarik perhatian. Apa saja yang disuarakan oleh IDI dalam aksi damai ini?
Pendidikan Kedokteran
- Program studi Dokter Layanan Primer (DLP) dengan segala bentuk pelaksanaannya bertentangan dengan UU Praktik Kedokteran.
- Program studi DLP mengingkari peran dokter dari hasil pendidikan fakultas kedokteran se-lndonesia.
- Pendidikan kedokteran saat ini semakin mahal, lama, dan tidak pro-rakyat.
- lnstitusi pendidikan kedokteran saat ini telah bergeser dari lembaga pendidikan terprofesi yang luhur menjadi profit oriented.
Pelayanan Kesehatan
- Rakyat membutuhkan perbaikan sarana prasarana, obat dan alat kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer
- Distribusi dokter saat ini belum proporsional
- Diperlukan perbaikan sistem pembiayaan kesehatan
Pernyataan Sikap
- Menolak Program Studi Dokter Layanan Primer (DLP )
- Merekomendasikan:
- Meningkatkan kualitas dokter di pelayanan primer dengan program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) terstruktur.
- Perbaikan proses akreditasi pendidikan kedokteran akuntabel, adil dan transparan.
- Menghadirkan pendidikan kedokteran yang berkualitas dan terjangkau
Hal ini pun yang membuat IDI angkat suara. Saat ini sudah sangat jarang anak bangsa yang memiliki kemampuan akademis tapi dengan latar belatang sebagai anak petani, anak nelayan, dan anak dari kalangan kurang mampu lainnya yang bisa menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran.
Mahasiswa Kedokteran saat ini sudah terkelompok dalam strata sosial dan ekonomi yang relatif sama hal ini akan menimbulkan dokter yang bermental elit yang lambat laun akan menyebabkan dokter Indonesia tidak mampu "membumi" yaitu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, tidak dapat merespon kebutuhan masyarakat dan pada akhirnya tidak memiliki arah dan tujuan profesionalisme kebangsaan untuk masa depan. Mereka hanya siap di sarana kesehatan yang telah mapan dan menjanjikan kehidupan ekonomi yang lebih baik, padahal saat ini masih banyak daerah yang membutuhkan dokter yang sanggup menjadi pionir dan memiliki struggle for life.
Belum lagi kalau bicara infrastruktur serta sarana dan prasarana di berbagai daerah. Masih banyak fasilitas di beberapa daerah yang belum memadai. Hal ini pula yang dijadikan alasan bagi beberapa dokter di Indonesia untuk tetap memilih hidup di perkotaan.
Dokter spesialis di lndonesia jumlahnya selalu kurang. Sistem pendidikan spesialis di lndonesia yang sifatnya "University Based " mengakibatkan program pendidikan spesialis di lndonesia menjadi mahal dan kursinya terbatas sesuai jumlah fakultas kedokteran di lndonesia. Biaya pendidikan yang mahal dan keterbatasan kursi ini mengakibatkan sangat sedikit dokter umum yang bisa meneruskan pendidikan spesialisasi. Kondisi ini berbeda jauh dengan negara lain di dunia yang menerapkan sistem " Hospital based" dokter umum yang ingin memperdalam spesialisasi tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun, mereka justru dibayar karena kerjanya selama proses pendidikan. Sistem pendidikan dokter spesialis seperti ini semestinya menjadi alternatif solusi bagi lndonesia
Sejatinya, urusan kesehatan adalah tanggung jawab bersama. Semoga IDI dan pemerintah dapat duduk bersama untuk menciptakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan pro rakyat. Jangan sampai masyarakat jadi enggan ke dokter karena belum apa-apa sudah pusing karena takut biaya yang mahal. Atau masyarakat di daerah sulit mendapatkan dokter serta fasilitas kesehatan yang minim. Jangan sampai pula, banyak anak bangsa yang menguburkan impiannya menjadi seorang dokter karena terkendala biaya. Semoga ada solusi terbaik yang benar-benar pro rakyat untuk smeua masalah ini, ya
Kesehatan masyarakat di suatu negara itu penting. Bangsa yang sehat karena masyarakatnya juga sehat.