Beberapa waktu lalu, keponakan Chi (usia 4 tahun) bercerita pengalamannya
jalan-jalan ke American Museum of Natural History. Salah satu ceritanya
tentang melihat mumi.

Keponakan: "Uwa, harusnya kakek dijadiin mumi. Supaya Aku bisa lihat
kakek."
Tidak ada sedikitpun cerita kalau dia takut saat melihat mumi. Malah pengen
kakeknya (papah Chi) dijadiin mumi. Ketika papah wafat, adik belum menikah.
Jadi, tentu aja keponakan gak pernah mengenal kakeknya.
Chi langsung tertawa mendengar celotehannya. Setelah itu, Chi jelasin
sesederhana mungkin disesuaikan dengan cara berpikir anak usia 4 tahun. Chi
jelasin kenapa kakeknya gak dijadiin mumi.
Setelahnya, Chi langsung teringat pro kontra film JUMBO yang tentang
batasan aqidah. Apakah harus melarang anak balita ke museum yang ada muminya
karena khawatir tentang aqidah? Hmmm... Chi pengen ulas di sini, tentu
berdasarkan pengalaman pribadi tentang beberapa hal yang sebaiknya dilakukan
orangtua sebelum dan sesudah mengajak anak menonton film.
Biasakan Menonton Trailer, Membaca Sinopsis, dan Menyimak Berbagai Review
Beberapa hari lalu, Chi melihat utas salah seorang ibu di Threads. Intinya
dia kaget karena dengan kehadiran sosok Meri, si hantu cilik. Jalan
ceritanya pun menurutnya gak untuk semua umur. Lebih cocok untuk 7+. Dia
merasa jadi bingung dan repot menjelaskan banyak hal ke anaknya setelah
menonton film.
Apakah sebelum mengajak anak menonton film gak nonton trailer, baca sinopsis, dan menyimak berbagai review dulu?
Penting lho membaca sinopsis dan menonton trailer. Apalagi kalau mau ajak
anak menonton film. Tujuannya untuk mempertimbangkan dulu, udah cocok atau
belum mengajak anak nonton film tersebut.
Bahkan ada lho beberapa orangtua yang nonton duluan. Kalau dirasa pas, baru
deh ajak anaknya menonton. Ya, mungkin bagi sebagian orang, jadi double
bujet. Belum tentu juga bisa pergi tanpa anak karena gak ada yang bantu
jagain.
Tapi, intinya tuh adalah effort dari orangtua untuk mencari tau terlebih
dahulu. Minimal membaca sinopsis dan menonton trailernya.
Apalagi film JUMBO udah lebih dari 1 bulan tayang. Rasanya perlu
dibold atau dicapslock bagian yang lebih dari sebulan tayang.
Kenapa perlu dibold atau dicapslock? Kalau udah lebih dari sebulan, berarti
Review dari netizen udah banyak banget baik yang pro maupun kontra. Udah
lebih dari cukup untuk mempertimbangkan apakah sebaiknya ajak anak atau
enggak. Jadi, maaf, menurut Chi agak aneh kalau masih terkaget-kaget dan
merasa kerepotan menjelaskan ke anak.
Gimana gak kerepotan kalau kitanya aja gak mempersiapkan diri dulu?
Pentingnya Membuka Ruang Diskusi untuk Anak
Chi selalu berdiskusi dengan anak, termasuk setelah menonton film. Selalu
memulai diskusi dari sudut pandang anak. Terkadang sudut pandang anak dan
orang tua bisa berbeda, lho.
Contohnya tentang film Jumbo ini. Seperti yang Chi ulas sekilas di
postingan sebelum tentang review film ini. Ada beberapa orang tua yang
khawatir kalau dengan aqidah anak karena ada sosok Meri, si hantu cilik.
Terkesan mengajarkan anak untuk bekerjasama dengan hantu. Ada juga yang
menyayangkan kenapa film anak ada kisah horrornya.
Apakah anak akan berpandangan sama?
Belum tentu. Chi menyimak banyak review, khususnya dari orang tua yang
mengajak anak untuk menonton Jumbo. Ternyata banyak juga anak punya sudut
pandang berbeda dengan orang tuanya.
Silakan baca:
Film Jumbo, Animasi Indonesia yang Sap Sap Sap!
Keponakan Chi salah satunya. Menurutnya, Meri adalah anak perempuan. Gak
merasa horror. Bahkan dia bilang Meri cantik dan punya kekuatan
terbang.
Ketika keponakan dengan semangat bercerita film Jumbo, bukannya menjadi
pendengar yang baik, Chi malah (berakting) menjadi uwa yang ngeselin.
Pura-pura menjadi uwa yang memaksakan pendapat. Sampe bikin dia kesel dan
bilang, "Udahlah! Aku gak mau ngomong lagi sama Uwa Bunda!
Males!"
Beneran diambekin untuk beberapa lama. Meskipun ketika uwanya mau pulang
tetap dilarang ma dia hahaha! Postingan berikutnya mungkin Chi akan cerita
tentang ini, ya.
Bukan berarti kekhawatiran orang tua gak beralasan. Tapi, berdasarkan
pengalaman pribadi, diskusi akan berjalan dengan baik kalau dimulai dari
sudut pandang yang sama. Anak juga gak seperti merasa didikte menerima
nasihat.
Contoh lain lagi, pengalaman keponakan yang Chi tulis di awal artikel ini.
Mungkin bagi beberapa orang tua, rasanya serem mengajak anak balita melihat
mumi. Dalam Islam juga tentunya gak mengenal jasad dijadikan
mumi.
Tapi, apakah perlu khawatir berlebihan ketika keponakan bilang supaya
kakeknya dijadiin mumi? Perlukah melarang anak balita datang ke museum
seperti itu?
Sebaiknya ajak ngobrol dulu supaya tau lebih pasti yang ada dipikirannya.
Ternyata setelah Chi ajak ngobrol, keponakan mikirnya sederhana banget khas
anak-anak. Dia kan gak pernah lihat wajah kakeknya. Karena adik Chi belum
menikah ketika papah wafat. Keponakan pernah diajak berziarah ke makam
kakeknya. Makanya ketika melihat mumi, ya, dia mikirnya seperti itu
hehehe.
Keponakan Chi itu juga tau kalau pak Kades di film animasi itu memiliki
karakter jahat. Tapi, dia juga bilang kalau kumisnya lucu hahaha. Beberapa
orang tua menganggap jahatnya pak Kades kurang cocok untuk film anak. Bahkan
dianggap berat temanya karena tentang penggusuran lahan. Keponakan Chi malah
mikirnya lain.
Chi: "Ada yang jahat gak di film Jumbo?"
Keponakan: "Pak Kadesnya jahat. Tapi, punya kumis lucu. Tebel banget kumisnya hahaha."
Chi: "Jahat kenapa?"
Chi: "Ada yang jahat gak di film Jumbo?"
Keponakan: "Pak Kadesnya jahat. Tapi, punya kumis lucu. Tebel banget kumisnya hahaha."
Chi: "Jahat kenapa?"
Keponakan: "Jahatin Meri."
Chi: "Kenapa pak Kades jahat ke Meri?"
Keponakan: "Karena pak Kades pengen bisa terbang. Padahal gak usah
jahat kalau mau terbang. Kan bisa naik pesawat kayak Aku. Malah di
pesawat enak, terbangnya bisa sambil tidur."
Nah kan! Dia mikirnya pak Kades karena pengen bisa terbang. Makanya
berusaha mencuri kekuatan Meri. Logis juga untuk pikiran anak-anak,
kalau mau terbang mending naik pesawat aja hahaha.
Alumni Casper vs Generasi Sekarang
Ketika perdebatan film Jumbo sempat agak memanas tentang hal aqidah, banyak
banget yang bilang, "Dulu, nonton film kayak Casper, Ghostbuster, dan lain
kayaknya nyantai aja. Gak bikin jadi lepas aqidah" Bahkan sampai ada istilah
alumni Casper hehehe.
Chi termasuk alumni Casper juga. Pendapat itu ada benernya. Perasaan dulu
nonton ya sekadar hiburan. Tapi, kekhawatiran orang tua saat ini juga
sebaiknya jadi perhatian.
Dulu, sumber informasi belum seperti sekarang. Sangat terbatas dan
seringnya hanya searah. Jadi pikirannya gak macem-macem. Nonton ya sekadar
hiburan. Chi gak pernah tuh diajak diskusi sama orang tua setelah menonton
film. Tapi, tetap merasa aman aja. Gak mikir macem-macem.
Beda ma zaman sekarang, apalagi kalau udah mulai terpapar media sosial.
Opini ini itu sangat beragam. Sangat bisa mempengaruhi. Anak generasi
sekarang juga lebih kritis karena terbukanya informasi. Makanya memang
kurang bisa juga kalau sesantai dulu. Bentengnya harus dibuat semakin
kuat.
Menjadi orang tua di zaman sekarang memang sebaiknya sering menjalin komunikasi dengan anak.
Moral Story Film Jumbo
Seperti yang Chi tulis di postingan sebelumnya, animasi ini menceritakan
tentang Don yang kerap dipanggil Jumbo oleh teman-temannya karena tubuhnya
yang besar. Film ini memiliki pesan tentang menghadapi bullying,
persahabatan, kompetisi, dan saling menyayangi,
Banyak sebetulnya yang bisa dijadikan bahan diskusi bersama anak setelah
menonton Jumbo. Gak bisa dilakukan sekaligus. Satu per satu dan sebaiknya
tetap dimulai dari sudut pandang anak.
Setiap anak juga punya sensitivitas yang berbeda-beda. Ada beberapa orang
tua yang bilang kalau anaknya menjadi setelah menonton Jumbo karena di film
tersebut semua karakter anaknya gak punya orang tua.
Tapi, keponakan Chi malah mikirnya orang tua Jumbo belum pulang kerja.
Makanya, sehari-hari sama oma. Ya mungkin karena keseharian dia juga gitu.
Orang tuanya kan pekerja kantoran, sehari-hari sama neneknya. Ganti-gantian
sekian hari sama Nin, kemudian eyang. Jadi, dia pikir Jumbo sama aja kayak
dirinya.
Bukan bemaksud menggurui. Tapi, sebaiknya memang cari tau info
sebanyak-banyaknya dulu sebelum mengajak anak menonton film. Jadi, bisa
mempertimbangkan boleh atau enggak. Bagi anak lain aman, kan, belum tentu
untuk anak sendiri. Begitu pun sebaliknya.
0 Comments
Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^