Salah satu kekhawatiran ketika anak-anak mulai remaja adalah di saat
mereka melakukan kesalahan. Pengennya punya anak yang sempurna. Gak usah
bikin salah sama sekali. Tapi, mana mungkin?
Jangan Mudah Menjadi Penyelamat Anak
Keke pernah di-bully sama banyak teman saat SMP. Membuat Keke murung
untuk sekian lama. Bahkan, kami pun berniat memindahkannya ke sekolah lain
kalau masalahnya gak kunjung selesai.
Chi gak pernah membenarkan bullying. Tetapi, kalau dari hasil obrolan dan
melihat buktinya, memang berawal dari emosi Keke. Apa yang dia ucapkan itu
sebetulnya benar. Hanya saja dia pake emosi dan terlalu gamblang. Akhirnya
bikin sakit hati temannya. Kemudian, temannya itu menyebar cerita ke yang
lain. Alhasil, terjadinya perundungan ke Keke.
Tentu Chi merasa sedih dan marah lihat Keke di-bully. Rasanya pengen
langsung ke sekolah. Menemui anak tersebut dan pihak sekolah. Bahkan kalau
perlu langsung pindah sekolah!
Tapi, bagaimana kalau kejadian lagi di sekolah barunya? Masa' pindah
sekolah selalu jadi solusi satu-satunya? Rasanya seperti lari dari
masalah.
Chi pun semakin yakin kalau semakin besar usia anak, maka harus mulai
membiarkan belajar dari kesalahannya. Jangan sedikit-sedikit orangtua yang
turun tangan. Gak selamanya orangtua bisa mendampingi. Anak harus belajar
menghadapi masalahnya sendiri.
Ketika anak-anak masih kecil, orangtua terutama bunda memang masih nempel
melulu ma anak. Udah kayak sepaket, ke mana-mana diikutin. Bahkan sampai
ke kamar mandi pun ngikut hehehe.
Tapi, semakin besar kan gak kayak gitu. Anak-anak mulai beraktivitas
sendiri. sekolah udah gak ditungguin lagi. Nah, tentu harus belajar
mengatasi masalahnya sendiri.
2 minggu lalu, Chi nonton episode terbaru NCIS. Direktur Vance cerita
kalau putrinya mulai berkencan. Ketika cowok yang mengencani putrinya
datang ke rumah, dia mengajak ngobrol tapi sambil memoles pistol.
Maksudnya semacam pernyataan terselubung, 'jangan macem-macem ma putri
saya. Kalau enggak, bapaknya bakal turun tangan.' 😁
7 Tips Agar Anak Mau Belajar dari Kesalahan
Membiarkan anak belajar dari kesalahan, bukan berarti orangtua melepas
gitu aja. Bodo amat dengan masalah anak. Biarin aja diurus sendiri. Gak
begituuuuu. Tapi, maksudnya gak selalu harus orangtua yang turun tangan.
Anak-anak harus mulai belajar menyelesaikan sendiri. Orangtua sekadar
memberi saran dan memantau.
Reaksi Orang Tua Saat Anak Melakukan Kesalahan
Memang mudah banget terpancing emosi kalau anak melakukan kesalahan.
Seperti yang Chi bilang di awal. Pengennya puna anak sempurna, deh. Bikin
pusing kalau udah ada kesalahan hehehe.
Tapi, kan, gak mungkin anak sempurna. Orangtuanya aja gak sempurna. Jadi,
yang pertama harus dikontrol adalah reaksi orang tua saat anak melakukan
kesalahan.
Idealnya memang tetap tenang. Karena seringkali anak udah tau ada
masalah. Dimarahin malah bikin dirinya semakin gak nyaman. Tapi, terkadang
emosi Chi sebagai orangtua bisa lepas juga.
Kalau udah gitu, minta jeda sejenak. Supaya gak makin emosi. Nanti malah
gak selesai permasalahannya. Atau K'Aie yang turun tangan karena biasanya
lebih tenang.
Dengarkan dan Diskusikan
Terkadang, ketika anak melakukan kesalahan, gak selalu salah banget.
Makanya ketika udah mulai tenang, dengarkan dengan baik semua penjelasan
anak. Sejauh mana anak melakukan kesalahan. Setelah itu diskusikan. Ajak
anak untuk bersama-sama mencari solusinya.
[Silakan baca: 7 Tips Berdebat dengan Anak Remaja]
[Silakan baca: 7 Tips Berdebat dengan Anak Remaja]
Awali dengan Meminta Maaf
Seperti yang tadi Chi katakan, belum tentu 100% kesalahan anak. Tapi, mau
seberapa besar andil kesalahannya, biasakan meminta maaf. Seringkali
masalah menjadi semakin besar karena gengsi untuk meminta maaf. Malah
terus berusaha mencari pembenaran yang akhirnya bikin pihak lain makin
kesel.
Belajar dari Pengalaman Orang Tua
Mungkin orangtua juga pernah mengalami hal sama ketika masih remaja. Bisa
tuh berbagi kisahnya. Bukan untuk membuka aib lama. Tapi, anak jadi tau
kalau manusia memang gak ada yang sempurna, termasuk orangtuanya. Anak
juga jadi tau kalau setiap permasalahan ada jalan keluarnya.
Tapi, jangan sampai memaksa memberikan solusi yang sama. Meskipun
permasalahannya kelihatan sama, tetapi zamannya udah beda. Orang yang
dihadapi juga mungkin beda karakternya. Tetaplah fokus ke masalah yang
terjadi saat ini, bukan masa lalu.
Jangan Biarkan Anak Merasa Sendiri
Seperti yang Chi katakan, membiarkan anak belajar dari kesalahannya bukan
berarti orangtua bersikap masa bodoh. Tapi, justru lagi mengajarkan anak
untuk mandiri. Tentunya jangan biarkan anak jadi merasa sendiri. Orangtua
harus berusaha menjadi sosok ternyaman bagi anak.
Selalu berusaha ada untuk anak. Tunjukkan rasa perhatian ke anak. Kalau
perlu sesekali dikasih tau, anak gak sendiri meskipun udah berbuat
salah.
Ketika Keke di-bully, kami bilang tetap ada batasnya. Kami meminta Keke
sabar selama 2-3 bulan. Tetapi, bila sampai terjadi pemukulan atau
kekerasan fisik lainnya harus langsung lapor ke orangtua. Selama hanya
dimusuhin, sabar aja dulu sampai batasan berakhir. Kami yakin yang musuhin
juga lama-lama bakal tau kalau Keke ucapin itu benar.
Tapi, bila Keke tetap di-bully sampai batas waktu, baru kami akan bicara
ke wali kelas. Sama-sama mencari solusi terbaik. Kalau gak selesai di wali
kelas, naik ke Kepala Sekolah. Kalau masih gak selesai juga, opsi terakhir
baru deh pindah sekolah.
Alasan kami memberikan waktu adalah supaya Keke juga belajar untuk gak lari dari masalah. Kan, biar bagaimana pun masalah saat itu terjadi karena Keke emosi. Memang gak enak kalau sampai dimusuhin, tapi ambil pelajaran dari kejadian tersebut. Tentu tetap dalam pengawasan jangan sampai kebablasan nge-bully-nya.
Alasan kami memberikan waktu adalah supaya Keke juga belajar untuk gak lari dari masalah. Kan, biar bagaimana pun masalah saat itu terjadi karena Keke emosi. Memang gak enak kalau sampai dimusuhin, tapi ambil pelajaran dari kejadian tersebut. Tentu tetap dalam pengawasan jangan sampai kebablasan nge-bully-nya.
Jadi, kami gak diem aja. Gak membiarkan Keke merasa sendiri. Sesering
mungkin ditanya perasaannya. Alhamdulillah permasalahan pun selesai tanpa
harus melibatkan pihak sekolah.
Agak lucu sih penyelesaiannya. Waktu itu kami baru pulang dari liburan ke
Singapore. Keke beli banyak coklat untuk teman-temannya. Tapi, yang hanya
dibagiin ke teman-teman yang tetap baik kepada Keke. Bahkan ikut jaga
badan kalau Keke lagi di-bully. Terharu banget, deh. Sampai sekarang Keke
masih berteman baik. Alhamdulillah.
Eh, yang musuhin pada minta coklat. Trus, teman-temannya bilang, "Makanya
jangan jahat sama Keke." Akhirnya mereka dibagi coklat juga. Karena Keke
memang beli lebih. Abis itu masalah pun selesai.
Pada nyadar juga kalau yang Keke omongin waktu itu benar. Karena ketika
maaf-maafan, beberapa temannya bilang kalau yang Keke omongin waktu itu
memang benar. Tapi, cara menyampaikannya yang salah karena pakai emosi. Ya
sama-sama introspeksi, deh.
Jangan Selalu Mengungkit Kesalahan Anak
Ketika permasalahan udah selesai, anak udah belajar dari kesalahan,
jangan selalu diungkit. Mau beraktivitas apa pun jadi dicurigai atau
dibatasi. Karena khawatir anak akan melakukan hal sama. Malah jadinya
bikin masalah baru kalau kayak gitu.
Boleh aja sesekali mengingatkan. Tujuannya supaya anak gak mengulangi
kesalahan yang sama. Tapi, tidak dengan cara terus-terusan diungkit. Harus
lihat situasi dan kondisi juga.
Jangan Segan Memberi Pujian
Menyelesaikan masalah butuh proses. Lama atau tidaknya tergantung dari
besar kesalahan yang dibuat. Jangan segan memberi pujian di saat anak
sedang belajar dari kesalahannya.
Misalnya, puji anak ketika mau meminta maaf. Tentu jangan sampai
berlebihan pujiannya. Tapi, setidaknya anak jadi tau kalau proses
belajarnya diapresiasi orangtua. Biar anak tetap fokus menyelesaikan
masalahnya.
Sesuaikan dengan Usia Anak
Mengajarkan anak belajar dari kesalahan sebetulnya bisa dimulai sejak
kecil. Misalnya, membiasakan meminta maaf. Mungkin ketika kecil masih
harus ditemani. Bahkan tangannya pun dipegangin saat minta maaf. Ya, gak
apa-apa karena itu bagian dari proses.
Tentu aja setiap mendidik anak supaya mandiri belajar dari kesalahan
disesuaikan dengan usianya. Karena memberi bekal memang penting. Tentunya
juga harus bertahap perbekalannya.
Tidak Takut Berbuat Salah, Berani Bertanggungjawab
Permasalahan anak gak sebatas bullying. Ada banyak banget dari mulai hal
receh. Tapi, semoga aja jangan sampai mengalami masalah yang sangat besar
seperti berbagai kasus kriminal anak saat ini. Naudzubillah.
Semakin dewasa, masalah hidup bisa semakin kompleks. Masalah pertemanan,
percintaan, keluarga, hingga pekerjaan. Misalnya ketika memutuskan
berbisnis kan bukan berarti mulus terus. Katanya mereka yang sukses justru
yang bisa bangkit dan belajar dari kesalahan.
Tidak takut berbuat salah harus diimbangi dengan keberanian
bertanggungjawab. Karena kalau cuma gak takut buat kesalahan, khawatirnya
nanti jadi sok jagoan. Malah gak belajar dari kesalahan.
Makanya, biarkan aja anak belajar dari kesalahannya. Meskipun hanya
kesalahan receh, anak tetap harus mengambil pelajarannya. InsyaAllah,
kelak anak memiliki karakter yang dewasa bertanggungjawab. Aamiin
Allahumma aamiin.
0 comments
Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^