Menyimak gak keramaian berita pasangan seleb luar negeri yang memilih
berpisah? Kata-katanya
gara-gara mertua
alias gak akur gitu sama menantunya. Etapi, bukan mertua dong ya kalau
belum menikah. Hush! Jangan melebar bahasannya hehehe.
Lagian Chi gak ngikutin akun gossip. Pertama tau ini karena trending
topik do Twitter. Ya iseng lah klik hashtagnya. Kan, jadi tau isi
beritanya hehehe.
Blog ini gak berubah jadi niche gossip atau berita artis, kok. Lagi
ngedraft topik tentang gara-gara mertua. Eh, ada berita ini. Pas banget
deh buat jadi pembuka konten 😂.
Pernah gak merasa takut atau khawatir menikah karena alasan
mertua?
Chi gak pernah. Alhamdulillah punya mertua yang super duper baik. Dari
sejak masih pacaran ma K'Aie hingga menikah dan kedua mertua sudah
berpulang, sifatnya gak berubah. Selalu aja baik ke menantu. Chi merasa
gak ada gap. Udah kayak sama orang tua sendiri.
Makanya dalam kehidupan berumah tangga, Chi gak pernah merasakan
perbedaan ketika menginap di rumah mertua. Misalnya jadi mendadak jaim
harus bangun lebih pagi atau lainnya. Gak ada cerita-cerita kayak
gitu.
Tetapi, sepupu Chi ada yang sempat khawatir menikah karena mertua, lho.
Agak kaget juga ketika dia curhat tentang hal ini. Karena Chi mikirnya
kalau dia, tuh, termasuk orang tersantai.
Dia gak pernah kelihatan marah kalau ditanya, 'Kapan nikah?" Malah
sering juga dia mancing-mancing minta ditanya pertanyaan yang menurut
banyak orang sensitif itu. Menurutnya, kalau sampai ditanya, mau itu
cuma basa-basi, dia bisa minta didoain supaya lekas dapat jodoh. Trus,
nanti biasanya diaminkan. Sudut pandang yang berbeda dari sepupu saya,
ya.
Tips Menghilangkan Rasa Khawatir Konflik dengan (Calon) Ibu Mertua
Saat sedang ngedraft postingan ini, Chi membaca komentar dari Mbak Alfa Kurnia di postingan Ngobrolin Tentang Childfree. Mbak Alfa nanya, "Eh, tapi, mungkin nggak sih, remaja-remaja ini punya pikiran untuk menunda punya anak dan mungkin menganggap punya anak itu merepotkan karena sering terpapar konten ibu-ibu atau ortu muda yang kerepotan punya anak?"
[Silakan baca: Ngobrolin Tentang Childfree]
Chi rasa jawabannya mungkin banget. Ya itu yang terjadi dengan sepupu.
Memang bukan tentang childfree. Tetapi, dia jadi khawatir menikah karena
banyak membaca curhatan netizen tentang konflik antara menantu dan
mertua. Dia takut gak bisa akur dengan ibu mertua sehingga mengancam
keutuhan rumah tangganya. Ada beberapa saran yang coba Chi berikan
yaitu
Baca Konten-Konten yang Bikin Hati Adem
Kita gak bisa mengatur konten orang lain. Tetapi, kita bisa mengatur diri sendiri.
Disadari atau enggak, konten yang kita buat meskipun hanya sebaris
kalimat bisa mempengaruhi orang lain. Bahkan untuk postingan yang receh
sekalipun. Setidaknya akan ada beberapa orang yang ikut tertawa saat
melihatnya.
Ketika kita membuat postingan tentang konflik pribadi, mungkin
maksudnya untuk curhat. Mengeluarkan uneg-uneg karena mungkin aja gak
ada seseorang yang bisa dijadikan tempat untuk bercerita. Sehingga
menceritakannya lewat media sosial, blog, atau vlog.
Reaksi orang bisa beragam. Ada yang biasa aja, peduli dengan memberikan
nasehat, tapi ada juga yang jadi parno. Khawatir mengalami nasib yang
sama.
Itulah yang terjadi sama sepupu. Katanya di timeline dia banyak aja
yang nyetatus konflik dengan ibu mertua. Bikin dia jadi berpikir ulang
tentang pernikahan.
Chi menyarankan ke dia untuk coba cari konten yang lain. Carilah
cerita-cerita seseorang yang akur dengan mertuanya. Kalau gak ada,
mendingan jangan baca konten seperti itu. Banyakin ngobrol aja sama
sahabat atau siapapun.
Sepupu : "Aku juga udah ngobrol, Teh. Tetapi, temen-temen Aku juga pada
sebel dong sama ibu mertuanya. Ya, Aku jadi makin takut."
Chi : "Ya, kamu ngobrol aja sama Teteh. Alhamdulillah mertua Teteh mah
baik banget."
Tentu Chi gak bermaksud membanding-bandingkan nasib atau mau pamer.
Tapi, ingin kasih lihat ke sepupu kalau hubungan antara mertua dan
menantu gak selalu penuh konflik. Banyak juga yang adem ayem bahkan
akur.
Pasanganmu adalah Anak dari Mertuamu
Jangan (terlalu) memaksa pasangan untuk berubah
Mungkin ada satu atau beberapa sifat dari pasangan yang kurang disukai.
Atau ada juga pasangan yang terlalu dekat sama ibunya. Sehingga membuat
kita cemburu dan khawatir kalau udah menikah, pasangan akan lebih belain
ibunya bila terjadi konflik.
Tetapi, harus disadari dulu sejak awal kalau (calon) suami/istri kita
adalah anak dari seseorang. Karakternya yang sudah terbentuk,
kemungkinan besar juga hasil didikan orang tuanya. Sulit kalau kita yang
baru datang dalam kehidupannya, tau-tau memaksa untuk mengubah
karakter.
Begitupun kalau pasangan kita terlihat tetap dekat dengan orangtuanya.
Bahkan di beberapa kesempatan seperti membela. Ya, wajar aja karena
sekian puluh tahun udah dekat.
"Kelak kalau Keke atau Nai punya pasangan, trus mereka jadi menjauh
dari orang tuanya, Teteh juga kayaknya akan cemburu dulu."
Chi bilang seperti itu ke sepupu. Tentunya gak bermaksud untuk menjadi
(calon) mertua yang menyebalkan hihihi. Tetapi, kan, memang ada di mana
setelah anak punya pasangan jadi kayak mengabaikan orangtua.
Coba omongin pelan-pelan ke pasangan kalau ada sikapnya yang kurang
sreg. Karena rasanya gak ada yang suka diminta harus langsung berubah.
Kita mengenal pasangan dengan sikapnya itu. Gak bisa juga ujug-ujug
dengan alasan cinta memaksanya harus berubah.
Kenali (Calon) Mertua Lebih Dekat
Chi : "Kamu udah ketemu calon mertua?"
Sepupu : "Belum, Teh. Tapi, katanya dalam waktu dekat, Aku mau
dikenalin."
Kalau memang serius menikah, tentu wajib mengenal orangtua pasangan.
Ya, memang 1-2x pertemuan gak bisa menggambarkan karakter seseorang
secara keseluruhan. Tetapi, setidaknya kesan pertama bisa merasakan
nyaman atau enggak.
Selain bertemu langsung, Chi menyarankan sepupu untuk bertanya ke calon
suaminya. Minta dia menceritakan karakter orangtuanya. Apa sih yang
disuka, gak disuka, atau diharapkan dari anaknya bila sudah
menikah?
"Coba tanya, deh, ke pacarmu. Ibunya suka gak punya menantu yang bawel?
Hihihi."
Sepupu Chi ini karakternya heboh. Malah terkadang agak nyablak.
Sedangkan kalau dari ceritanya, karakter pacar dan keluarganya ini
termasuk yang kalem. Bukan berarti gak bakal cocok. Ya bisa cocok, bisa
enggak. Makanya enaknya memang diomongin dulu. Biar bisa saling
mengenal.
[Silakan baca: Apakah Istri Harus Bisa Masak?]
[Silakan baca: Apakah Istri Harus Bisa Masak?]
Pengalaman Seatap dengan Mertua
Segala tips di atas tentu berdasarkan pengalaman kami sendiri. Setelah menikah, kami masih tinggal bersama orangtua Chi selama kurang lebih 14-15 tahun. Lumayan lama, kan?
Sempat mempertimbangkan untuk ngontrak rumah. Tetapi, dengan banyak sekali pertimbangan, kami memilih tetap serumah dengan orangtua/mertua. Hingga akhirnya kami mulai menempati rumah sendiri.
Selama ini, Chi paling sering dapat cerita tentang konflik antara
seorang istri dan mertua perempuan. Entah kenapa jarang sekali ada
cerita konflik antara suami dengan mertuanya. Tapi, Chi rasa konflik
antara suami dan mertua bisa saja terjadi bila memang ada
ketidakcocokkan.
Alhamdulillah gak dialami sama kami. Malah seringkali orangtua Chi bilang kalau udah menganggap K'Aie seperti anak sendiri.
Alhamdulillah gak dialami sama kami. Malah seringkali orangtua Chi bilang kalau udah menganggap K'Aie seperti anak sendiri.
Bukan berarti gak pernah ada konflik, ya. Malah kayaknya seringnya konfliknya antara anak dengan orangtua. Antara Chi dengan mamah dan papah. Biasanya masalah pengasuhan.
Misalnya, orangtua Chi seneng banget kalau Keke dan Nai main di kamar
kakek neneknya sampai malam. Kalau perlu sampai tertidur. Sedangkan, Chi
selalu mengajak mereka masuk kamar kalau sudah masuk waktunya tidur.
Kalaupun udah ketiduran, selalu digendong ke kamar.
Nah, awal-awalnya papah suka kesel. Dikiranya kami gak pengen
cucu-cucunya terlalu dekat ma kakek dan neneknya. Padahal maksud kami
gak ke seperti itu. Keke masih suka terbangun di tengah malam saat masih
balita. Kalau gak langsung ditidurin lagi, bisa-bisa anaknya keburu
fresh. Langsung ajak main dan giliran menjelang subuh baru tidur. Itu
bisa mengacaukan seluruh aktivitas di hari berikutnya. Kami pun bisa
kelelahan kalau begadang.
Lebih kasihan lagi kalau kakek dan neneknya yang harus begadang. Meskipun anak-anak gak mengganggu, tapi papah kalau udah terbangun suka susah tidur lagi. Makanya selalu diajak ke kamar kalau udah waktunya tidur.
Lebih kasihan lagi kalau kakek dan neneknya yang harus begadang. Meskipun anak-anak gak mengganggu, tapi papah kalau udah terbangun suka susah tidur lagi. Makanya selalu diajak ke kamar kalau udah waktunya tidur.
Papah gak langsung mengerti. Ya memang gak jadi ribut besar juga.
Tetapi, tetap terlihat suka kesal kalau kami melakukan itu. Padahal udah
berkali-kali dijelasin. Kalau lagi akhir pekan, kami membebaskan
anak-anak main sepuasnya. Ya gak apa-apa deh sesekali jadi agak
berantakan jam aktivitasnya.
Memang butuh waktu untuk berproses untuk bisa saling mengerti.
Lama-lama ya kami saling paham. Orangtua bisa menghargai kami dalam hal
mendidik anak alias gak campur banget. Kami pun memberi mereka
kesempatan untuk menyenangkan anak versi kakek dan nenek.
Papah dan mamah juga sempat gak mendukung Keke latihan balap motor. Chi aja gak pernah dibolehin belajar motor sama orangtua. Karena mereka terlalu khawatir. Apalagi begitu tau cucunya balapan. Gak pernah mau diajak nonton cucunya latihan hehehe.
Tapi, mereka gak pernah bersikeras yang sampai mengatur banget. Tetap menghargai kalau kami adalah orangtua Keke dan Nai. Ya konflik-konfliknya gak sampai bikin hubungan meruncing.
Papah dan mamah juga sempat gak mendukung Keke latihan balap motor. Chi aja gak pernah dibolehin belajar motor sama orangtua. Karena mereka terlalu khawatir. Apalagi begitu tau cucunya balapan. Gak pernah mau diajak nonton cucunya latihan hehehe.
Tapi, mereka gak pernah bersikeras yang sampai mengatur banget. Tetap menghargai kalau kami adalah orangtua Keke dan Nai. Ya konflik-konfliknya gak sampai bikin hubungan meruncing.
Meskipun belasan tahun tinggal seatap dengan orangtua, kami tetap
membiasakan ada '2 dapur', ya. Bukan berartinya dapurnya ada dua.
Maksudnya kami tetap bertanggungjawab dengan rumah tangga, termasuk
urusan memasak. Persamaannya hanya tingga serumah aja.
Sikap K'Aie saat tinggal bersama mertua, di rumah mertua, atau sekarang
kami tinggal di rumah sendiri pun sama aja. Gak pernah ada cerita K'Aie
menjadi jaim selama dia tinggal bersama mertua. Giliran di rumah
orangtuanya jadi lebih santai. Saat lagi kumpul dengan keluarga besar
pun sama aja.
Chi juga sama. Jaimnya cuma saat pacaran doang. Termasuk pura-pura bisa
masak di depan nenek K'Aie. Padahal saat itu bedain merica ma ketumbar
aja gak bisa wkwkwkw!
Tetapi, setelah menikah biasa aja. Chi pun merasa mertua seperti orang
tua sendiri. Apalagi sama mamah K'Aie. Bisa sampai saling
curhat-curhatan. Bebas mau ngomong apapun. Kalau memang lagi pengen
males-malesan saat lagi menginap di rumah mertua pun nyantai. Gak pernah
dinyinyirin hehehe.
Punya kakak ipar pun biasa aja. Maksudnya gak ada cerita mereka
ngatur-ngatur adiknya yang sampai terlalu ikut campur banget. Begitu pun
Chi kalau ke adik ipar. Ya gak mau ikut campur juga, kecuali memang
dimintain tolong.
Tetapi, Chi gak bermaksud mengeneralisir semua punya masalah yang sama,
ya. Bisa jadi bagi teman-teman atau siapa pun permasalahannya lebih
kompleks dari yang kami alami.
Alhamdulillah, kalau kami lebih nyaman. Meskipun gak 100% bebas
konflik. Tetapi, kalau pun ada masih bisa diselesaikan dengan
baik.
Mamah selalu berpesan kalau Chi punya konflik dengan suami, usahakan
K'Aie yang cerita ke mertua. Karena kalau cuma Chi yang ngadu,
khawatirnya orangtua jadi gak objektif.
Gak taunya mamah mertua juga pandangan sama. Padahal gak janjian ma
besan hihihi. Mamah K'Aie suka ingetin ke Chi kalau punya masalah di
rumah tangga, jangan sungkan-sungkan cerita. Alasannya pun sama.
Tapi, bukan berarti dikit-dikit kami pengaduan lha, ya. Tetap aja
berusaha menyelesaikan masalah rumah tangga sendiri. Hanya saja sikap
kedua orangtua kami menandakan kedekatan dengan anak dan menantu.
Menunda Punya Anak, Yay or No?
Sepupu : "Teh, salah gak ya kalau Aku pengen menunda punya anak dulu
setelah nikah?"
Chi : "Ya, tergantung. Memangnya kalian sepakat menunda?"
Obrolan dilanjutkan ke bahasan tentang anak. Sepupu Chi cerita kalau
antara dia dan pacarnya punya perbedaan pendapat tentang anak.
Sepupu Chi ingin menunda sekitar 2 tahunan. Dia merasa kurang lama
pacarannya karena pasangannya ini langsung mengajak menikah. Jadi, dia
merasa pengen puas-puasin pacaran dulu.
Sedangkan calonnya ingin sesegera mungkin punya anak. Alasannya karena
di pertemanannya banyak yang berpikiran menunda dengan alasan karir.
Begitu mulai ada keinginan punya anak, malah sulit sekali
mendapatkannya. Dia gak ingin mengalami kejadian seperti itu.
Chi : "Ya harus dicari kesepakatannya. Jangan sampai nanti setelah
menikah jadi main salah-salahan. Memangnya ibumu setuju menunda-nunda?
Kayaknya ibumu bakal nanyain cucu melulu. Teteh yakin, deh! Kamu gak
kesel kalau nanti ditanyain melulu ma ibu? Hehehe."
Sepupu : "Ah, gampang lah Teh kalau sama Ibu. Aku bisa jawabnya."
Chi : "Oke. Tapi, kalau mertua yang nanyain cucu melulu gimana? Yakin
masih gampang jawabnya? Hehehe."
Sepupu : "Nah itu dia, Aku binguuuuung. Gimana ya, Teh?"
Chi bilang kalau di Indonesia, bisa juga di Asia, pernikahan itu
berarti menikahi seluruh keluarga. Makanya gak heran kalau ada cerita
orang tua bahkan hingga uwa, bude, om, dan tante ikut campur. Malah
kalau perlu tetangga juga ikutan wkwkwkw.
Ya, tapi itu gambaran umum. Artinya gak semua pasti begitu. Contohnya
pernikahan kami. Rasanya orangtua Chi maupun K'Aie gak ikut campur
banget. Chi punya kakak ipar juga biasa aja. Gak yang ngatur-ngatur atau
ikut canpur kayak gimana gitu. Begitupun dengan bude, pakde, uwa, atau
siapapun.
Menurut Chi, sebaiknya kompakin dulu hubungan dengan pasangan. Gak
hanya tentang urusan memutuskan punya anak. Tapi, untuk banyak hal lain
juga.
Misalnya, nih, kalau istri sedih karena dikritik ma mertua gara-gara
gak bisa masak. Ya, suami jangan biarin istri memendam kesedihannya
sendiri. Gimana caranya istri bisa terhibur hatinya. Tapi, juga jangan
sampai suami jadi ribut ma orangtuanya.
Karena suka ada juga kan curhatan seorang istri yang merasa terlalu
dituntut untuk memenuhi standar mertua. Trus, suaminya malah diam aja.
Lelah batin juga lho memendam kesedihan sendiri. Termasuk kalau ditanya
melulu, 'Kapan punya anak?'
Chi juga cerita ke sepupu ada teman yang memilih menunda punya anak
dengan alasan karir. Memang mereka lagi bagus karir dan penghasilannya.
Tetapi, tanpa direncanakan ketika pandemi datang, mereka pun dikaruniai
anak. Tetap diterima dengan sukacita meskipun gak sesuai rencana. Yup!
Apapun rencana kita jangan sampai melanggar agama.
Sepupu : "Iya sih, Teh. Aku juga pengen punya anak. Tapi, Aku juga
pengen pacaran dulu. Kapan Aku pacarannya kalau nanti cepet punya anak?
Abis kayaknya kalau lihat yang udah punya anak jadi repot gitu.
Teman-teman pada cerita jadi gak punya waktu berduaan ma suami."
Chi bilang kalau masa pacaran dengan suami bisa kapan aja. Chi dan
K'Aie termasuk yang langsung dikasih anak setelah menikah. Bisa dibilang
memang gak ada momen berduaan. Apalagi kami termasuk yang gak bisa jauh
dari anak. Makanya gak pernah nitipin anak ke orang tua untuk alasan
melipir sejenak buat pacaran hehehe.
Pacarannya baru berasa sekarang setelah Keke dan Nai udah mulai remaja. Mereka udah bisa ditinggal di rumah. Malah kadang-kadang mereka yang memilih gak mau ikut. Atau mereka yang sibuk beraktivitas di luar. Kami berduaan di rumah. Pokoknya sekarang udah lebih leluasa gak selalu diikutin anak-anak.
Pacarannya baru berasa sekarang setelah Keke dan Nai udah mulai remaja. Mereka udah bisa ditinggal di rumah. Malah kadang-kadang mereka yang memilih gak mau ikut. Atau mereka yang sibuk beraktivitas di luar. Kami berduaan di rumah. Pokoknya sekarang udah lebih leluasa gak selalu diikutin anak-anak.
Tetapi, ada juga teman yang baru dikaruniai anak di usia di atas 35
tahun. Di usia yang sama dengan kami sekarang, anak-anaknya masih pada
kecil-kecil. Mereka ke mana-mana masih diikutin anak.
Ya, gak bisa juga sih dibanding-bandingkan mana yang lebih enak. Semua
ada plus minusnya masing-masing. Makanya ketika sepupu bilang
kapan pacarannya, ya kapan pun sebetulnya bisa.
Pengaruh Media Sosial Terhadap Netizen
Huff! Lumayan panjang juga ya tulisannya. Padahal intinya tuh mau
bilang kalau sosial media memang punya pengaruh banget ke pemikiran
orang lain.
Ya kayak sepupu Chi yang sempat takut menikah karena khawatir punya
konflik ma mertua. Padahal saat itu ketemu aja belum. Cuma gara-gara
suka baca curhatan di medsos tentang hubungan mertua dan menantu.
Beberapa waktu lalu, Chi menonton konten tiktok akun kumisleledumbo.
Salah satu kontennya bejudul 'Nikah'. Katanya dia pernah keceplosan
bilang ke mamahnya gak mau menikah. Alhasil dia dicubit, dong hehehe.
Dia beralasan kalau semua ini gara-gara mamahnya juga yang selalu nonton
sinetron bertema perselingkuhan. Bikin dia merasa takut menikah.
Entah kontennya sekadar lucu-lucuan karena memang kontennya banyak yang
lucu. Atau bercampur dengan curhatannya dia. Tapi, baca komen-komennya
banyak juga yang bilang takut menikah atau punya anak karena pengaruh
cerita para netizen di medsos.
Media sosial memang bisa mempengaruhi seseorang. Terlepas ada latar
belakang lain lagi. Mungkin masalahnya bisa lebih kompleks.
Alhamdulillah sepupu udah menikah di awal Mei lalu. Tapi, memang belum
hamil hingga sekarang. Chi gak pernah tanya apa karena sepakat menunda
atau memang belum dikarunia. Biarin aja itu privasi mereka. Pokoknya
apapun itu, harapannya pernikahan terus langgeng sampai kapan pun.
Aamiin Allahumma aamiin.