New Normal Bukan Berarti Euforia Kebebasan - Saat ini, Indonesia mulai memasuki masa new normal. Sedangkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menyatakan bahwa Ibukota RI ini sejak tanggal 5 Juni 2020 memasuki fase PSBB transisi, belum new normal. Artinya berbagai sektor ekonomi mulai dilonggarkan dengan beberapa syarat protokol kesehatan. Tetapi, bila terjadi pelonjakan lagi, maka siap-siap kembali ke PSBB.

new normal bukan berarti euforia kebebebasan

Banyak yang antusias menyambut new normal. Bisa dipahami bila antusias ini karena alasan supaya ekonomi kembali bergerak, tetapi dengan kesadaran tinggi mematuhi segala protokol kesehatan. Sayangnya, faktanya new normal justru disikapi dengan euforia. Banyak yang menyerbu pusat perbelanjaan, tempat wisata, atau bahkan sekadar ke minimarket tanpa menggunakan masker. Sedih banget melihat kenyataan ini.


Kesehatan vs Ekonomi


kesehatan dan kebutuhan ekonomi saat pandemi

Saat ini, kesehatan dan ekonomi seperti menjadi 2 faktor yang bertolak belakang. Padahal seharusnya beriringan. Untuk bisa beraktivitas dengan baik membutuhkan tubuh yang sehat. Tetapi, pandemi yang berkepanjangan juga membuat efek domino ke mana-mana, termasuk ekonomi.

Paham banget kalau kesehatan itu penting. Apalagi grafik corona di Indonesia masih terus tinggi. Belum ada tanda-tanda menurun. Pengennya sih di rumah terus karena rasanya memang lebih aman dan nyaman di rumah aja.

Tetapi, di sisi lain kalau PSBB terus berjalan, banyak sektor ekonomi gak bergerak juga bikin sedih. Pandemi COVID-19 ini menghantam hampir semua sektor ekonomi. Pada krisis moneter tahun 1998, UMKM termasuk yang paling bertahan dibandingkan perusahaan besar. Tetapi, saat pandemi ini seperti gak pandang bulu. Siapapun bisa kena efeknya.

Bersyukurlah bagi siapapun yang masih mendapatkan gaji meskipun tidak utuh. Tetapi, banyak yang tetap bekerja, sedangkan gaji ditunda sementara waktu. Malah banyak juga yang kena PHK. Gak mungkin terus-menerus berharap bansos dari pemerintah pusat maupun daerah. Kalau pandemi berkepanjangan, keuangan negara kan juga bisa terganggu. Urusan 'perut' memang kadang-kadang complicated.


Berdamai dengan Corona


berdamai dengan corona

Beberapa waktu lalu, jagat maya juga sempat diramaikan dengan pernyataan presiden Jokowi tentang 'berdamai dengan corona'. Sebetulnya Chi paham maksudnya. Himbauan yang mengajak masyarakat untuk mulai beraktivitas kembali. Tentu saja dengan berbagai persyaratan keamanan yang kita kenal dengan protokol kesehatan.

Tetapi, secara pribadi masih ada rasa penolakan terhadap pernyataan tersebut. Bagi Chi yang namanya penyakit, gak bisa berdamai. Apapun sakitnya, penyakit harus dilawan.

Kalaupun masih ada pandemi dan belum ada vaksinnya, maka wajib berusaha beradaptasi. Caranya ya disiplin dengan protokol kesehatan dan menjaga kondisi tetap sehat.

Ya memang hanya berbeda pemilihan kalimatnya. Karena intinya adalah sama. Disiplin dengan protokol kesehatan, jaga kesehatan, serta di rumah aja kalau gak perlu-perlu banget ke luar rumah itu kunci dalam menghadapi pandemi.


New Normal vs Ignorant People


New Normal vs Ignorant People

New normal BERBEDA dengan normal. New normal ada dengan alasan supaya perekonomian kembali berjalan secara bertahap. Bukan berarti virusnya sudah hilang. Itulah kenapa protokol kesehatan wajib dipatuhi

Sejak pandemi masuk ke Indonesia, Chi kesel banget dengan ulah masyarakat yang ignorant. Chi selalu menyebutnya covidiot. Padahal ya Chi rasanya gak pernah bilang seseorang itu bodoh, tolol, atau apapun, terutama di media sosial. Tetapi, menghadapi masyarakat yang seperti ini rasanya kekesalan Chi udah termasuk di level tertinggi.

Kita semua memiliki keinginan yang sama. Ingin tetap sehat, bisa beraktivitas dengan normal seperti sebelum wabah, dan ingin virus corona ini segera pergi dai muka bumi. Sayangnya tidak semua masyarakat bisa patuh. Padahal selama vaksin ini belum ditemukan, untuk melawan virus ini dengan cara kekompakan. Pada kompak untuk patuh dengan himbauan hingga perintah.

Chi sendiri sebetulnya lebih memilih untuk tetap PSBB, karantina, lockdown, atau apapun istilahnya yang penting mayoritas masyarakat tetap di rumah aja sampai grafik corona benar-benar sudah turun. Tetapi, di sisi lain juga ada perut-perut yang harus diisi dan kebutuhan lain yang harus dibayar (listrik, internet, dll). Gak bisa terus-menerus mengharapkan bantuan. Perlahan harus mulai beraktivitas kembali. Chi berusaha memahami kedua sisi, tetapi tidak untuk Covidiot.

Mungkin ada yang beranggapan apalah arti sebuah kata, yang penting kan paham maksudnya. Memang bisa jadi begitu. Tetapi, faktanya juga di masyarakat kita masih banyak yang pemahamannya setengah-setengah.

Berdamai dengan corona dan new normal disikapi dengan euforia. Disangkanya sudah bisa bebas kembali seperti sebelum ada wabah. Tempat wisata penuh, mall diserbu pengunjung, dll. Bubar jalan deh segala protokol kesehatan. Ngeriiii!

"We're fighting 2 pandemics, COVID-19 and stupidity"

Jadi ya kalau pengen kita semua tenang, tolong itu yang ignorant dan euforia pada sadar diri dulu. Bikin masyarakat yang sedang berusaha disiplin jadi was-was dan parnoan melulu. Ulah para ignorant ini memang ngeselin. Udah tau penularannya masif, tapi tetap aja cuek dengan segala alasannya. Pantesan aja keluar istilah Covidiot.

Kan sebetulnya gak dilarang beraktivitas di saat new normal. Beberapa sektor, bahkan tempat wisata pun juga udah ada yang sudah boleh buka. Termasuk kalau udah kepengen traveling pun tetap harus patuh dengan protokol kesehatan.

[Silakan baca: Tips Menjaga Berat Badan Saat di Rumah Aja]

Tetapi, sebisa mungkin kami memilih di rumah aja, lah. Keluar hanya untuk hal penting. Seperti komika Bintang Emon pernah bilang, "Menunda ke mall sekarang gak bakal bikin mall berubah jadi kantin. Gak ke Puncak sekarang, gak bikin puncak jadi pendek."

Sehat-sehat selalu ya untuk semua. Semoga pandemi ini segera pergi. Aamiin Allahumma aamiin.