Ketika Keke Bercita-Cita Menjadi Pembalap Motor Profesional - Catatan: Saat ini Keke berusia 13 tahun. Sebelum menghakimi kenapa kami membolehkan Keke belajar mengendarai motor, lebih baik baca dulu artikel ini hingga tuntas ya 😊

Cita-cita anak menjadi pembalap nasional

Anak di bawah umur udah belajar mengendarai motor?

Awalnya Chi gak setuju banget, apapun alasannya. Apalagi di komplek tempat kami tinggal ini sering bersliweran anak-anak kecil udah pada mengendarai motor. Tidak pernah memakai helm dan kebut-kebutan pula. Kalau diingetin kayak yang ngeledek. Makin kesel kan ngelihatnya. Pernah coba dikejar tapi mereka malah makin ngebut sambil ketawa-tawa. Akhirnya Chi berhenti mengejar karena di komplek juga banyak anak kecil main di luar. Bahaya banget kalau bocah-bocah yang udah mengendarai motor itu makin gak fokus bawa kendaraan.

Pernah juga di depan sekolah anak-anak terjadi tabrakan antara 2 motor yang semuanya dikendarai anak-anak. Saat kejadian tabrakan, mereka cuma saling planga-plongo. Gak ada yang terluka tapi akhirnya butuh orang dewasa juga yang membantu. Bahkan sekadar naik ke motor aja harus diangkat orang dewasa. Kaki mereka belum napak ketika mengendarai motor! Eeerrggh!


Sekolah balap motor di sentul

Ketika Keke mulai menunjukkan minat ingin belajar mengendarai motor, Chi langsung menolak. Saat itu Keke masih kelas 7, usianya 12 tahun. Masih jauh lah untuk belajar mengendarai motor. Sepedahan aja dulu seperti yang selama ini dia lakukan. Tapi Keke bersikeras dengan alasan mau jadi pembalap. Dan Chi tetap bersikeras menolak.

Hampir tiap hari obrolannya hanya tentang motor. Ya kalau untuk yang satu ini, Chi memang gak aneh. Sejak kecil, Keke udah tertarik banget sama dunia otomotif. Mungkin kalau anak-anak lain  beli berbagai macam mainan, Keke gak begitu. Mainan yang ingin dan selalu dibeli cuma diecast mobil dan biasanya yang bentuknya seperti mobil beneran. Keke gak suka diecast mobil-mobilan yang fantasi. Dari dulu pun dia lebih semangat dibeliin majalah otomotif daripada buku cerita anak. Bisa sampai keriting itu berbagai majalah otomotif karena dibaca terus. Bisa berjam-jam pula ngomongin otomotif kalau diladenin.

Chi selalu berbeda pendapat untuk hal ini dengan K'Aie. Keke malah diizinin belajar mengendarai motor sama ayahnya. Makanya Chi suka agak ngomel saat Keke diajarin mengendarai motor. Masih kecil gitu, lho! Tapi K'Aie mengatakan mengajari Keke naik motor bukan berarti nanti dia bebas naik motor sesukanya. Atau bikin kami jadi mudah menyuruh Keke untuk belanja di minimarket. Kalau itu sih Keke biasa naik sepeda. Memang gak sesepele itu juga alasan Keke diajarin mengendarai motor.

Singkat cerita, sekitar bulan September lalu kami ke Tanakita untuk hadir di acara RRREC Fest In The Valley. K'Aie bilang kalau ada temannya - seorang pembalap motocross nasional -, yang juga hadir di acara ini. Keke pun dikenalin sama temen ayahnya.

Chi gak ikut saat mereka kenalan. Chi memilih untuk keliling Tanakita melihat festival. Kalau denger dari cerita K'Aie, temennya ini berpendapat Keke sudah mengerti teknik bermotor tapi jiwanya masih pengen ngebut melulu. Pembalap profesional mah tau aja meskipun cuma dari hasil ngobrol 😄 Keke disaranin untuk ikut sekolah balap dulu kalau ingin terjun ke dunia balap profesional.

[Silakan baca: Piknik Lagi di RRREC Fest In The Valley - Hari Kedua]


Tentang Mencari dan Menggali Potensi Anak (Lagi)


Beberapa waktu lalu Chi pernah menulis postingan tentang bagaimana mengetahui potensi anak. Postingan sebelumnya adalah hasil seminar parenting di sekolah Nai. Pembicaranya adalah Prof. DR. H. Arief Rachman, M.Pd, dan Tika Bisono M.Psi.T. Jauh sebelum ada seminar parenting itu, tema potensi anak sudah sering menjadi bahasan antara Chi dan K'Aie. Setelah seminar, jadi menambah bekal ilmu ketika kami kembali mendiskusikan potensi anak. Termasuk tentang minat Keke untuk menjadi seorang pembalap.

[Silakan baca: Bagaimana Mengetahui Potensi Anak?]

   

Tidak Selalu Mengabulkan Apa yang Anak Mau

Mencari dan menggali potensi anak

Saat kelas 5 SD, Keke pernah suka dengan yang namanya beatbox. Keke pernah beberapa kali minta dimasukin ke sekolah beatbox.

Ketertarikannya untuk belajar musik jugs bukan hal baru. Saat TK hingga kelas 2 SD, Keke memang pernah privat drum di rumah. Dia berhenti privat karena aktivitas di sekolah dan privat mulai bentrok hingga akhirnya gak menemukan solusi. Tapi untuk beatbox, kami masih ragu untuk menyekolahkannya. Kami minta ke Keke untuk konsisten dulu belajar secara otodidak dan itu dilakukannya. Setiap hari mulutnya gak pernah berhenti ngoceh ala beatbox. Dia belajar teknik beatbox dari YouTube.

Terkejut sekaligus terharu saat acara wisuda dan perpisahan sekolah, Keke perform ngebeatbox. Chi jadi inget lagi saat wisuda playgroup di mana Keke jadi satu-satunya anak yang naik ke panggung didampingi bundanya. Itupun dengan wajah memerah karena menangis. Ketika pensi pun masih harus dibujuk dulu supaya gak nangis.

Ketika TK, Keke sudah gak nangis lagi tapi masih gak pede kalau harus tampil menonjol. Saat SD malah pernah kebagian peran jadi pohon aja dia udah senang. Pokoknya gak mau jadi pusat perhatian. Makanya saat lihat Keke solo perform ngebeatbox atas kemauan sendiri, Chi antara deg-degan hingga terharu.  😂


Tidak Semua Bisa Otodidak

Ternyata konsistennya Keke ngebeatbox hanya sampai kelas 6 SD. Begitu masuk SMP, dia kembali menggemari dunia otomotif.

Selain saran dari teman K'Aie, kegemarannya terhadap otomotf sejak kecil juga menjadi pertimbangan kami untuk menyekolahkan Keke ke sekolah balap motor. Keke dan ayahnya pun sempat diajak ke salah satu tempat di mana para pembalap suka berkumpul. Dan semuanya berpendapat kalau mau jadi pembalap memang sebaiknya sekolah dulu. Alasannya pada saat perlombaan biasanya akan kelihatan teknik para pembalap yang pernah sekolah balap sama yang otodidak. Yup! Balapan kan gak hanya sekadar bisa cepat tapi juga ada teniknya.


Mantapkan Hati dan Mulai Mendukung

Bagaimana kalau cita-cita anak bertentangan dengan keinginan orang tua? Chi mulai mengalami perasaan itu. Antara setuju dan tidak mengizinkan Keke ikut sekolah balap.

Hati Chi masih galau antara mendukung anak untuk menjadi pembalap dan prinsip kalau anak kecil gak boleh mengendarai motor. Belum lagi kalau mikirin risiko balapan. Bener-bener udah kayak berantem di hati dan pikiran.


menggali potensi anak sejak kecil
Salah seorang pembalap cilik yang kami temui di sana. Dia bukan murid 43 Racing School. Chi lupa namanya, usia 11 tahun, sudah beberapa kali ikut balapan. Ayahnya memiliki bengkel motor.  Ayah dan kakaknya yang menjadi mekaniknya


Chi lalu teringat pernah sedikit menulis profil Sheva Anela Ardiansyah - crosser perempuan cilik -, yang usianya 2 tahun lebih muda dari Keke tapi sejak tahun 2012 sudah menuai banyak prestasi. Chi juga mencari berbagai info tentang para pembalap dunia seperti Valentino Rossi hingga Marc Marquez. Ternyata mereka semua mulai belajar motor di usia yang masih sangat muda. Bahkan di usia yang seperti Keke saat ini mereka sudah mulai berprestasi. Sedangkan Keke malah baru mulai belajar.

Dari membaca profil beberapa pembalap, Chi mulai mantap kalau gak apa-apa mengajarkan anak untuk mengendarai motor sejak kecil asalkan ada tujuannya yang jelas. Seperti yang Chi tulis di awal, kalau ngajarin mengendarai motor bukan sekadar supaya si anak bisa disuruh belanja ke minimarket atau ke sekolah pakai motor, apalagi untuk kebut-kebutan gak jelas. Dan yang terpenting juga dari beberapa profil yang Chi baca, semuanya mendapatkan dukungan penuh dan diarahkan oleh orang tua.

Dukungan orang tua memang Chi kasih garis merah. Sebagai orang tua, tentu pengen anaknya berprestasi. Tapi bicara prestasi tentu sebuah perjalanan panjang. Ada atau tanpa prestasi setidaknya si anak sudah menemukan passionnya. Ya daripada nanti beraktivitas yang gak jelas. Apalagi zaman sekarang, banyak godaannya. Makanya Chi harus memantapkan hati untuk mendukung dulu.


Ketika Mulai Serius Menjadi Pembalap

"Ini seriusan Keke dibolehin jadi pembalap? Gak main-main persiapannya lho, Yah."

Menjadi seorang pembalap modalnya gak hanya bisa mengendarai motor. Butuh fisik yang prima, mental yang kuat, pengetahuan tentang otomotif, dan biaya yang tidak sedikit.

Alhamdulillah sejak masuk sekolah balap, Keke jadi semakin rajin berolahraga. Biasanya dia olahraga cuma saat Taekwondo dan ekskul bulutangkis aja. Sama pas pelajaran sekolah, ding. Kalau sekarang, tiap hari dia lari atau sepedaan dengan jarak yang lumayan jauh.

Pola makan Keke sejak dulu termasuk teratur dan gak picky eater. Sekarang makin teratur lagi. Konsumsi berasnya sudah diganti jadi beras merah. Semakin peduli dengan healthy food. Kelihatan banget tekadnya kuat untuk menjadi pembalap.

Mental juga udah pasti harus disiapkan. Keke pernah beberapa kali jatuh saat latihan. Kalau dari ceritanya kelihatan nyalinya sempat agak ciut. Gimana enggak, balap motor kan termasuk olahraga keras. Kalau di sirkuit, motor kelihatan cepat banget trus tau-tau jatuh. Untung pelatihnya bisa memotivasi supaya berani lagi.


43 racing school

Chi pun setiap kali lihat Keke latihan, rasanya deg-degan. Chi belum pernah lihat dia jatuh. Tapi mendengar ceritanya kalau dia abis jatuh aja udah bikin deg-degan. Bahkan temannya sampai ada yang terpelanting. Makanya  harus benar-benar aman segala perlengkapannya.

Pembalap sebaiknya jangan hanya tau mengendarai motor tapi juga belajar mesin meskipun ada mekanik yang menangani. Di 43 Racing School memang ada beberapa mekanik andal. Tapi pada saat balapan kan pembalap harus punya feel terhadap motor yang dikendarainya.

Untuk biaya, selama latihan 2 minggu itu kami mengeluarkan dana hampir 30 juta. Rinciannya untuk biaya sekolah dan segala perlengkapan balap. Gak termasuk bolak-balik nyamperin Keke kemudian pulangnya nge-mall ya hehehe. Apalagi biaya beli motor. Sampai sekarang Keke belum punya motor pribadi makanya belum ikut balapan. *Insya Allah di postingan berikutnya Chi akan menulis tentang 43 Racing School, sekolah balap motor yang dimiliki oleh M. Fadli, seorang pembalap motor nasional.


latihan balap motor di 43 racing school
Foto milik 43 Racing School


Hal positif lain yang Chi rasakan adalah sifat Keke yang mulai bikin tenang. Sejak masuk masa puber, emosinya suka bikin Chi deg-degan. Tau lah ya gimana anak-anak yang sedang puber. Sepertinya ada aja yang bikin Chi sakit kepala dengan beberapa pemberontakannya. Tapi sejak masuk sekolah balap, Chi melihat Keke lebih tenang. Ngeyelnya jauh berkurang dan semakin ceria.

[Silakan baca: Jumpalitan dan Tips Menghadapi Anak Puber]

Berimbas juga ke pelajaran sekolahnya. Dia jadi lebih rajin belajar tanpa Chi harus suruh-suruh. Sekarang mau berangkat sekolah aja pakai cium pipi bundanya dulu. Sesuatu yang udah agak lama Chi kangenin karena sejak SMP, Keke agak sering kelihatan murung setiap kali berangkat sekolah. Baru mulai ceria lagi saat pulang atau lagi libur.

Kalau ingat lagi tentang seminar parenting yang tentang potensi diri anak, Chi jadi mikir apa ini karena Keke merasa senang akhirnya potensinya dilihat dan didukung penuh oleh orang tuanya, ya? Semoga aja begitu. Pokoknya akhir-akhir Chi lagi sering bersyukur dengan perubahan sifat Keke. Alhamdulillah.


menggali minat dan bakat anak
Foto milik 43 Racing School