Dari salah satu halaman di novel Sabtu Bersama Bapak
Nilai rapor tetap bagus walaupun tidak belajar saat UAS, mungkinkah? Mungkin aja karena itu yang dilakukan Keke dan Nai sejak
2 tahun terakhir ini. Mereka nyaris gak pernah belajar saat UTS dan UAS.
Alhamdulillah, nilai-nilai di rapor mereka masih sangat baik. Hasil UAS
mereka yang lalu masih bertaburan nilai 100 untuk berbagai mata
pelajaran. Di rapor masih bertaburan angka 9, juga untuk berbagai mata
pelajaran *pamer dikit, ah :p*
Tapi memang penting banget, ya, nilai-nilai bagus di rapor? Bukankah lebih penting attitude. Nilai rapor vs attitude seperti sebuah bahasan yang selalu meramaikan dunia maya di setiap musim penerimaan rapor. Chi tidak mendewakan nilai rapor. Tapi kalau ditanya mana yang lebih penting antara nilai rapor dan attitude, Chi sepakat dengan jawaban yang ada di novel Sabtu Bersama Bapak. Chi pernah juga menulis tentang hal ini di postingan yang berjudul Buat Apa Sekolah? Di postingan yang lama itu juga ada pendapat ibu Susi Pudjiastuti yang Chi dapat dari berbagai portal berita. Beliau seorang yang cuma tamat SMP, tapi justru mementingkan sekolah bagi anak-anaknya. Ada penjelasannya di postingan tersebut.
Ketika saatnya masuk UTS/UAS, Chi suka ikut bikin status tentang musim ujian ini. Sebetulnya buat seru-seruan aja. Karena melihat beberapa ibu yang kelihatan ribet ketika anaknya sedang UTS/UAS hihihi. Kenyataannya, saat UTS/UAS, kami masih cukup santai, kok :)
Jangan Abaikan Ulangan Harian
Seorang teman pernah bercerita kalau ada seorang ibu di sekolah yang
protes ketika anak ibu tersebut rankingnya kalah dengan anak teman Chi
ini. Menurut ibu tersebut, nilai UAS anaknya nyaris sempurna untuk semua
mata pelajaran. Sedangkan anak teman Chi nilai UASnya masih dibawah nilai
anak ibu itu. Tapi kenapa di rapor, justru ranking anak ibu itu kalah?
Wali kelas lalu menjelaskan kalau nilai raport itu, kan, penggabungan dari nilai latihan, ulangan harian, UTS, dan UAS. Memang benar kalau nilai UTS dan UAS memiliki bobot terbesar dibandingkan nilai lainnya. Tapi tetap aja hasil akhirnya adalah penggabungan seluruh nilai.
Anak teman Chi untuk nilai ulangan hariannya selalu bagus. Berbeda dengan dengan anak ibu itu yang nilai ulangan hariannya turun-naik. Akhirnya, walaupun nilai UAS anak teman Chi itu biasa saja, tetap saja rankingnya bagus karena terbantu oleh nilai ulangan harian dan juga latihan.
Bersyukur teman Chi bercerita tentang ini, jadi Chi mulai memperhatikan cara perhitungan nilai. Iya, kadang Chi suka luput sama hal seperti ini hehehe. Dan, setelah diperhatiin, memang benar apa yang teman Chi bilang. Walaupun bobot UTS/UAS lebih besar, tapi karena nilai di rapor adalah menggabungkan berbagai nilai maka jangan diabaikan.
"Keke dan Nai, sih, memang udah pinter. Jadi, gak perlu belajar juga nilainya tetap bagus. Coba kalau Tina *bukan nama sebenarnya*, harus dibantu sama bimbingan belajar," ujar salah seorang yang Chi kenal sangat dekat.
Chi awalnya tersenyum. Alhamdulillah kalau memang Keke dan Nai dianggap anak pintar. Kemudian Chi menjelaskan kalau mereka juga berusaha. Apa yang mereka dapat hari ini, gak semata-mata turun dari langit.
Mengenai bimbingan belajar, menurut Chi gak jadi jaminan sukses. Dulu, saat Chi SMA pernah ikut bimbel. Tetap aja NEMnya hancur apalagi pelajaran matematika hahaha. Gak lolos juga di smeua PTN yang dipilih. Saat ini juga ada teman yang anaknya gonta-ganti bimbel tapi nilai pelajarannya belum memuaskan. Apakah itu artinya bimbel bukan solusi yang baik? Belum tentu juga. Chi gak anti bimbel, kok. Kalaupun Keke dan Nai saat ini tidak ikut bimbel karena merasa belum perlu. Buat Chi, lebih utama memahami tipe belajar anak terlebih dahulu.
Keke yang tipe belajarnya auditori mungkin lebih diuntungkan dalam kegiatan belajar di sekolah daripada Nai yang tipe belajarnya visual. Cukup dengan mendengarkan apa yang diajarkan guru, Keke sudah bisa cepat menangkap. Kekurangannya adalah kalau gurunya tidak paham dengan tipe belajar ini disangkanya Keke gak perhatiin. Karena kadang pandangannya kemana-mana seperti fokus ke arah lain. Atau bahkan suka mengganggu temannya. Padahal sebetulnya kupingnya sedang mendengarkan apa yang diajarkan guru di kelas. Dan Keke senang dengan guru yang gaya belajarnya suka bercerita.
Nai yang tipe belajar visual memang sedikit agak ribet. Karena hampir semuanya harus digambarkan dan dibayangkan olehnya. Makanya, Chi gak kaget ketika Nai sempat keteteran mengejar pelajaran matematika. Karena semua harus dia bayangkan. Salah seorang gurunya juga pernah mengatakan kalau untuk pelajar IPS dan PKn, Nai sedikit lambat menangkap bila dibandingkan Keke saat kelas 4. Chi, sih, gak tersinggung dibandingkan seperti itu. Karena setelah berdiskusi, ternyata gurunya kurang banyak menjelaskan dengan cara menggambar.
Berdiskusi dengan guru memang penting. Supaya saling mengerti. Syukur-syukur kalau guru juga mau menyesuaikan dengan tipe belajar anak murid. Eits! Tapi jangan juga memaksa, lho. Karena Chi merasakan sendiri mempunya 2 anak dengan tipe belajar yang berbeda itu berarti mikirnya juga harus double. Kalau dalam 1 kelas setidaknya ada 20 murid dengan tipe belajar masing-masing. Kebayang, kan, bagaimana ribetnya? :D Itulah kenapa Chi juga belum merasa butuh bimbel untuk Keke dan Nai. Masih bisa berkomunikasi dan bekerja sama baik dengan para pengajar di sekolah.
Bunda: "Mau belajar lagi di rumah, gak?"
Keke/Nai: "Enggak"
Bunda: "Kalau begitu, kalian harus belajar yang benar di sekolah. Waktunya belajar harus belajar. Jangan main-main. Kalau ada yang gak ngerti langsung tanya. Kalau masih belum ngerti juga, baru tanya Bunda."
Ya, walopun sesekali Chi masih dapat laporan kebanyakan ngobrol di sekolah, terutama buat Keke, tapi mereka memang benar-benar membuktikan kalau di sekolah itu belajar. Darimana Chi tau kalau mereka memang belajar? Tentu dari laporan guru salah satunya. Yang berikutnya adalah dari nilai.
Tentang nilai, Chi selalu bilang kalau mereka sudah mengerti pelajarannya maka nilai yang didapat seharusnya bagus. Kalau nilainya ternyata gak bagus, berarti harus dicari penyebabnya. Kalau penyebabnya karena belum mengerti maka cari tau dimana bagian gak mengertinya. Atau jangan-jangan mereka berbohong. Bilangnya mengerti padahal sebetulnya cuma untuk menghindari disuruh belajar. Pada akhirnya akan kelihatan juga dari nilai.
Karena Chi udah sering menemani mereka belajar, sebetulnya akan ketahuan kok dari bahasa tubuh mereka. Bagusnya lagi, Keke dan Nai terbiasa dengan berkomunikasi terbuka dengan orang tuanya. Kalau ada yang gak ngerti, seringkali mereka duluan yang ngomong sebelum ditanya.
Oke, Chi memang kadang masih ada sikap kurang sabarnya. Tapi Chi juga merasakan perbedaan antara mengajarkan anak dengan marah-marah dan santai. Beneran bikin cape hati, deh. Mending kalau abis ngomel trus hasilnya nilai anak-anak bagus. Etapi gak mending juga, ding. Chi suka mikirdi pojokan, kalau diomelin itu gak enak. Kalau dibalikin
ke diri sendiri, mana nyaman belajar sambil diomelin. Melakukan apapun
kalau sambil dimarahin walaupun memang salah itu gak enak kalau abis
diomelin.
Tapi, Chi tetap melakukan teguran kalau mereka gak mau juga belajar. Padahal aat itu Chi tau mereka harus belajar. Taunya harus belajar itu dari evaluasi nilai pelajaran. Di lihat aja mana yang paling lemah. Itupun untuk satu mata pelajaran aja belum tentu semua materi mereka lemah. Pokoknya tentukan prioritas mana yang harus lebih belajar lagi.
Beberapa kali Chi menyuruh mereka untuk belajar, tapi tetep aja merenya nyantai. Eeerrgghh! Gregetan banget rasanya. Padahal Chi tau ada materi yang harus mereka pelajara lagi. Ya, Chi memang sempat mengomel kalau keadaannya kayak gitu. Tapi kemudian Chi tegaskan kalau semuanya kembali ke mereka.
Kalau Keke atau Nai lagi susah disuruh belajar dengan segala alasannya, Chi cukup bilang, "Terserah. Bunda lihat hasilnya aja dan sudah tau konsekuensinya, kan?" Biasanya kalau mereka gak mau belajar karena lagi malas, suka langsung bangkit kalau Chi udah ngomong kayak gitu. Tapi kalau mereka menolak belajar karena yakin sudah bisa, mereka akan bilang, "Tenang aja, Bundaaa .." :D
Ya, Chi kasih mereka kepercayaan untuk menentukan mau belajar atau tidak. (Sekali lagi) Chi mulai cape untuk bersikap tegang saat waktunya ujian. Etapi gak tegang-tegang amat, sih. 3 tahun lalu Chi pernah bikin postingan yang berjudul "UAS? (Gak) Deg-Degan Tuuuhhh ..." Di postingan itu Chi kasih tip supaya gak terlalu deg-degan menghadapi UAS (dan UTS). Memang terbukti bikin Chi gak (terlalu) deg-degan. Tapi emang gak ada puasnya, Chi masih pengen mengurangi rasa deg-degan saat UTS/UAS. Karena rasa deg-degan akan berimbas ke mulut yang gak berhenti ngomel hehehe.
Ya, udah 2 tahun ini Chi lebih santai ketika anak-anak sedang pekan ulangan, UTS, dan UAS. Itu artinya Keke dimulai sejak kelas 5, sedangkan Nai sejak kelas 3. Memasuki kelas 5, Chi anggap Keke sudah bisa diajak untuk mandiri dalam hal belajar. Tadinya, Nai belum Chi ikutkan. Tapi dia terpengaruh kakaknya dan ternyata dia juga udah sanggup mandiri.
Caranya dengan melakukan poin-poin yang Chi tulis di atas. Banyak aja poinnya, ya? Atau ribet? Hmmm ... yang jelas menurut Chi segala sesuatu memang butuh proses. Kalau sekarang Chi dan anak-anak bisa bersantai-santai padahal lagi musim ujian itu karena sudah melewati beberapa proses.
Dulu Chi juga selalu mewajibkan mereka untuk belajar. Terlepas dari apakah mereka sudah mengerti atau belum. Itu karena Chi masih mempelajari tipe belajar mereka. Lagipula dulu mereka kan masih anak-anak banget. Masih harus diingatkan untuk disiplin. Masih harus belajar banyak tentang yang namanya tanggung jawab.
Kalau sekarang mereka sudah mulai bisa diajak bertanggung jawab. Kalau ternyata nilai mereka kurang memuaskan karena kurang belajar, mereka sudah tau dan bisa menerima konsekuensinya. Pengurangan jam bermain adalah konsekuensi yang harus mereka terima.
Sampai saat ini konsekuensi pengurangan jam main masih efektif. Siapa juga, sih, yang pengen dikurangi jam bermainnya? Apalagi buat anak-anak bermain adalah dunia mereka. Jadi daripada harus terima konsekuensi pengurangan jam bermain, mendingan mereka belajar dengan benar ketika waktunya belajar. Kalau masih gak ngerti, mereka akan aktif bertanya. Dan, sampai saat ini alhamdulillah berhasil :)
Sebetulnya Chi belajar dari pengalaman juga, sih. Dulu selalu belajar dengan cara SKS (Sistem Kebut Semalam). Gak ada yang marahin karena orang tua, kan, dua-duanya kerja. Tapi puyeng sendiri karena baru heboh belajar menjelang ujian. Kalau di rapor gak masuk 10 besar, baru kena omelan hehehe. Chi gak mau anak-anak seperti itu, apalagi materi pelajaran makin lama makin berat dibanding zaman Chi sekolah. Tapi kalau dengan cara dicicil ternyata mereka bisa tetap berprestasi, tuh. Malah sambil santai belajarnya. Dan dengan santai begini, mereka tetap bisa tidur cepat. Pagi-pagi bangun dengan pikiran dan tubuh segar, deh :)
Justru kalau udah santai begini yang harus Chi lawan adalah ego dari diri sendiri. Kadang kalau melihat hasil ulangan anak gak 100, Chi suka berkata, "Coba belajar, ya. Mungkin nilainya bisa lebih bagus." Padahal itu nilainya udah 9 koma sekian. Emang manusia, ya. Gak ada rasa puasnya hehehe. Berkali-kali Chi harus mengigatkan diri sendiri untuk tidak mementingkan ego. Selalu bersyukur dnegan pencapaian anak selama mereka masih berusaha. Untungnya anak-anak juga suka mengingatkan bundanya :)
Yuk! Kita santai! *Sekarang, saat UTS/UAS deg-degannya adalah periksa alat tulis. Jangan sampe ada yang hilang* :D
Wali kelas lalu menjelaskan kalau nilai raport itu, kan, penggabungan dari nilai latihan, ulangan harian, UTS, dan UAS. Memang benar kalau nilai UTS dan UAS memiliki bobot terbesar dibandingkan nilai lainnya. Tapi tetap aja hasil akhirnya adalah penggabungan seluruh nilai.
Anak teman Chi untuk nilai ulangan hariannya selalu bagus. Berbeda dengan dengan anak ibu itu yang nilai ulangan hariannya turun-naik. Akhirnya, walaupun nilai UAS anak teman Chi itu biasa saja, tetap saja rankingnya bagus karena terbantu oleh nilai ulangan harian dan juga latihan.
Bersyukur teman Chi bercerita tentang ini, jadi Chi mulai memperhatikan cara perhitungan nilai. Iya, kadang Chi suka luput sama hal seperti ini hehehe. Dan, setelah diperhatiin, memang benar apa yang teman Chi bilang. Walaupun bobot UTS/UAS lebih besar, tapi karena nilai di rapor adalah menggabungkan berbagai nilai maka jangan diabaikan.
Penting untuk Paham Tipe Belajar Anak
"Keke dan Nai, sih, memang udah pinter. Jadi, gak perlu belajar juga nilainya tetap bagus. Coba kalau Tina *bukan nama sebenarnya*, harus dibantu sama bimbingan belajar," ujar salah seorang yang Chi kenal sangat dekat.
Chi awalnya tersenyum. Alhamdulillah kalau memang Keke dan Nai dianggap anak pintar. Kemudian Chi menjelaskan kalau mereka juga berusaha. Apa yang mereka dapat hari ini, gak semata-mata turun dari langit.
Mengenai bimbingan belajar, menurut Chi gak jadi jaminan sukses. Dulu, saat Chi SMA pernah ikut bimbel. Tetap aja NEMnya hancur apalagi pelajaran matematika hahaha. Gak lolos juga di smeua PTN yang dipilih. Saat ini juga ada teman yang anaknya gonta-ganti bimbel tapi nilai pelajarannya belum memuaskan. Apakah itu artinya bimbel bukan solusi yang baik? Belum tentu juga. Chi gak anti bimbel, kok. Kalaupun Keke dan Nai saat ini tidak ikut bimbel karena merasa belum perlu. Buat Chi, lebih utama memahami tipe belajar anak terlebih dahulu.
Keke yang tipe belajarnya auditori mungkin lebih diuntungkan dalam kegiatan belajar di sekolah daripada Nai yang tipe belajarnya visual. Cukup dengan mendengarkan apa yang diajarkan guru, Keke sudah bisa cepat menangkap. Kekurangannya adalah kalau gurunya tidak paham dengan tipe belajar ini disangkanya Keke gak perhatiin. Karena kadang pandangannya kemana-mana seperti fokus ke arah lain. Atau bahkan suka mengganggu temannya. Padahal sebetulnya kupingnya sedang mendengarkan apa yang diajarkan guru di kelas. Dan Keke senang dengan guru yang gaya belajarnya suka bercerita.
Nai yang tipe belajar visual memang sedikit agak ribet. Karena hampir semuanya harus digambarkan dan dibayangkan olehnya. Makanya, Chi gak kaget ketika Nai sempat keteteran mengejar pelajaran matematika. Karena semua harus dia bayangkan. Salah seorang gurunya juga pernah mengatakan kalau untuk pelajar IPS dan PKn, Nai sedikit lambat menangkap bila dibandingkan Keke saat kelas 4. Chi, sih, gak tersinggung dibandingkan seperti itu. Karena setelah berdiskusi, ternyata gurunya kurang banyak menjelaskan dengan cara menggambar.
Berdiskusi dengan guru memang penting. Supaya saling mengerti. Syukur-syukur kalau guru juga mau menyesuaikan dengan tipe belajar anak murid. Eits! Tapi jangan juga memaksa, lho. Karena Chi merasakan sendiri mempunya 2 anak dengan tipe belajar yang berbeda itu berarti mikirnya juga harus double. Kalau dalam 1 kelas setidaknya ada 20 murid dengan tipe belajar masing-masing. Kebayang, kan, bagaimana ribetnya? :D Itulah kenapa Chi juga belum merasa butuh bimbel untuk Keke dan Nai. Masih bisa berkomunikasi dan bekerja sama baik dengan para pengajar di sekolah.
Belajar yang Benar di Sekolah kalau di Rumah Mau Santai
Bunda: "Mau belajar lagi di rumah, gak?"
Keke/Nai: "Enggak"
Bunda: "Kalau begitu, kalian harus belajar yang benar di sekolah. Waktunya belajar harus belajar. Jangan main-main. Kalau ada yang gak ngerti langsung tanya. Kalau masih belum ngerti juga, baru tanya Bunda."
Ya, walopun sesekali Chi masih dapat laporan kebanyakan ngobrol di sekolah, terutama buat Keke, tapi mereka memang benar-benar membuktikan kalau di sekolah itu belajar. Darimana Chi tau kalau mereka memang belajar? Tentu dari laporan guru salah satunya. Yang berikutnya adalah dari nilai.
Tentang nilai, Chi selalu bilang kalau mereka sudah mengerti pelajarannya maka nilai yang didapat seharusnya bagus. Kalau nilainya ternyata gak bagus, berarti harus dicari penyebabnya. Kalau penyebabnya karena belum mengerti maka cari tau dimana bagian gak mengertinya. Atau jangan-jangan mereka berbohong. Bilangnya mengerti padahal sebetulnya cuma untuk menghindari disuruh belajar. Pada akhirnya akan kelihatan juga dari nilai.
Karena Chi udah sering menemani mereka belajar, sebetulnya akan ketahuan kok dari bahasa tubuh mereka. Bagusnya lagi, Keke dan Nai terbiasa dengan berkomunikasi terbuka dengan orang tuanya. Kalau ada yang gak ngerti, seringkali mereka duluan yang ngomong sebelum ditanya.
Belajar dengan Santai Lebih Mudah Menyerap
Oke, Chi memang kadang masih ada sikap kurang sabarnya. Tapi Chi juga merasakan perbedaan antara mengajarkan anak dengan marah-marah dan santai. Beneran bikin cape hati, deh. Mending kalau abis ngomel trus hasilnya nilai anak-anak bagus. Etapi gak mending juga, ding. Chi suka mikir
Tapi, Chi tetap melakukan teguran kalau mereka gak mau juga belajar. Padahal aat itu Chi tau mereka harus belajar. Taunya harus belajar itu dari evaluasi nilai pelajaran. Di lihat aja mana yang paling lemah. Itupun untuk satu mata pelajaran aja belum tentu semua materi mereka lemah. Pokoknya tentukan prioritas mana yang harus lebih belajar lagi.
Beri Kepercayaan dan Belajar Bertanggung Jawab
Beberapa kali Chi menyuruh mereka untuk belajar, tapi tetep aja merenya nyantai. Eeerrgghh! Gregetan banget rasanya. Padahal Chi tau ada materi yang harus mereka pelajara lagi. Ya, Chi memang sempat mengomel kalau keadaannya kayak gitu. Tapi kemudian Chi tegaskan kalau semuanya kembali ke mereka.
Kalau Keke atau Nai lagi susah disuruh belajar dengan segala alasannya, Chi cukup bilang, "Terserah. Bunda lihat hasilnya aja dan sudah tau konsekuensinya, kan?" Biasanya kalau mereka gak mau belajar karena lagi malas, suka langsung bangkit kalau Chi udah ngomong kayak gitu. Tapi kalau mereka menolak belajar karena yakin sudah bisa, mereka akan bilang, "Tenang aja, Bundaaa .." :D
Ya, Chi kasih mereka kepercayaan untuk menentukan mau belajar atau tidak. (Sekali lagi) Chi mulai cape untuk bersikap tegang saat waktunya ujian. Etapi gak tegang-tegang amat, sih. 3 tahun lalu Chi pernah bikin postingan yang berjudul "UAS? (Gak) Deg-Degan Tuuuhhh ..." Di postingan itu Chi kasih tip supaya gak terlalu deg-degan menghadapi UAS (dan UTS). Memang terbukti bikin Chi gak (terlalu) deg-degan. Tapi emang gak ada puasnya, Chi masih pengen mengurangi rasa deg-degan saat UTS/UAS. Karena rasa deg-degan akan berimbas ke mulut yang gak berhenti ngomel hehehe.
Ya, udah 2 tahun ini Chi lebih santai ketika anak-anak sedang pekan ulangan, UTS, dan UAS. Itu artinya Keke dimulai sejak kelas 5, sedangkan Nai sejak kelas 3. Memasuki kelas 5, Chi anggap Keke sudah bisa diajak untuk mandiri dalam hal belajar. Tadinya, Nai belum Chi ikutkan. Tapi dia terpengaruh kakaknya dan ternyata dia juga udah sanggup mandiri.
Caranya dengan melakukan poin-poin yang Chi tulis di atas. Banyak aja poinnya, ya? Atau ribet? Hmmm ... yang jelas menurut Chi segala sesuatu memang butuh proses. Kalau sekarang Chi dan anak-anak bisa bersantai-santai padahal lagi musim ujian itu karena sudah melewati beberapa proses.
Dulu Chi juga selalu mewajibkan mereka untuk belajar. Terlepas dari apakah mereka sudah mengerti atau belum. Itu karena Chi masih mempelajari tipe belajar mereka. Lagipula dulu mereka kan masih anak-anak banget. Masih harus diingatkan untuk disiplin. Masih harus belajar banyak tentang yang namanya tanggung jawab.
Kalau sekarang mereka sudah mulai bisa diajak bertanggung jawab. Kalau ternyata nilai mereka kurang memuaskan karena kurang belajar, mereka sudah tau dan bisa menerima konsekuensinya. Pengurangan jam bermain adalah konsekuensi yang harus mereka terima.
Sampai saat ini konsekuensi pengurangan jam main masih efektif. Siapa juga, sih, yang pengen dikurangi jam bermainnya? Apalagi buat anak-anak bermain adalah dunia mereka. Jadi daripada harus terima konsekuensi pengurangan jam bermain, mendingan mereka belajar dengan benar ketika waktunya belajar. Kalau masih gak ngerti, mereka akan aktif bertanya. Dan, sampai saat ini alhamdulillah berhasil :)
Sebetulnya Chi belajar dari pengalaman juga, sih. Dulu selalu belajar dengan cara SKS (Sistem Kebut Semalam). Gak ada yang marahin karena orang tua, kan, dua-duanya kerja. Tapi puyeng sendiri karena baru heboh belajar menjelang ujian. Kalau di rapor gak masuk 10 besar, baru kena omelan hehehe. Chi gak mau anak-anak seperti itu, apalagi materi pelajaran makin lama makin berat dibanding zaman Chi sekolah. Tapi kalau dengan cara dicicil ternyata mereka bisa tetap berprestasi, tuh. Malah sambil santai belajarnya. Dan dengan santai begini, mereka tetap bisa tidur cepat. Pagi-pagi bangun dengan pikiran dan tubuh segar, deh :)
Justru kalau udah santai begini yang harus Chi lawan adalah ego dari diri sendiri. Kadang kalau melihat hasil ulangan anak gak 100, Chi suka berkata, "Coba belajar, ya. Mungkin nilainya bisa lebih bagus." Padahal itu nilainya udah 9 koma sekian. Emang manusia, ya. Gak ada rasa puasnya hehehe. Berkali-kali Chi harus mengigatkan diri sendiri untuk tidak mementingkan ego. Selalu bersyukur dnegan pencapaian anak selama mereka masih berusaha. Untungnya anak-anak juga suka mengingatkan bundanya :)
Yuk! Kita santai! *Sekarang, saat UTS/UAS deg-degannya adalah periksa alat tulis. Jangan sampe ada yang hilang* :D
13 comments
Hihiii, udah keduluan mba Myra nih, tapi beda angle sih nulisnya.
ReplyDeleteAnak2 juga nggak belajar tekun pas UAS, malah si bungsu bikin animasi. Alhamdulillah ,nilainya masih bagus. Bhs Perancisnya malah 87, bhs Indonesia malah kalah 2 poin ^_^
Alhamdulillah kalau pada bagus, ya :)
DeleteAnakku bukan termasuk anak "SKS". Malah jika besoknya UTS, kasian anak2 kl harus belajar keras di mlm harinya. Malam sebelum UTS esok harinya seharusnya jd malam refreshing biar besok hepi ngerjain soal2nya.
ReplyDeletesepakat! ^_^
DeleteSepakat, Mbak! Anakku yang udah SD juga nggak aku ajak belajar kalau mau ujian. Udah aku tulis juga di postinganku, alhamdulillah dia apat nilai rata-rata yang outstanding dari sekolahnya. Aku juga gak mau ngajarin anak untuk "tertekan" di masa-masa ujian. Biarin aja dia relaks dan tenang seakan2 pas sekolah kayak menjalani hari2 biasa. :))
ReplyDeletekasian juga dipikir-pikir kalau anak sampai tertekan, ya
DeleteDulu pas sekolah, aku belajarnya nyicil, karena diawasi orangtua. Ndilalaaaa, pas ngekost, malah bablas belajar pas mau ujian aja, mbak. Kerasa kok bedanya. enakan yang belajarnya dicicil :D
ReplyDeleteiya, bener. Saya juga belajar dari pengalaman :)
Deletesalut mak, justru kalo santai anak cepat nyerap pelajaran di sekolah/rumah ya karena ga ada tekanan dr ortu
ReplyDeletesama lah, kita juga kalau snatai malah nayaman, kan
DeleteEmang klo belajarnya nyicil lebih enak ya mak pas mo UAS tgl di review dikit2 aja biar fresh lg
ReplyDeleteiya, dicicil lebih nyantai :D
DeleteWaah makasih tipsnya Chi, anak2ku masih perlu ditemani belajarnya, masih kelas 1 & 2 SD.
ReplyDeleteTerima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^