Gak ada foto = hoax
Entah udah keberapa kali Chi baca kalimat itu di dunia maya (blog atau media sosial). Kebanyakan, sih, cuma becandaan. Tapi apa iya kalau gak ada foto itu sama dengan hoax?
Jadi orang tua itu memang gak ada sekolahnya, makanya keberadaan beragam komunitas, fanpage, dan banyak info tentang parenting di dunia maya buat Chi itu seperti ilmu gratisan yang bermanfaat buat panduan. Walopun gak semua saran plek ketiplek diikuti, tapi setidaknya bisa buat bahan pertimbangan, lah. Dan biasanya Chi cuma jadi silent reader.
Ada salah satu fanpage tentang parenting yang Chi ikuti. Dikelola oleh salah satu pakar parenting yang kelihatannya sedang tenar saat ini. Bahkan Chi sempat berencana datang ke seminarnya. Isi status di fanpagenya banyak juga tentang sikap kontra terhadap sistem kurikulum pendidikan di Indonesia, termasuk sering menyalahkan pemerintah. Pendidikan di Indonesia di anggap membuat pendidikan moral para siswa menjadi rendah
Oiya, Chi gak usah sebut siapa nama pakar parenting ini, ya. Karena kalau disebutin, nanti komen-komen yang datang lebih melebar. Nanti malah bahas personal tokoh tersebut :)
Untuk sistem pendidikan di Indonesia, Chi termasuk yang setuju dengan pendapatnya. Kurikulum pendidikan di Indonesia memang masih banyak yang harus diperbaiki. Tapi, kalau kurikulum di Indonesia selalu disalahkan seolah-olah hanya satu-satunya penyebab rendahnya moral para pelajar, Chi gak setuju.
Banyak faktor yang menyebabkan moral para pelajar rendah. Mulai dari orang tua, sekolah, hingga lingkungan. Semua punya kewajiban dan tanggung jawab dalam hal ini. Lagipula seburuk-buruknya sistem pendidikan kita, Chi rasa masih banyak anak Indonesia yang berprestasi dan tetap terjaga moralnya. Walopun tentu aja fakta kalau ada siswa yang moralnya jelek gak bisa diabaikan.
Untuk urusan tanggung jawab malah menurut Chi, orang tualah yang harus bertanggung jawab lebih dahulu meskipun di depan kita anak-anak terlihat baik-baik kelakuannya. Simpel aja, Allah menitipkan amanahnya kepada orang tua, bukan kepada sekolah, pemerintah, atau pihak lain. Jadi kalau sampai terjadi sesuatu, orang tua yang harus bertanggung jawab lebih dahulu.
Ceritanya beberapa minggu lalu, Chi baca salah satu status dari fanpage parenting. Statusnya kembali tentang sikap kontra terhadap kurikulum pendidikan dan dikaitkan dengan rendahnya moral. Sayangnya saat itu statusnya dibarengi dengan upload foto yang kurang pantas menurut Chi.
Foto tersebut memperlihatkan beberapa anak SMP (3 laki-laki, 1 perempuan). 1 anak laki-laki merangkul dari belakang anak perempuan itu sambil (maaf) memegang kedua buah dada anak perempuan itu. Sementara anak laki-laki lainnya, posisinya duduk sambil salah satunya memegang paha anak perempuan itu yang mana roknya sangat mini.
Chi yang biasanya selalu jadi silent reader, kali ini merasa gregetan untuk menjawab. Chi komen, merasa prihatin melihat kejadian tersebut. Tapi, Chi juga menyarankan kalau mau pakai foto sebaiknya wajah anak-anak itu diblur dulu. Karena biar gimana mereka masih anak-anak yang berhak punya masa depan. Kasian kalau wajahnya sampe gak diblur. Lagipula semua harus introspeksi, gak cuma sekolah ataupun pemerintah.
Walaupun belum punya anak usia SMP, tapi paling gak semua orang tua pasti ngalamin usia SMP. Dan diusia tersebut, pikiran kita masih labil, gampang ikut-ikutan, serba pengen tau. Ditambah lagi arus informasi zaman sekarang yang seperti tanpa sensor akan membuat anak ikut-ikutan tanpa mikir akibatnya. Bisa jadi mereka melakukan itu karena keluguan dan ketidaktahuan mereka akan akibatnya. Makanya semuanya harus sama-sama bertanggung jawab.
Semua orang tua pasti gak akan mau anaknya mengalami hal tersebut, termasuk Chi.Tapi kalau sampe kejadian, mereka tetap anak-anak yang punya kesempatan memperbaiki kesalahannya dan tetap berhak mendapatkan masa depan yang baik. Menampilkan foto tidak pantas secara terang-terangan tidak akan menyelesaikan masalah. Bagaimana kalau anak-anak tersebut dibully? Kemudian mereka stress, depresi, bahkan bunuh diri. Siapa yang akan bertanggung jawab kalau sampai kejadian begitu. Menurut Chi, kita semua yang membully ikut bertanggung jawab karena secara tidak langsung tidak memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki diri.
Coba aja cari infonya di Google, deh, Udah ada beberapa kejadian, anak-anak usia SMP (bahkan paling gak ada satu kasus seperti ini yang terkenal) yang karena keluguannya melakukan tindakan "bodoh" seperti foto anak-anak SMP itu. Ketika kemudian menjadi heboh di dunia maya, maka terjadilah cyberbullying. Gak tahan dibully tanpa henti, akhirnya memilih jalan pintas yaitu bunuh diri.
Dan kejadian-kejadian yang Chi dapet di google itu, terjadinya di luar negeri. Termasuk di negara yang oleh pakar parenting itu negara yang kurikulumnya bagus karena mementingkan karakter. Kenyataannya kejadian seperti di manapun ada, apapun sistem pendidikannya karena (sekali lagi) hal seperti ini memang jadi tanggung jawab bersama.
Sebagai orang tua pastinya gak berharap anak-anak kita akan seperti itu. Pasti akan merasa sangat marah bahkan sangat kecewa. Tapi, apa lantas membenarkan kita semua untuk melakukan cyberbullying atas kelakuan mereka?
Sebagai orang tua, menurut Chi, juga gak bisa kepedean. Merasa udah membekali anak dengan sejuta kebaikan dan keturunan baik-baik jadi yakin banget gak akan terjadi apa-apa. Terlalu pede malah bikin kita jadi gak waspada. Anak harus terus diingetin sambil kita berdo'a supaya anak-anak gak melanggar kepercayaan yang kita beri (kita kan gak mungkin 24 jam terus-menerus nempel sama anak)
Lalu ada juga salah satu saran bagus kenapa sebaiknya tidak perlu pakai foto. Khawatir akan ada anak lain yang melihat, kemudian mencontoh. Dan akibatnya akan ada korban berikutnya. Hiii...
Seorang pakar parenting mestinya lebih mengerti sama hal ini. Yang harus dia pikirkan gak hanya tentang anak-anak yang masih 'bersih' tapi anak-anak yang terlanjur berbuat salah juga harus dipikirkan. Makanya Chi menyayangkan ketika pakar tersebut mengupload foto yang kurang pantas. Menyelesaikan masalah harus tanpa masalah *pinjem kata-kata pegadaian :) Kalau kayak gini, terkesan (buat Chi) dia hanya pintar bicara teori. Kenyataannya gak semua nasib anak diperhatikan,
Yang terjadi akhirnya adalah pro-kontra yang cukup panjang di status tersebut. Banyak juga yang keberatan dengan apa yang dilakukan oleh pakar tersebut, terutama berkaitan dengan foto. Malah ada yang minta kalau bisa fotonya dihilangkan aja. Lucunya untuk mereka yang pro ada yang menuduh kami sedang melakukan pengalihan isu. Hadeeeuuuuhhh politik kali, ah!
Setelah pro-kontra yang panjang, akhirnya pakar tersebut membuat komentar. Tapi, asli Chi gak ngerti! Biasanya pakar tersebut statusnya to the poin, kali ini dia nulis panjaaaaaaaaang banget! Tapi muter-muter, gak jelas kemana. Awalnya Chi pikir Chi yang lemot nangkep maksudnya. Tapi ternyata banyak juga yang gak ngerti, katanya muter-muter gak jelas. Hmmm... berarti bukan karena Chi yang lemot.
Setelah dibaca berkali-kali, Chi menangkap kesan kalau pakar ini menyalahkan kami yang kontra dengannya. Katanya kami emosi (padahal kenyataannya justru banyak yang kasih tau baik-baik. lho). Dan menurutnya orang yang emosi ketika menanggapi sesuatu sebenernya lagi bermasalah sama diri sendiri alias bukan statusnya dia yang salah tulis.
Apaaaaa???!!!! Menurut Chi aneh banget pendapatnya. Dan yang terjadi akhirnya perdebatan baru tentang pendapatnya yang udah panjang banget tapi gak nyambung sama masalah yang sebenarnya malah cenderung muter-muter yang akhirnya malah menyalahkan. *tepok jidat
Chi sempet kecewa, bahkan marah saat itu, Tapi ya, sudahlah. Dari awal, Chi memang gak pernah mengidolakan satupun pakar parenting. Cukup dibaca-baca aja pendapatnya. Setuju, diikutin. Gak setuju, ya udah. Buat bahan perbandingan aja. Satu lagi pelajaran bagus yang bisa Chi ambil adalah belajar komunikasi yang baik supaya pesan tercapai dengan baik.
Saat Chi nulis postingan ini, ada salah satu contoh cara menyampaikan pesan yang baik menurut Chi. Status milik Om Nh, blogger yang juga trainer. Salah satu status Om NH adalah begini
Entah udah keberapa kali Chi baca kalimat itu di dunia maya (blog atau media sosial). Kebanyakan, sih, cuma becandaan. Tapi apa iya kalau gak ada foto itu sama dengan hoax?
Jadi orang tua itu memang gak ada sekolahnya, makanya keberadaan beragam komunitas, fanpage, dan banyak info tentang parenting di dunia maya buat Chi itu seperti ilmu gratisan yang bermanfaat buat panduan. Walopun gak semua saran plek ketiplek diikuti, tapi setidaknya bisa buat bahan pertimbangan, lah. Dan biasanya Chi cuma jadi silent reader.
Ada salah satu fanpage tentang parenting yang Chi ikuti. Dikelola oleh salah satu pakar parenting yang kelihatannya sedang tenar saat ini. Bahkan Chi sempat berencana datang ke seminarnya. Isi status di fanpagenya banyak juga tentang sikap kontra terhadap sistem kurikulum pendidikan di Indonesia, termasuk sering menyalahkan pemerintah. Pendidikan di Indonesia di anggap membuat pendidikan moral para siswa menjadi rendah
Oiya, Chi gak usah sebut siapa nama pakar parenting ini, ya. Karena kalau disebutin, nanti komen-komen yang datang lebih melebar. Nanti malah bahas personal tokoh tersebut :)
Untuk sistem pendidikan di Indonesia, Chi termasuk yang setuju dengan pendapatnya. Kurikulum pendidikan di Indonesia memang masih banyak yang harus diperbaiki. Tapi, kalau kurikulum di Indonesia selalu disalahkan seolah-olah hanya satu-satunya penyebab rendahnya moral para pelajar, Chi gak setuju.
Banyak faktor yang menyebabkan moral para pelajar rendah. Mulai dari orang tua, sekolah, hingga lingkungan. Semua punya kewajiban dan tanggung jawab dalam hal ini. Lagipula seburuk-buruknya sistem pendidikan kita, Chi rasa masih banyak anak Indonesia yang berprestasi dan tetap terjaga moralnya. Walopun tentu aja fakta kalau ada siswa yang moralnya jelek gak bisa diabaikan.
Untuk urusan tanggung jawab malah menurut Chi, orang tualah yang harus bertanggung jawab lebih dahulu meskipun di depan kita anak-anak terlihat baik-baik kelakuannya. Simpel aja, Allah menitipkan amanahnya kepada orang tua, bukan kepada sekolah, pemerintah, atau pihak lain. Jadi kalau sampai terjadi sesuatu, orang tua yang harus bertanggung jawab lebih dahulu.
Ceritanya beberapa minggu lalu, Chi baca salah satu status dari fanpage parenting. Statusnya kembali tentang sikap kontra terhadap kurikulum pendidikan dan dikaitkan dengan rendahnya moral. Sayangnya saat itu statusnya dibarengi dengan upload foto yang kurang pantas menurut Chi.
Foto tersebut memperlihatkan beberapa anak SMP (3 laki-laki, 1 perempuan). 1 anak laki-laki merangkul dari belakang anak perempuan itu sambil (maaf) memegang kedua buah dada anak perempuan itu. Sementara anak laki-laki lainnya, posisinya duduk sambil salah satunya memegang paha anak perempuan itu yang mana roknya sangat mini.
Chi yang biasanya selalu jadi silent reader, kali ini merasa gregetan untuk menjawab. Chi komen, merasa prihatin melihat kejadian tersebut. Tapi, Chi juga menyarankan kalau mau pakai foto sebaiknya wajah anak-anak itu diblur dulu. Karena biar gimana mereka masih anak-anak yang berhak punya masa depan. Kasian kalau wajahnya sampe gak diblur. Lagipula semua harus introspeksi, gak cuma sekolah ataupun pemerintah.
Walaupun belum punya anak usia SMP, tapi paling gak semua orang tua pasti ngalamin usia SMP. Dan diusia tersebut, pikiran kita masih labil, gampang ikut-ikutan, serba pengen tau. Ditambah lagi arus informasi zaman sekarang yang seperti tanpa sensor akan membuat anak ikut-ikutan tanpa mikir akibatnya. Bisa jadi mereka melakukan itu karena keluguan dan ketidaktahuan mereka akan akibatnya. Makanya semuanya harus sama-sama bertanggung jawab.
Semua orang tua pasti gak akan mau anaknya mengalami hal tersebut, termasuk Chi.Tapi kalau sampe kejadian, mereka tetap anak-anak yang punya kesempatan memperbaiki kesalahannya dan tetap berhak mendapatkan masa depan yang baik. Menampilkan foto tidak pantas secara terang-terangan tidak akan menyelesaikan masalah. Bagaimana kalau anak-anak tersebut dibully? Kemudian mereka stress, depresi, bahkan bunuh diri. Siapa yang akan bertanggung jawab kalau sampai kejadian begitu. Menurut Chi, kita semua yang membully ikut bertanggung jawab karena secara tidak langsung tidak memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki diri.
Coba aja cari infonya di Google, deh, Udah ada beberapa kejadian, anak-anak usia SMP (bahkan paling gak ada satu kasus seperti ini yang terkenal) yang karena keluguannya melakukan tindakan "bodoh" seperti foto anak-anak SMP itu. Ketika kemudian menjadi heboh di dunia maya, maka terjadilah cyberbullying. Gak tahan dibully tanpa henti, akhirnya memilih jalan pintas yaitu bunuh diri.
Dan kejadian-kejadian yang Chi dapet di google itu, terjadinya di luar negeri. Termasuk di negara yang oleh pakar parenting itu negara yang kurikulumnya bagus karena mementingkan karakter. Kenyataannya kejadian seperti di manapun ada, apapun sistem pendidikannya karena (sekali lagi) hal seperti ini memang jadi tanggung jawab bersama.
Sebagai orang tua pastinya gak berharap anak-anak kita akan seperti itu. Pasti akan merasa sangat marah bahkan sangat kecewa. Tapi, apa lantas membenarkan kita semua untuk melakukan cyberbullying atas kelakuan mereka?
Sebagai orang tua, menurut Chi, juga gak bisa kepedean. Merasa udah membekali anak dengan sejuta kebaikan dan keturunan baik-baik jadi yakin banget gak akan terjadi apa-apa. Terlalu pede malah bikin kita jadi gak waspada. Anak harus terus diingetin sambil kita berdo'a supaya anak-anak gak melanggar kepercayaan yang kita beri (kita kan gak mungkin 24 jam terus-menerus nempel sama anak)
Lalu ada juga salah satu saran bagus kenapa sebaiknya tidak perlu pakai foto. Khawatir akan ada anak lain yang melihat, kemudian mencontoh. Dan akibatnya akan ada korban berikutnya. Hiii...
Seorang pakar parenting mestinya lebih mengerti sama hal ini. Yang harus dia pikirkan gak hanya tentang anak-anak yang masih 'bersih' tapi anak-anak yang terlanjur berbuat salah juga harus dipikirkan. Makanya Chi menyayangkan ketika pakar tersebut mengupload foto yang kurang pantas. Menyelesaikan masalah harus tanpa masalah *pinjem kata-kata pegadaian :) Kalau kayak gini, terkesan (buat Chi) dia hanya pintar bicara teori. Kenyataannya gak semua nasib anak diperhatikan,
Yang terjadi akhirnya adalah pro-kontra yang cukup panjang di status tersebut. Banyak juga yang keberatan dengan apa yang dilakukan oleh pakar tersebut, terutama berkaitan dengan foto. Malah ada yang minta kalau bisa fotonya dihilangkan aja. Lucunya untuk mereka yang pro ada yang menuduh kami sedang melakukan pengalihan isu. Hadeeeuuuuhhh politik kali, ah!
Setelah pro-kontra yang panjang, akhirnya pakar tersebut membuat komentar. Tapi, asli Chi gak ngerti! Biasanya pakar tersebut statusnya to the poin, kali ini dia nulis panjaaaaaaaaang banget! Tapi muter-muter, gak jelas kemana. Awalnya Chi pikir Chi yang lemot nangkep maksudnya. Tapi ternyata banyak juga yang gak ngerti, katanya muter-muter gak jelas. Hmmm... berarti bukan karena Chi yang lemot.
Setelah dibaca berkali-kali, Chi menangkap kesan kalau pakar ini menyalahkan kami yang kontra dengannya. Katanya kami emosi (padahal kenyataannya justru banyak yang kasih tau baik-baik. lho). Dan menurutnya orang yang emosi ketika menanggapi sesuatu sebenernya lagi bermasalah sama diri sendiri alias bukan statusnya dia yang salah tulis.
Apaaaaa???!!!! Menurut Chi aneh banget pendapatnya. Dan yang terjadi akhirnya perdebatan baru tentang pendapatnya yang udah panjang banget tapi gak nyambung sama masalah yang sebenarnya malah cenderung muter-muter yang akhirnya malah menyalahkan. *tepok jidat
Chi sempet kecewa, bahkan marah saat itu, Tapi ya, sudahlah. Dari awal, Chi memang gak pernah mengidolakan satupun pakar parenting. Cukup dibaca-baca aja pendapatnya. Setuju, diikutin. Gak setuju, ya udah. Buat bahan perbandingan aja. Satu lagi pelajaran bagus yang bisa Chi ambil adalah belajar komunikasi yang baik supaya pesan tercapai dengan baik.
Saat Chi nulis postingan ini, ada salah satu contoh cara menyampaikan pesan yang baik menurut Chi. Status milik Om Nh, blogger yang juga trainer. Salah satu status Om NH adalah begini
Gemetar
saya mendengar berita kasus video anak SMP ... direkam rame-rame
... masyaAllah ... padahal masuk SMP negeri itu susah. Nilainya mesti
bagus. Ini anak-anak pintar seharusnya .... tapi ... aaahhh sayang
sekali... Semoga ini kejadian terakhir ...
Sebelum Om NH menulis status tersebut Chi udah tau kasus yang dimaksud. Langsung merasa ngeri dan prihatin. Kalaupun Chi belum tau, kalimat "video anak SMP" udah berhasil menyampaikan pesan dengan baik. Pesan yang tanpa foto ataupun link videonya pun udah bisa kita ngerti maksudnya. Pesan yang menunjukkan rasa ngeri, prihatin, dan juga (secara gak langsung) mengajak kita untuk introspeksi dan tidak ikut andil merusak masa depan anak-anak tersebut.
Chi gak perlu mencari-cari tau seperti apa, sih, videonya? Buat apa? Buat tau wajah anak-anak tersebut? Trus kalau udah tau, emangnya kenapa? Atau sekedar pengen tau se'hot' apa yang mereka lakukan? Gak perlu tau, lah, kalau buat Chi. Kata-kata "video anak SMP", sudah menunjukkan kalau perbuatan seperti itu memang belum pantas dilakukan anak-anak.Lebih bahaya lagi, kalau akhirnya foto atau video yang gak pantas itu terlihat oleh anak-anak kita. Hiii
Chi gak perlu mencari-cari tau seperti apa, sih, videonya? Buat apa? Buat tau wajah anak-anak tersebut? Trus kalau udah tau, emangnya kenapa? Atau sekedar pengen tau se'hot' apa yang mereka lakukan? Gak perlu tau, lah, kalau buat Chi. Kata-kata "video anak SMP", sudah menunjukkan kalau perbuatan seperti itu memang belum pantas dilakukan anak-anak.Lebih bahaya lagi, kalau akhirnya foto atau video yang gak pantas itu terlihat oleh anak-anak kita. Hiii
Terbukti, kan, tanpa foto itu gak selalu berarti hoax. Ada kalanya pesan bisa tersampaikan dengan baik kalau tanpa foto ataupun link video yang gak pantas. Malah tanpa foto atau video, komen-komennya lebih jelas, Gak pro-kontra kesana-kemari, gak jelas. Karena kadang foto atau video itu sebetulnya cuma buat memenuhi rasa ingin tau kita aja.
Oke, deh, semoga jangan sampai kejadian sama anak-anak. Semoga anak-anak kita tetap terjaga moralnya sampai kapanpun. Aamiin
30 comments
Hmmm andai saja yang dalam anak dalam foto itu anak atau keponakan pakar itu sendiri.. kira-kira masih mau enggak ya si pakar memuatnya?
ReplyDeleteyups.. meski mikir ke depan soal masa depan mbak.. Semua bisa diperbaiki kok, jangan sampai si korban merasa dunia runtuh gara-gara fotonya di sana-sini lalu nekat bunuh diri
itu dia yg saya maksud, Uncle. Himbauan utk berhati2 supaya kita saling introspeksi boleh2 aja. Tp jgn sampe menjatuhkan. Kasian. Mereka masih anak-anak yang butuh banyak bimbingan
DeleteHrsnya anak2 yg terjerumus itu dirangkul, ksh nasihat bkn dibully bgni kesian amat..
ReplyDeleteHhhhhh.. Jd ngeri aku bayangin nti jaman Nadia SMP kya Gmn :(
iya, justru jgn bikin masalah mrk semakin bertambah
Deletehaddueh,baca ini jadi inget murid SMP ku dulu....foto pake baju seragam komplit aja dikeluarin gara2 foto sok2 mesum dan di sebakan di FB aplge yg bikin video...heummm,ngeri juga ya mbk....
ReplyDeleteiya, lebih baik hati2
Deletejadi penasaran...
ReplyDeletepenasaran apanya?
DeleteKebetulan kita menulis hal yang kurang lebih sama ya mbak Myra.
ReplyDeleteMari kita lebih menjaga diri dan menjaga keluarga kita. Bahkan seorang pakar pun, tidak bisa menjaga dirinya di depan umum. Keimanan, itu kuncinya.
semoga kita selalu bs menjaga anak2 kita, ya, Mbak
DeleteNgeri ya, Mak lihat kelakuan anak muda sekarang. Duh... harus bener2 deh ngurus anak. Nauzubillah dengan kasus2 itu. :(
ReplyDeletejgn sp itu terjadi sm anak kita :)
Deleteaku juga nggak pernah ingin tahu bagaimana video itu, meskipun di media ada yang bully sih..
ReplyDeletehmm prihatin
buat apa dilihat ya :)
DeleteIndonesia Raya memang belum siap dengan kemajuan teknologi
ReplyDeleteJangankan anak-anak. Orang tua saja banyak yang mendadak alay gara gara pesbuk. Blogger yang semestinya lebih maju pola pikirnya pun sebagian masih ada yang belum menyiapkan mental untuk dunia gambar dan tulisan ini.
Pengawasan ketat tak lagi efektif. Anak sekarang semakin dilarang semakin penasaran. Mungkin kita harus merubah mindset saat menjaga anak-anak dari metode isolasi menjadi imunisasi. Agar anak bisa secara mandiri mampu menyaring informasi...
sy rasa gak cm di Indonesia aja kok. Buktinya kejadian yg bunuh diri gara2 di bully tu kejadiannya bukan di Indonesia
Deletesetuju mak, seperti video porno remaja itu...sudahlah gak perlu disebar2kan lagi toh. Jgn2 karena BC video2 itu malah anak2 kita yg lain akan melihat kejadian gak senonoh itu. Syukur mereka bisa mengambil pelajaran tentang contoh buruk, gmn kalau penasaran dan ingin coba2 :(:(
ReplyDeletekl disebarluaskan takutnya malah ada yg menyalahgunakan
Deleteau dikirimi vidoenya tapi males bukanya myr. harusnya video itu jangan malah ikut2an di sebarluaskan ya. oh ya masalah pendidikan itu seharusnya bukan hanya tangung jawab sekolah atau pemerintah ya, harus di dukung jug a oleh orang tua, lingkungan dan lainnya
ReplyDeletejustru org tua hrs jd gerbang utama ya Lid :)
Deletebun, aku juga ikutan fan pagenya dan bener aku juga kaget pas liat ada foto itu, semoga next time bisa lebih baik lagi milih foto
ReplyDeleteyup, semoga
DeleteMasa' gak ada poto dibilang hoax? Kalo berita beginian mah gak usah dipotoin, entar reader kalo kelewat kepo juga nyari sendiri! Tapi Chi bener bgt, gak usahlah nyari informasi lebih detil ttg ini. Cukup ngerti aja dan tentunya pengawasan ekstra buat org2 di sekitar kita. :-)
ReplyDeleteyup, kadang terlalu detil malah bs menyesatkan :)
DeleteSetuju pendapat Chi, tpi si Pakar pinter sekali alias pinter memancing emosi orang, terbukti dgn pro kontra pendapat meski akhirnya ilmu parentingnya ketahuan hanya sekedar TEORI belaka.
ReplyDeleteEmang chi teori sama praktek gampangan teori mpraktekinnya yg susah.
iya tori bgt. Sy jg jd rada mangkel
DeleteIya betul, jaman dulu ajah di Koran P*** masih ditutup matanya...
ReplyDeletebiar gimana yg bersalah jg hrs dihargai y mbak
Deletesaya juga turut prihatin mbak dengan kejadian tersebut
ReplyDeletetapi saya juga lebih prihatin lagi ketika hal itu terjadi, pastinya disana ada faktor kelalaian dari orang tua anak tersebut, baik dalam hal pendidikan agama, moral, dan juga pemberian nasihat nasihat bagi anaknya
semua memang sudah terjadi, nasi memang sudah jadi bubur, tapi bubur juga masih bisa dimanfaatkan
betul, pasti ada kelalaian. Sebaiknya kita sama2 introspeksi
DeleteTerima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^