Seharusnya Media dan Kita Semua Sensitif Gender dan Ramah Anak - Berapa banyak media yang menulis atau menayangkan berita yang ramah terhadap perempuan dan anak? Secara angka pasti, Chi tidak tahu karena belum pernah melalukan survei. Tetapi secara pandangan mata yang dilihat sehari-hari, rasanya berita yang tersebar secara viral lebih banyak yang memojokkan perempuan atau anak. Begitu juga dengan berbagai tayangan, mulai dari sinetron hingga iklan.
Teman-teman, pernah lihat iklan salah satu brand pompa air? Dimana perempuan dalam iklan yang menjadi tokoh utama bertubuh montok dan berpakaian minim. Gak hanya itu, seluruh dialog di iklan itu pun 'rada-rada'. Ah, gak usah dijelaskan secara gamblang kayaknya udah pada mengerti. Pastinya, Chi gagal paham hubungan antara produk sama iklannya. Iklan mungkin bisa aja terlihat gak nyambung sama produk. Tapi, seharusnya bisa dong gak melecehkan perempuan?
Sebagai perbandingan, coba lihatlah iklan produksi Thailand. Seringkali, bahkan Chi pun melakukan share iklan asal negara gajah putih ini yang mengharu biru. Rasanya mengena banget di hati. Kabarnya industri kreatif Thailand maju karena negaranya sangat mendukung penuh.
Terlepas dari ada atau tidak ada dukungan pemerintah, sebetulnya di Indonesia juga banyak iklan keren. Artinya, kreativitas juga ditunjukkan di sini. Kalau yang lain bisa bikin iklan bagus, kenapa juga harus bikin iklan yang enggak banget?
-----------------------
Mari kita mundur sekitar 3 tahun yang lalu ...
Chi pernah menulis postingan yang berjudul "Mereka Berhak Punya Masa Depan." Singkat cerita, isi postingan itu tentang ketidaksetujuan Chi terhadap seseorang yang dianggap ahli tentang apa yang dilakukannya. Mengupload foto sekumpulan anak SMP dengan pose yang tidak pantas.
Ya, Chi paham dengan keresahannya. Semua orang tua pastinya resah bila itu terjadi pada anak sendiri. Chi pun merasa demikian. Tapi haruskah mengupload fotonya tanpa diblur terlebih dahulu? Hingga wajahnya sangat jelas terlihat bahkan nama sekolahnya pun ketahuan. Bagaimana kalau yang melakukan hal itu adalah anak kita sendiri?
Mereka adalah anak-anak yang masih berhak punya masa depan, lho. Terlepas dari apapun kesalahan mereka. Lagian kalau salah sebaiknya dirangkul. Penyebaran foto secara viral tanpa diblur sama sekali akan meningkatkan resiko cyber bullying. Silakan cari sendiri efek cyber bullying yang akhirnya menimbulkan bunuh diri sebagai salah satu resikonya.
Sampai Chi berpikir bahkan bilang ke anak-anak kalau di sedang berada di luar rumah sebaiknya bersikap sempurna. Padahal mana ada manusia yang sempurna? Masalahnya, zaman sekarang kamera di mana-mana. Saat ini, berapa banyak yang masih punya hape tanpa fitur kamera? Dengan adanya fitur kamera, semakin mudahnya orang jeprat-jepret. Kita melakukan kesalahan sedikit aja, trus apes kena jepret berpotensi viral, deh!
Dan, kalau udah kena cyber bullying, seringkali seperti hukuman seumur hidup. Sering kita melihat kasus lama dihangatkan kembali. Padahal bisa aja pelakunya sudah lama tobat. Nah, yang begini yang akhirnya bisa memicu depresi bahkan bunuh diri. Karena seperti dianggap memiliki kesalahan yang tak terampuni. Benar-benar harus tangguh dan dikeliling oleh orang-orang yang sangat menyayangi serta mendukung kalau sudah begini.
Chi pernah menulis postingan yang berjudul "Mereka Berhak Punya Masa Depan." Singkat cerita, isi postingan itu tentang ketidaksetujuan Chi terhadap seseorang yang dianggap ahli tentang apa yang dilakukannya. Mengupload foto sekumpulan anak SMP dengan pose yang tidak pantas.
Ya, Chi paham dengan keresahannya. Semua orang tua pastinya resah bila itu terjadi pada anak sendiri. Chi pun merasa demikian. Tapi haruskah mengupload fotonya tanpa diblur terlebih dahulu? Hingga wajahnya sangat jelas terlihat bahkan nama sekolahnya pun ketahuan. Bagaimana kalau yang melakukan hal itu adalah anak kita sendiri?
Mereka adalah anak-anak yang masih berhak punya masa depan, lho. Terlepas dari apapun kesalahan mereka. Lagian kalau salah sebaiknya dirangkul. Penyebaran foto secara viral tanpa diblur sama sekali akan meningkatkan resiko cyber bullying. Silakan cari sendiri efek cyber bullying yang akhirnya menimbulkan bunuh diri sebagai salah satu resikonya.
Sampai Chi berpikir bahkan bilang ke anak-anak kalau di sedang berada di luar rumah sebaiknya bersikap sempurna. Padahal mana ada manusia yang sempurna? Masalahnya, zaman sekarang kamera di mana-mana. Saat ini, berapa banyak yang masih punya hape tanpa fitur kamera? Dengan adanya fitur kamera, semakin mudahnya orang jeprat-jepret. Kita melakukan kesalahan sedikit aja, trus apes kena jepret berpotensi viral, deh!
Dan, kalau udah kena cyber bullying, seringkali seperti hukuman seumur hidup. Sering kita melihat kasus lama dihangatkan kembali. Padahal bisa aja pelakunya sudah lama tobat. Nah, yang begini yang akhirnya bisa memicu depresi bahkan bunuh diri. Karena seperti dianggap memiliki kesalahan yang tak terampuni. Benar-benar harus tangguh dan dikeliling oleh orang-orang yang sangat menyayangi serta mendukung kalau sudah begini.
-----------------------
Sekarang kita mundur ke tahun 2014. Chi pernah membuat status seperti
di screenshot itu.
AQJ ... Sepertinya banyak orang sudah tau siapa yang dimaksud dengan
AQJ, ya. Wajahnya pun tau karena terlihat sangat jelas disetiap
pemberitaan. Tapi Chi tetap memilih menginisialkan namanya dan tidak
memperlihatkan wajahnya.
Chi gak bela kesalahannya, kok. Sama juga dengan anak SMP yang
berbuat asusila tersebut. Gak sedikitpun membenarkan apalagi membela
tingkah laku mereka. Tapi, bagi Chi mereka tetap berhak punya masa
depan lebih baik. Terlepas dari apakah mereka akan menggunakan haknya
atau tidak karena itu kembali kepada pola asuh. Tapi yang jelas, Chi
juga gak punya hak untuk merampas.
Mungkin kita sulit berempati terhadap pelaku sekalipun masih usia
remaja. Lalu bagaimana kalau si anak berada di posisi korban? Chi
beneran gak habis pikir ketika di berbagai social media bahkan yang
sifatnya lebih privat sekalipun seperti di grup WA dengan mudahnya
seseorang menyebarkan wajah korban. "Ini lho wajah anak korban di
sekolahnya."
Lha, trus kenapa? Apakah ada untungnya kalau bisa melihat wajahnya?
Maaf, buat Chi menyebarkan wajah selain gak etis juga hanya untuk
memenuhi hasrat kekepoan aja.
Tanpa perlu tau seperti apa wajah si anak pun seharusnya kita
sama-sama berharap dan berdoa supaya masa depannya kembali cerah.
Semoga anak tersebut mendapatkan penanganan yang tepat. Cobalah
memposisikan seperti mereka. Rasanya gak akan rela lahir dan batin
kalau sampai wajah (anak) kita sebagai korban terpampang jelas.
--------------------------
Kalau ini baru-baru saja terjadi. Tentang anak SMA di Sumatera yang
marah-marah ketika kena razia polisi. Sekali lagi, Chi gak membela
kelakukan yang seperti itu, kok. Tapi haruskah wajahnya diperlihatkan
dengan jelas? Di share ribuan netizen, ditayangkan berulang-ulang di
berbagai media. Apakah yang share dengan cemoohan paham betul kenapa
anak perempuan itu begitu ngamuk saat dirazia polisi?
Kembali ke postingan Chi yang 3 tahun lalu itu. Sebelum membuat
postingan, Chi sudah menyampaikan pendapat langsung di status yang
bersangkutan. Status yang menuai banyak pro-kontra. Salah satu komen
yang pro dengan status tersebut kira-kira berbunyi begini, "Gak perlu
ditutupin wajahnya. Biarin aja nyebar. Biar orang tuanya tau kelakuan
anaknya."
Ya, orang tua memang seharusnya tau kelakuan anaknya. Tapi memangnya
harus tau dengan cara disebar begitu, ya? Siapa tau sebelum foto
tersebar, orang tua anak-anak tersebut sudah tau lebih dulu dan
melakukan tindakan. Nah, kalau gitu kayak apa perasaan orang tua
mereka, ya?
Balik lagi ke kasus anak SMA ini. Apa yang terjadi pada ayah anak ini
setelah berita tentang anaknya sangat viral dan terus disiarkan di
media tanpa henti? Jantungnya tidak kuat, kemudian ayahnya wafat.
Apakah solusi seperti ini yang kita semua inginkan? Yuk, ah renungkan
lagi.
Jumat 18 Maret 2016 di hotel Orion Jakarta, Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak mengundang para awak media untuk urun
rembug dalam penyusunan panduan pelatihan bagi media yang responsif
terhadap isu perempuan dan anak. Berbagai awak media offine dan online
turut hadir, termasuk dari kalangan blogger. Saat pertemuan tersebut,
draft panduan baru selesai sekitar 80%. Itu lah kenapa menurut ibu
Aida Milasari selaku Konsultan di KPPPA, mengundang para awak media
untuk ikut memberi masukan.
Apabila draft sudah jadi, rencananya akan diadakan pelatihan bagi para awak media. Memberikan keterampilan teknis kepada para awak media untuk menganalisis berbagai fakta, isu dan data agar menjadikan media yang sensitif gender dan ramah anak. Hak asasi perempuan dan anak, hingga bagaimana kode etik reportase akan dibahas pada saat pelatihan.
Dalam acara diskusi tersebut, Chi sependapat bahwa yang seharusnya bertanggung jawab bukan hanya media. Setuju banget bila mulai saat ini kita semua harus mulai buang sejauh mungkin prinsip "Bad News is Good News." Hal ini juga berlaku untuk para blogger. Mulailah membiasakan membuat tulisan yang positif. Tidak menyinggung/menyakiti berbagai aspek.
Program sebagus apapun yang dibuat oleh KPPPA tidak akan maksimal bila tidak didukung berbagai pihak. Media harus mulai berprinsip "Good News is Good News." Tidak hanya media, pihak lain pun harus ikut berperan. Contohnya seperti pembuatan iklan. Kreatif tidak harus melecehkan.
Termasuk juga para netizen. Coba berpikir sekali lagi, sudah seberapa sering kita mudah termakan oleh berita media? Misalnya, baru juga membaca judul langsung main share. Seberapa mudah jari-jari ini share pemberitaan tanpa dipertimbangkan lebih dahulu?
Chi memang sudah lelah dengan segala berita negatif atau yang tidak berimbang terutama yang berkaitan dengan perempuan dan anak. Seharusnya media dan kita semua sensitif gender dan ramah anak. Tidak perlu menunggu program KPPPA ini, kita semua bisa memulai dari diri sendiri. Mulai dari sekarang ... Yuk!
Apabila draft sudah jadi, rencananya akan diadakan pelatihan bagi para awak media. Memberikan keterampilan teknis kepada para awak media untuk menganalisis berbagai fakta, isu dan data agar menjadikan media yang sensitif gender dan ramah anak. Hak asasi perempuan dan anak, hingga bagaimana kode etik reportase akan dibahas pada saat pelatihan.
Dalam acara diskusi tersebut, Chi sependapat bahwa yang seharusnya bertanggung jawab bukan hanya media. Setuju banget bila mulai saat ini kita semua harus mulai buang sejauh mungkin prinsip "Bad News is Good News." Hal ini juga berlaku untuk para blogger. Mulailah membiasakan membuat tulisan yang positif. Tidak menyinggung/menyakiti berbagai aspek.
Program sebagus apapun yang dibuat oleh KPPPA tidak akan maksimal bila tidak didukung berbagai pihak. Media harus mulai berprinsip "Good News is Good News." Tidak hanya media, pihak lain pun harus ikut berperan. Contohnya seperti pembuatan iklan. Kreatif tidak harus melecehkan.
Termasuk juga para netizen. Coba berpikir sekali lagi, sudah seberapa sering kita mudah termakan oleh berita media? Misalnya, baru juga membaca judul langsung main share. Seberapa mudah jari-jari ini share pemberitaan tanpa dipertimbangkan lebih dahulu?
Chi memang sudah lelah dengan segala berita negatif atau yang tidak berimbang terutama yang berkaitan dengan perempuan dan anak. Seharusnya media dan kita semua sensitif gender dan ramah anak. Tidak perlu menunggu program KPPPA ini, kita semua bisa memulai dari diri sendiri. Mulai dari sekarang ... Yuk!
19 Comments
makasih diingatkan mak, iya ya..capee liat berita negatif :(
ReplyDeletekalau udah begitu, biasanya saya hide. Cape
Deleteaku mengihdari nonton berita kalau aada anak-anak. Belum lama keponakan tanya artinya prostisusi & PSK krn ga sengaja dia lihat tayangan berita
ReplyDeletesaya juga nyaris gak pernah nonton berita, Lid. Pusing lihatnya
DeleteIya nih Mak Chi, apa2 asalkan bisa viral langsung pada berlomba2 share membabi buta tanpa mempertimbangkan efek2nya lebih dahulu. Duh, harus ikutan introspeksi nih diriku biar jadi netizen yg tidak asal share berita yg bermuatan negatif.
ReplyDeletesaya juga semakin belajar untuk tidak asal share
DeleteSetuju mbak Myra, kadang anak-anak melakukan sesuatu karena pengaruh lingkungan atau disuruh teman disertai ancaman. Kalau tersebar mereka pasti akan sangat malu dan depresi. Sangat mengerikan memang ya mbak, semoga kedepannya orang akan sadar harus share berita secara benar.
ReplyDeletememang kalau melihat sisi negatif pemberitaan media suka bikin parno. Ya, saya juga berharap semakin banyak yang sadar
DeleteBeneer mb... kadang lama2 males lihat TV kl informasinya cenderung negatif semuaaa...
ReplyDeletemending pindah chanel atau matiin tv ajah
DeleteIya Mbak, mulai dari diri sendiri, gak ikutan nyebar2 foto yg gk layak utk disebar di medsos
ReplyDeleteAku juga sebel, makin kesini orang bisa gampang banget ngebully.
ReplyDeleteyup! sama. Sebel lihatnya
Deletesepakat mba chi...
ReplyDeletemulai dari diri sendiri untuk lebih mawas diri kalau posting di medsos
yup! kalau bukan kita yang lebih dulu melakukan, siapa lagi
DeleteIntinya hati2 menggunakan sosmed,kenali batasan2 dalam berinternet. Jadi sebaiknya kenali dulu apa masalahnya, barulah berkomentar... Jangan asal bunyi bae kayak kutilang
ReplyDeleteSetuju banget, siapa lagi yang bertanggung jawab pada pendidikan anak-anak kita kalau bukan kita sendiri
ReplyDeletesaya jd lebih hati-hati krna banyak berita seliweran yang simpang siur ya, benar-benar dilihat dulu sebelum ikut menyebarkan. Jadi ingin memeluk anak dan melindunginya.
ReplyDeletepengennya jaid lebih potect terhadap anak, ya
DeleteTerima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^