Keke dan Nai pun bersekolah sejak dini, padahal awalnya Chi gak tertarik sama sekali, lho.
Hingga suatu hari ...
Hingga suatu hari ...
Keke
Selembar pamflet tentang pembukaan salah satu PAUD di dekat rumah. Kegiatannya seminggu tiga kali di sore hari. Bayarannya harian dan tanpa seragam. Chi yang tadinya gak tertarik untuk cepet-cepet nyekolahin anak, mulai galau.
Bukan berarti Chi udah gak sanggup dan gak punya waktu untuk ngajarin Keke. Tapi. Chi pengen coba untuk cari pengalaman aja. Biar Keke semakin banyak temannya. Sekolahnya kan cuma 3x dalam seminggu, itupun cuma 2 jam saja. Artinya, waktu terbanyak tetap bersama Chi. Lokasinya dekat sama rumah, tinggal jalan kaki. Sore juga waktunya Keke bermain di luar rumah. Jadi anggap aja, dia sedang bermain. Udah gitu bayarannya harian. Kalau gak masuk, ya gak usah bayar. Gak memberatkan sama sekali.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, Keke pun mulai sekolah dengan semangat. Tapi, cuma semangat berangkatnya aja. Begitu sampai sekolah, Keke nempel banget sama Chi. Diajak dan ditanya oleh gurunya, dia gak mau.
Keke memang begitu. Sampai sekarang pun, kalau merasakan tempat baru atau bertemu dengan orang baru, Keke lebih memilih untuk memisahkan diri dulu. Sebetulnya dia sedang merasakan dan mengamati. Kalau dirasa nyaman, maka dia akan mulai berbaur. Tapi, kalau tidak, Keke lebih baik sendiri. Makanya, kalau mau bisa akrab sama Keke harus bisa tarik ulur. Jangan dipaksa kalau dia lagi gak mau. Tapi, jangan juga dia dianggap gak ada. Untungnya guru di PAUD mengerti dan mau sabar dengan sikap Keke.
Ketika masih proses beradaptasi, Keke mulai mengalami masalah bersosialisasi. Ada seorang anak yang selalu merebut mainan anak lain, termausk mainan yang sedang dipegang Keke. Awalnya, Chi bersyukur karena Keke mendengarkan pesan bundanya untuk selalu mengalah. Ternyata Chi salah!
Ketika Keke mengalah, suasana terlihat tetap tenang karena anak tersebut dapat yang dia mau dan Keke bisa cari mainan lain. Gak ada pertengkaran. Ternyata, lama-lama Keke curhat. Dia gak suka kalau setiap mainan yang dipegang direbut melulu. Tapi, mau melawan, bundanya selalu berpesan untuk mengalah. Owwhhh ... ternyata Keke tertekan.
Setelah Chi pikir lagi, memang benar juga apa yang Keke rasakan. Selalu mengalah belum tentu baik. Lagian itu sama aja dengan membenarkan anak lain untuk selalu merebut apa yang sedang dimainkan oleh Keke. Tapi, berbicara dengan anak usia 2 tahunan memang harus hati-hati. Pola pikir mereka masih hitam dan putih. Mengalah atau melawan. Masih agak susah kalau diajari kapan harus mengalah, dan kapan harus bilang tidak.
Sempat Keke akhirnya menolak memberikan mainan yang sedang dimainkannya. Tapi jadinya Keke dan anak itu bertengkar. Memang harus pelan-pelan dan continue kasih taunya. Harus diawasi juga. Itulah kenapa di postingan Balita Sekolah Sejak Dini? Harus atau Tidak?, Chi menulis kalaupun anak bersosialisasi di sekolah tetap harus dipantau. Orang tua tetap harus tau seperti apa pertemanan anak di sekolah. Jangan cuma sekadar yang penting anak banyak temannya.
Kembali ke masalah adaptasi, baru juga Keke mulai mau berbaur dengan kegiatan kelas, gurunya resign. Jadi, aja sikap Keke mulai dari awal lagi. Menghadapi guru baru, dia kembali cuek. Sayangnya, guru yang baru ini sepertinya kurang peka. Chi udah beberapa kali ajak ngobrol tentang sikap Keke. Minta supaya gurunya sesekali mengajak Keke, tapi gak juga dilakukan. Gak cuma terhadap Keke, sih. Gurunya ini hanya berkomunikasi dengan anak-anak yang aktif saja. Anak yang pendiam seperti Keke seperti dianggap gak ada. Gak cuma Chi yang menganggap seperti itu.
Karena gurunya gak juga mau mendekati Keke, dia pun mulai mogok sekolah. Selalu ada aja alasan untuk gak sekolah. Ya, udahlah karena semakin banyak alasannya lebih baik berhenti aja. Chi coba bujukin Keke untuk sekolah di tempat lain, dia gak mau. Jadinya, Keke cuma beberapa bulan aja di PAUD. Setelah itu vakum dan masuk sekolah lagi sekitar 3 bulan sebelum TK.
Itupun karena terpaksa. Mendekati usia TK, Keke masih ogah-ogahan untuk sekolah. Beberapa sekolah sudah didatangi termausk ikutan trialnya. Sampai akhirnya Keke menemukan sekolah yang dia mau. Sayangnya udah gak terima murid TK lagi untuk tahun ajaran berikutnya. Katanya, sudah penuh kuota. Satu-satunya jalan, Keke harus masuk saat itu juga sehingga tercatat sebagai lulusan play group sekolah tersebut. Dan, kalau mau lanjut TK yang sama lebih mudah.
Keke setuju, kamipun langsung daftar. Tapi (lagi-lagi) Keke menyendiri dan gak mau ditinggal bundnaya. Berbulan-bulan, Chi menemani Keke di dalam kelas. Untungnya, sekolahnya child friendly. Gurunya membolehkan Chi untuk terus menemani Keke sampai dia merasa nyaman dan bisa dilepas. Justru kalau dipaksa ditinggal katanya kasihan anaknya secara psikologis. Alhamdulillah, dapat sekolah yang tepat.
Melihat pengalaman Keke yang sempat aggal di PAUD, Chi jadi gak tertarik sekolahin Nai ke PAUD. Tapi, karena di beberapa bulan awal, Keke gak bisa dipisah, setiap hari Chi harus nungguin Keke dari masuk hingga pulang. Nai pun juga ikutan karena gak ada yang jagain. Ketika Keke udah mulai bisa ditinggal di kelas, Chi masih harus nungguin di sekolah sampai selesai. Keke belum ngizinin bundanya pergi dari sekolah kalau dia masih belajar. Nai pun ikutan nunggu di sekolah.
Nai senang aja karena dia bisa main berbagai permainan di sekolah. Kadang-kadang, dia suka diajakin beberapa guru untuk masuk kelas. Ikut kegiatan belajarnya. Dan, dia senang banget kalau juga bisa bawa hasil karya.
Keseringan ikutan masuk kelas, Chi lama-lama gak enak juga. Kesannya kayak numpang belajar gratis hahaha. Akhirnya, mulai deh kepikiran untuk sekalian aja daftarin. Lagian kelihatannya Nai juga betah di sekolah.
Dengan membawa ransel mungil, Nai pun mulai sekolah. Masa adaptasinya lebih cepat daripada Keke. Chi pun mulai bisa ninggalin mereka. Ke sekolah cuma jemput aja, ayahnya yang antar. Tapi, beberapa bulan menjelang lulus playgroup, Nai mulai mengalami masalah. Dia mulai bikin banyak alasan untuk gak sekolah.
Masalahnya, Chi gak tau penyebabnya apa. Rasanya, gak ada masalah sama teman, guru, ataupun belajarnya. Nai pun ditanya jawabannya cuma bilang, "Gak mau ajah." Setelah konsultasi dengan salah seorang guru, kemungkinan penyebabnya Nai lagi jenuh sekolah. Berdasarkan pengalaman sebagai guru, ada beberapa anak yang mulai sekolah sejak usia dini mengalami masa jenuh sekolah. Bukan karena bermasalah sama pihak tertentu, tapi mungkin sekadar jenuh dengan rutinitas aja. Ternyata anak ekcil juga bisa, ya, jenuh dengan rutinitas hehehe.
Solusinya adalah Nai ditawarkan untuk boleh tidak pakai seragam asalkan tetap sekolah. Dan, ternyata Nai setuju, lho! Dia kembali semangat untuk sekolah. Selama beberapa bulan hingga TK, Nai ke sekolah tanpa pakai seragam. Tapi, kami terus bujuk supaya mau berseragam lagi. Lama-lama dia akhirnya mau pakai lagi seragamnya dan tetap semangat sekolah.
Jadi, gimana? Mulai berpikir untuk menyekolahkan anak sejak dini? 2 postingan Chi yang terbaru ini justru bukan untuk memihak salah satu pilihan, ya. Karena pilihan kembali ke masing-masing. Tapi, apapun pilihannya, sebaiknya pertimbangkan banyak hal. Sebab dan juga akibatnya. Nama besar sekolah belum tentu menjamin anak akan senang belajar di sana. Salah satu contoh, adik Chi yang paling kecil dulu TKnya di salah satu TK ternama. Tapi, kenyataan dia stress karena setiap hari selalu ada PR. Akhirnya, dipindahkan ke TK biasa aja yang masih banyak bermainnya. Sekarang, adik Chi ini udah lulus kuliah. Gak masalah sama pendidikannya.
Selamat memilih :)
Catatan: Pernah ada pertanyaan, usia berapa yang tepat bagi anak untuk masuk TK? Usia 4 atau 5 tahun? Menurut Chi tergantung, salah satunya pertimbangannya adalah tergantung SD mana yang nanti akan dipilih. Usia minimum penerimaan SD negeri adalah 7 tahun. Jadi, sebaiknya usia TK adalah 5 tahun. Tapi, kalau kita berencana menyekolahkan anak di swasta, usia 4 tahun juga udah bisa msuk TK. Karena biasanya untik swasta bisa menerima anak usia 5,8 tahun. Dibawah usia tersebut harus ada catatan dari psikolog yang menyatakan anak sudah siap masuk SD.
Kenapa usia SD negeri lebih tua? Salah satu faktornya adalah kemandirian. Usia 7 tahun dianggap sudah mandiri. Karena rasio jumlah murid dan guru di setiap kelas SD negeri lebih banyak daripada di sekolah swasta. Repot gurunya kalau murid-muridnya gak pada mandiri. Selain itu, di swasta biasanya wali kelasnya 2 orang untuk anak SD tingkat bawah. Jadi, kalau ada anak yang masih kurang mandiri, ada guru yang bisa menangani.
Bukan berarti Chi udah gak sanggup dan gak punya waktu untuk ngajarin Keke. Tapi. Chi pengen coba untuk cari pengalaman aja. Biar Keke semakin banyak temannya. Sekolahnya kan cuma 3x dalam seminggu, itupun cuma 2 jam saja. Artinya, waktu terbanyak tetap bersama Chi. Lokasinya dekat sama rumah, tinggal jalan kaki. Sore juga waktunya Keke bermain di luar rumah. Jadi anggap aja, dia sedang bermain. Udah gitu bayarannya harian. Kalau gak masuk, ya gak usah bayar. Gak memberatkan sama sekali.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, Keke pun mulai sekolah dengan semangat. Tapi, cuma semangat berangkatnya aja. Begitu sampai sekolah, Keke nempel banget sama Chi. Diajak dan ditanya oleh gurunya, dia gak mau.
Keke memang begitu. Sampai sekarang pun, kalau merasakan tempat baru atau bertemu dengan orang baru, Keke lebih memilih untuk memisahkan diri dulu. Sebetulnya dia sedang merasakan dan mengamati. Kalau dirasa nyaman, maka dia akan mulai berbaur. Tapi, kalau tidak, Keke lebih baik sendiri. Makanya, kalau mau bisa akrab sama Keke harus bisa tarik ulur. Jangan dipaksa kalau dia lagi gak mau. Tapi, jangan juga dia dianggap gak ada. Untungnya guru di PAUD mengerti dan mau sabar dengan sikap Keke.
Ketika masih proses beradaptasi, Keke mulai mengalami masalah bersosialisasi. Ada seorang anak yang selalu merebut mainan anak lain, termausk mainan yang sedang dipegang Keke. Awalnya, Chi bersyukur karena Keke mendengarkan pesan bundanya untuk selalu mengalah. Ternyata Chi salah!
Ketika Keke mengalah, suasana terlihat tetap tenang karena anak tersebut dapat yang dia mau dan Keke bisa cari mainan lain. Gak ada pertengkaran. Ternyata, lama-lama Keke curhat. Dia gak suka kalau setiap mainan yang dipegang direbut melulu. Tapi, mau melawan, bundanya selalu berpesan untuk mengalah. Owwhhh ... ternyata Keke tertekan.
Setelah Chi pikir lagi, memang benar juga apa yang Keke rasakan. Selalu mengalah belum tentu baik. Lagian itu sama aja dengan membenarkan anak lain untuk selalu merebut apa yang sedang dimainkan oleh Keke. Tapi, berbicara dengan anak usia 2 tahunan memang harus hati-hati. Pola pikir mereka masih hitam dan putih. Mengalah atau melawan. Masih agak susah kalau diajari kapan harus mengalah, dan kapan harus bilang tidak.
Sempat Keke akhirnya menolak memberikan mainan yang sedang dimainkannya. Tapi jadinya Keke dan anak itu bertengkar. Memang harus pelan-pelan dan continue kasih taunya. Harus diawasi juga. Itulah kenapa di postingan Balita Sekolah Sejak Dini? Harus atau Tidak?, Chi menulis kalaupun anak bersosialisasi di sekolah tetap harus dipantau. Orang tua tetap harus tau seperti apa pertemanan anak di sekolah. Jangan cuma sekadar yang penting anak banyak temannya.
Kembali ke masalah adaptasi, baru juga Keke mulai mau berbaur dengan kegiatan kelas, gurunya resign. Jadi, aja sikap Keke mulai dari awal lagi. Menghadapi guru baru, dia kembali cuek. Sayangnya, guru yang baru ini sepertinya kurang peka. Chi udah beberapa kali ajak ngobrol tentang sikap Keke. Minta supaya gurunya sesekali mengajak Keke, tapi gak juga dilakukan. Gak cuma terhadap Keke, sih. Gurunya ini hanya berkomunikasi dengan anak-anak yang aktif saja. Anak yang pendiam seperti Keke seperti dianggap gak ada. Gak cuma Chi yang menganggap seperti itu.
Karena gurunya gak juga mau mendekati Keke, dia pun mulai mogok sekolah. Selalu ada aja alasan untuk gak sekolah. Ya, udahlah karena semakin banyak alasannya lebih baik berhenti aja. Chi coba bujukin Keke untuk sekolah di tempat lain, dia gak mau. Jadinya, Keke cuma beberapa bulan aja di PAUD. Setelah itu vakum dan masuk sekolah lagi sekitar 3 bulan sebelum TK.
Itupun karena terpaksa. Mendekati usia TK, Keke masih ogah-ogahan untuk sekolah. Beberapa sekolah sudah didatangi termausk ikutan trialnya. Sampai akhirnya Keke menemukan sekolah yang dia mau. Sayangnya udah gak terima murid TK lagi untuk tahun ajaran berikutnya. Katanya, sudah penuh kuota. Satu-satunya jalan, Keke harus masuk saat itu juga sehingga tercatat sebagai lulusan play group sekolah tersebut. Dan, kalau mau lanjut TK yang sama lebih mudah.
Keke setuju, kamipun langsung daftar. Tapi (lagi-lagi) Keke menyendiri dan gak mau ditinggal bundnaya. Berbulan-bulan, Chi menemani Keke di dalam kelas. Untungnya, sekolahnya child friendly. Gurunya membolehkan Chi untuk terus menemani Keke sampai dia merasa nyaman dan bisa dilepas. Justru kalau dipaksa ditinggal katanya kasihan anaknya secara psikologis. Alhamdulillah, dapat sekolah yang tepat.
Melihat pengalaman Keke yang sempat aggal di PAUD, Chi jadi gak tertarik sekolahin Nai ke PAUD. Tapi, karena di beberapa bulan awal, Keke gak bisa dipisah, setiap hari Chi harus nungguin Keke dari masuk hingga pulang. Nai pun juga ikutan karena gak ada yang jagain. Ketika Keke udah mulai bisa ditinggal di kelas, Chi masih harus nungguin di sekolah sampai selesai. Keke belum ngizinin bundanya pergi dari sekolah kalau dia masih belajar. Nai pun ikutan nunggu di sekolah.
Nai senang aja karena dia bisa main berbagai permainan di sekolah. Kadang-kadang, dia suka diajakin beberapa guru untuk masuk kelas. Ikut kegiatan belajarnya. Dan, dia senang banget kalau juga bisa bawa hasil karya.
Keseringan ikutan masuk kelas, Chi lama-lama gak enak juga. Kesannya kayak numpang belajar gratis hahaha. Akhirnya, mulai deh kepikiran untuk sekalian aja daftarin. Lagian kelihatannya Nai juga betah di sekolah.
Dengan membawa ransel mungil, Nai pun mulai sekolah. Masa adaptasinya lebih cepat daripada Keke. Chi pun mulai bisa ninggalin mereka. Ke sekolah cuma jemput aja, ayahnya yang antar. Tapi, beberapa bulan menjelang lulus playgroup, Nai mulai mengalami masalah. Dia mulai bikin banyak alasan untuk gak sekolah.
Masalahnya, Chi gak tau penyebabnya apa. Rasanya, gak ada masalah sama teman, guru, ataupun belajarnya. Nai pun ditanya jawabannya cuma bilang, "Gak mau ajah." Setelah konsultasi dengan salah seorang guru, kemungkinan penyebabnya Nai lagi jenuh sekolah. Berdasarkan pengalaman sebagai guru, ada beberapa anak yang mulai sekolah sejak usia dini mengalami masa jenuh sekolah. Bukan karena bermasalah sama pihak tertentu, tapi mungkin sekadar jenuh dengan rutinitas aja. Ternyata anak ekcil juga bisa, ya, jenuh dengan rutinitas hehehe.
Solusinya adalah Nai ditawarkan untuk boleh tidak pakai seragam asalkan tetap sekolah. Dan, ternyata Nai setuju, lho! Dia kembali semangat untuk sekolah. Selama beberapa bulan hingga TK, Nai ke sekolah tanpa pakai seragam. Tapi, kami terus bujuk supaya mau berseragam lagi. Lama-lama dia akhirnya mau pakai lagi seragamnya dan tetap semangat sekolah.
Jadi, gimana? Mulai berpikir untuk menyekolahkan anak sejak dini? 2 postingan Chi yang terbaru ini justru bukan untuk memihak salah satu pilihan, ya. Karena pilihan kembali ke masing-masing. Tapi, apapun pilihannya, sebaiknya pertimbangkan banyak hal. Sebab dan juga akibatnya. Nama besar sekolah belum tentu menjamin anak akan senang belajar di sana. Salah satu contoh, adik Chi yang paling kecil dulu TKnya di salah satu TK ternama. Tapi, kenyataan dia stress karena setiap hari selalu ada PR. Akhirnya, dipindahkan ke TK biasa aja yang masih banyak bermainnya. Sekarang, adik Chi ini udah lulus kuliah. Gak masalah sama pendidikannya.
Selamat memilih :)
Catatan: Pernah ada pertanyaan, usia berapa yang tepat bagi anak untuk masuk TK? Usia 4 atau 5 tahun? Menurut Chi tergantung, salah satunya pertimbangannya adalah tergantung SD mana yang nanti akan dipilih. Usia minimum penerimaan SD negeri adalah 7 tahun. Jadi, sebaiknya usia TK adalah 5 tahun. Tapi, kalau kita berencana menyekolahkan anak di swasta, usia 4 tahun juga udah bisa msuk TK. Karena biasanya untik swasta bisa menerima anak usia 5,8 tahun. Dibawah usia tersebut harus ada catatan dari psikolog yang menyatakan anak sudah siap masuk SD.
Kenapa usia SD negeri lebih tua? Salah satu faktornya adalah kemandirian. Usia 7 tahun dianggap sudah mandiri. Karena rasio jumlah murid dan guru di setiap kelas SD negeri lebih banyak daripada di sekolah swasta. Repot gurunya kalau murid-muridnya gak pada mandiri. Selain itu, di swasta biasanya wali kelasnya 2 orang untuk anak SD tingkat bawah. Jadi, kalau ada anak yang masih kurang mandiri, ada guru yang bisa menangani.
6 Comments
Nadia.aku.masukin PG pas masih 2 tahun.mak lha aku kerja daripada cuma dirumah.nonton tv mending skolah lagian dulu nadia pemaluu banget jd aki ekolahin biar belajar berani
ReplyDeleteYa sekolah dini pun ada bagusnya ya, Mbak
DeleteNai dan Alde masuk PAUD 4 tahun terbilang dini juga, pada pengen cepat2 sekolah hehe...
ReplyDeletekalau anaknya juga udah mau. Sekolahin aja ya, Mbak :)
DeleteLama ga baca tulisan mak myra... kangen mak...
ReplyDeleteDulu aqila sekolah pas usia 3thn, itupun ikut2an sekolah TK karena rumah mbah dan TKnya bertetangga. Ya itu, ga memberikan dampak yang banyak selain bersosialisasi sma teman2nya. Walaupun nilai akademiknya ga jelek2 bgt. Cuma untuk fiqa sekarang, aku ga mau masukin pas 3 tahun, kok ya aku mikir aqila agak bosen sekolah ya sekarang.
nice share mak?. #hug
Mira aqila
Nai juga sempat bosan sekolah. Tapi alhamdulillah bangkit lagi :)
DeleteTerima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^