Kemarin, anak dari bibi yang pernah mengasuh Chi sejak kecil
menanyakan akun IG Keke dan Nai. Katanya kangen sama mereka. Terakhir kerja
di rumah kami ketika anak-anak masih kecil.

Chi bilang kalau Keke dan Nai punya akun medsos, tapi gak ada yang bisa dilihat. Isinya kosong, termasuk foto profil pun gak ada. 2nd akunnya pun juga sama. Gak ada isinya hehehe.
Dia terkaget-kaget dengan jawaban Chi. Kok bisa? Dia pikir semua Gen Z pasti
akrab dengan dunia digital, terutama medsos. Berasa aneh sama jawab Chi.
Faktanya memang seperti itu. Keke dan Nai akrab dengan dunia digital, tapi
hampir gak pernah bikin konten apapun. Bahkan konten yang cuma seuprit pun
di-archieve ma mereka.
Lagian akrab dengan dunia digital bukan berarti harus update medsos. Chi sering kok diskusi ma anak-anak. Cuma ya mereka termasuk yang gak pengen aja eksis di medsos hehehe.
Lagian akrab dengan dunia digital bukan berarti harus update medsos. Chi sering kok diskusi ma anak-anak. Cuma ya mereka termasuk yang gak pengen aja eksis di medsos hehehe.
Penting memahami dunia digital Gen Z. Orang tua perlu belajar tentang platform yang mereka gunakan, seperti TikTok dan Discord, bukan sekadar melarang. Dengan menghormati ruang digital mereka, orang tua bisa membangun komunikasi yang kuat dan menjadi mentor yang suportif, serta membimbing mereka secara aman dan bertanggung jawab.
Budaya Digital Adalah Bagian Identitas Gen Z, Bukan Sekadar Tren
Ikutin gak berita tentang kejadian di Nepal?
Disclaimer dulu, nih, Chi tidak akan pernah mendukung tindakan anarkis
di mana pun. Yang mau dibahas di sini adalah tentang Gen Z Nepal yang
melakukan komunikasi melalui Discord. Bahkan memilih PM baru juga melalui
platform ini.
Chi mungkin udah pusing duluan denger kata discord. Apa itu? Waktu tren LINE
aja Chi minta diajarin sama Keke dan Nai hehehe.
Sederhananya, ketika Chi mulai mengenal medsos tuh berharap bisa kontak dengan
teman-teman lama. Sebetulnya udah kontak melalui YahooGroups. Tapi, Chi
menolak bikin akun Friendstrer meskipun berkali-kali dibujuk. Ketika mulai
tertarik, ternyata udah pada pindah ke 'mainan baru' yaitu FB. Ya udah
langsung aja ke Facebook bukan Friendster.
Kemudian nambah punya akun di Instagram, LINE (tapi, sekarang udah enggak), X
(dulu Twitter), hingga TikTok. Yang tadinya cuma untuk ngobrol dengan teman
lama, berkembang menjadi berkomunitas hingga kerjaan.
Tapi, rupanya Gen Z lebih cepat lagi berkembangnya terhadap dunia digital.
Mereka bikin berbagai proyek kolaborasi, produk digital, dan lain sebagainya.
Ada aja perkembangannya yang rasanya sangat cepat.
Bagi Gen Z, dunia digital lebih dari sekadar platform hiburan atau komunikasi. Dunia digital adalah fondasi dari identitas, hubungan, dan cara mereka melihat dunia. Orang tua perlu menyadari bahwa Gen Z tidak hanya 'hidup' di dunia digital, mereka justru 'membangun' hidupnya di dalamnya. Misalnya, persahabatan yang terjalin melalui game online atau kolaborasi proyek di Discord sama nyatanya dengan interaksi tatap muka. Menghormati budaya ini berarti menerima bahwa cara anak berinteraksi, belajar, dan bersosialisasi mungkin berbeda dari cara orang tua tumbuh, dan itu bukan hal yang buruk.
Mengubah Pola Pikir Orang Tua dari Pengawasan Menjadi Kemitraan
Sejak dulu, Chi dan K'Aie memang tidak pernah melarang anak untuk akrab dengan
dunia digital. Karena generasi mereka sendiri memang sudah dikelilingi yang
serba digital sejak lahir. Nimbang badan aja setiap bulan ketika mau
diimunisai udah pakai timbangan digital yakaaan hehehe.
Kami berdua menyadari dunia digital akan terus berkembang. Bahkan mungkin
berlari. Rasanya gak akan cukup kalau sekadar menerapkan aturan yang wajib
dipatuhi oleh anak-anak. Lama-lama bisa keteteran dan ngos-ngosan.
Aturan tentu tetap dibuat dan anak-anak harus menaatinya. Kami tetap harus
membuat fondasi awal untuk benteng anak-anak. Tapi, yang gak kalah pentingnya
adalah memberi bekal. Harapannya anak-anak bisa menjaga bentengnya
sendiri.
Chi selalu berprinsip, anak bisa aja lebih tau dan lebih cepat mengikuti dan
memahami dunia digital. Seperti yang tadi Chi bilang, waktu instal LINe aja
belajar dari anak-anak untuk paham semua fiturnya hehehe. Tapi, sebagai orang
tua tentu pengalamannya lebih banyak. Bisa memberi nasihat untuk lebih
berhati-hati karena dunia digital kan ibarat pisau bermata dua. Maksimalkan
manfaatnya, minimalkan bahkan hilangkan negatifnya.
Kami sering berdiskusi dengan anak. Apa yang mereka suka dan enggak.
Berdiskusi tentang perkembangan di dunia digital, misalnya membahas yang
sedang ramai di medsos. Supaya anak bisa nyaman berdiskusi apapun dengan orang
tua, tentu harus timbul kepercayaan terlebih dahulu. Bonding harus lebih
dahulu dijalin. Gak ujug-ujug ajak mereka ngobrol, padahal gak ada rasa
kedekatan antara orang tua dan anak.
Alih-alih memantau setiap aktivitas digital anak dengan pendekatan 'mata-mata', orang tua sebaiknya membangun kemitraan yang didasari rasa saling percaya. Berdiskusi secara terbuka tentang risiko dan manfaat dunia digital, alih-alih memberlakukan aturan sepihak. Ajak anak berbagi tentang aplikasi favorit mereka, video yang sedang viral, atau kreator konten yang mereka kagumi. Dengan begitu, orang tua bisa memahami perspektif anak, memberikan bimbingan yang relevan, dan membantu mereka mengembangkan literasi digital yang kritis dan aman.
Pentingnya Menghormati Ruang dan Privasi Digital
"Orang tua gak pernah ngajarin privasi?"
Dulu, Chi pernah baca WA dari salah seorang teman Keke. Temennya kaget begitu
tau kalau Keke belum punya hp pribadi. Semua aktivitas Keke, termasuk WA, bisa
bebas dilihat orang tua tanpa perlu meminta izin.
Keke bilang itu syarat dari ayah dan bundanya kalau pengen punya medsos dan
ngobrol di WA. Syarat yang harus dituruti. Gak boleh ditawar.
Chi jelasin lagi ke Keke tentang privasi dan syarat yang diberikan orang tua.
Tapi, pertama-tama mengapresiasi dulu karena Keke memberikan jawaban yang
tegas ke temannya.
Bukan kami tidak pernah mengajarkan atau tidak mau memberikan anak privasi
digital. Tapi, sebelumnya harus memastikan dulu ruang amannya. Harus yakin
kalau anak sudah bisa dipercaya di ranah digital dan mampu bertanggungjawab.
Ya, semakin banyak anak diberi privasi harus sebanding dengan tanggungjawabnya. Jangan sampai anak berbuat salah, kemudian yang menanggung dan membereskan masalahnya dilimpahkan seluruhnya ke orang tua. Anak harus bertanggungjawab juga.
Ya, semakin banyak anak diberi privasi harus sebanding dengan tanggungjawabnya. Jangan sampai anak berbuat salah, kemudian yang menanggung dan membereskan masalahnya dilimpahkan seluruhnya ke orang tua. Anak harus bertanggungjawab juga.
Kalau mengikuti aturan medsos, batas minimum usia memiliki akun adalah 13
tahun. Tapi, bagi kami bukan berarti setelah diizinkan kemudian dilepas.
Dibiarin aja mereka dengan dunia medsosnya.
Kami harus pastikan dulu, paling gak paham aturan dasar dunia digital.
Memiliki literasi digital yang cukup baik. Baru deh pelan-pelan kami lepas.
Gak ada batasan umurnya. Lebih ke feeling orang tua untuk tau kapan anak siap
atau belum. Caranya dengan banyak berdiskusi. Bahkan sampai sekarang pun kami
masih sering berdiskusi dan saling mengingatkan meskipun kami udah gak lagi
bisa bebas buka hp anak-anak.
Sama seperti orang tua menghargai privasi kamar tidur anak, mereka juga harus menghormati privasi digital Gen Z. Membaca pesan pribadi, mengakses akun media sosial tanpa izin, atau memaksa meminta kata sandi dapat merusak kepercayaan. Tentu, ada kasus di mana pengawasan diperlukan untuk keselamatan. Namun, pendekatan terbaik adalah dengan komunikasi yang jujur. Jelaskan alasan di balik kekhawatiran orang tua dan sepakati batasan bersama, seperti 'waktu bebas gawai' di meja makan atau batasan waktu bermain game. Dengan cara ini, orang tua menunjukkan bahwa mereka percaya pada tanggung jawab anak, sambil tetap memberikan ruang untuk tumbuh.
Chi dan K'Aie kan Generasi X. Sebagian hidup kami dilalui tanpa dunia digital.
Sedangkan begitu jadi orang tua, anak-anak lahir di dunia yang mulai serba
digital. Makanya, kami pikir rasanya gak bisa memberlakukan pola asuh yang
sama seperti ketika kami jadi anak-anak.
Tentu, kami mengenalkan anak-anak kalau dunia bermain gak hanya melalui layar.
Keke dan Nai gak asing dengan beberapa permainan tradisional karena kami
mengenalkannya. Hingga pergaulan di dunia nyata pun kami kenalkan. Tetap
jangan terlalu larut dalam dunia digital, lah.
Sebagai orang tua juga banyak belajar tentang dunia digital supaya bisa
memahami dan menghormati budaya digital Gen Z. Bukan untuk menjadi jago. Anak
Gen Z udah pasti lebih jago, lah. Tapi paling gak jadi bisa membuat aturan
rambu-rambu yang pas untuk anak-anak. Mengajarkan merekan tentang netiket yang
pas kepada mereka.
6 Comments
Setuju banget Chi, batasan dan rasa saling menghormati privasi penting. Selama ini aku dan bang dho juga memberikan kebebasan tapi dengan rules yang walau terkesan longgar tapi terbukti saling merasakan kenyamanan.
ReplyDeletedunia digital memang berlari... bukan maraton pula tapi lari sprint! Ngebut! Bersyukur juga aku ga terlalu gaptek sehingga kami minimal bisa mengikuti perkembangan anak...
suka banget sama tulisan kali ini! Daebak!
Keren, bisa ajarkan privasi terkait digital pada anak. Komunikasi yang aktif dan tulus, saya rasa sih masih tetap kunci ya memahami generasi yang lebih muda.
ReplyDeletekok sama ya? Anak-anakku punya medsos, khususnya IG tapi isinya seuprit
ReplyDeleteanakku nomor 2 sekarang agak aktif di FB karena banyak dosendan temannya aktif di FB
Dulu, saya pernah ikutan komen status anakku yang bungsu
tapi kayanya dia gak suka
sesudah itu, saya gak pernah lagi komen
Anak-anak saya juga gitu pemikirannya. Sama-sama GenZ yang menganggap kehadiran medsos sebagai fasilitas bukan ajang memperlihatkan eksistensi. Kebetulan keduanya bergelut di dunia IT, data analyst, dan data science, jadi gak into-in ke media sosial. Punya untuk sekedar berselancar aja. Nonton video atau membaca postingan yang menarik. Selebihnya tidak. Sikap saya sama. Keputusan dan preferensi mereka sangat saya hormati.
ReplyDeleteIya sih. Alih-alih mengekang kebebasan anak atau adik di dunia digital. Mending mah jalin kemitraan. Komunikasikan dengan baik batasan dan kenapa perlu ada batasan gitu. Biar kesannya nggak memaksakan gitu.
ReplyDeleteSetuju mbak, kuncinya memang kita juga harus belajar memahami lalu menghormati budaya digital Gen Z. Anak saya, Alief, menggunakan media sosial untuk bisnis. Dia punya beberapa akun, mulai dari akun review gadget, akun jualan mobil, sampai akun khusus perlengkapan komputer dan gaming. Selain itu, dia juga punya akun pribadi yang isinya narsis-narsis aja hahaha, tapi diprivate dan hanya follow-followan dengan teman sekolah yang dekat. Buat saya tidak masalah, selama dia tahu batasan dan tidak aneh-aneh.
ReplyDeleteNah bener mbak, saya setuju dengan bagian ini:
"Ajak anak berbagi tentang aplikasi favorit mereka, video yang sedang viral, atau kreator konten yang mereka kagumi."
Hal ini saya alami dengan Aisyah. Dia punya beberapa akun yang berisi karya gambar seperti komik, kartun, dan anime. Saya cek follower dan following-nya, ternyata memang sama-sama anak-anak yang hobi desain dan gambar. Obrolan mereka juga tidak jauh-jauh dari kompetisi atau challenge antar sesama. Menurut saya seru sekali.
Dengan tahu apa yang anak-anak saya lakukan di media sosial, saya jadi merasa… ya, beginilah cara mereka memanfaatkan medsos.
Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^