Normalisasi Tidak Berbagi THR dan Hampers Hari Raya

"Normalisasi tidak berbagi THR saat silaturahmi di keluarga besar."
"Normalisasi gak kirim-kirim hampers hari raya"

Normalisasi Tidak Berbagi THR dan Hampers Hari Raya

Beberapa waktu lalu, utas normalisasi tidak berbagai THR dan hampers, marak di Threads. Awalnya biasa aja. Eh, beberapa hari kemudian jadi banyak perdebatan.

"Apaan sih normalisasi-normalisasi? Pelit gak usah ngajak-ngajak!"
"Kalau miskin ya ngaku aja. Gak usah pake bilang normalisasi segala."
"Mau berbagi aja pake dilarang-larang. Lagian gak tiap hari juga berbagi kayak gini."

Rame banget perdebatannya. Hmmm... Tapi, emang iya maksudnya melarang orang untuk berbagi? Kalau Chi sih gak sepakat, ya.


Normalisasi Bukan Berarti Melarang Orang Lain Berbagi


Normalisasi Tidak Berbagi THR dan Hampers Hari Raya

Menurut Chi, utas tentang normalisasi yang tentang THR dan hampers itu bukan mengajak orang lain untuk tidak berbagi. Tapi, ada karena 'sebab-akibat.

Pernah gak lihat seseorang yang disindir karena gak bisa berbagi THR atau ngasihnya cuma sedikit? Padahal bukan gak mau berbagi, tapi kondisi finansialnya memang sedang tidak memungkinkan. Bisa jadi ada kebutuhan lain yang lebih penting.

Contohnya, nih, kalau Lebaran jatuhnya di akhir Mei hingga Juni atau Juli. Itu biasanya orangtua lagi banyak pengeluaran untuk biaya sekolah. Dari mulai daftar ulang, biaya buku, seragam, alat tulis, dan masih banyak lagi. Dimaklumi aja kalau kemudian gak memberi THR atau cuma bisa ngasih sedikit.

"Berbagi aja sedikit. Anak-anak dikasih dua ribuan aja udah seneng."

Anak-anak mungkin seneng. Tapi, belum tentu orang tuanya bersikap sama. Kalau dikasih sedikit malah kayak kesel. Ada juga lho anak-anak yang suka membandingkan berapa besar THR yang didapat. Trus, jadi ngeledek.
 
Contohnya, screenshot di atas yang Chi lihat di FB. Dikasih Rp2 ribu malah marah. Bahkan yang memberi dikatain miskin. Duh!

Begitu pun dengan hampers. Ada lho yang kesel sampai bikin konten marah-marah karena merasa gak dihargai. Gara-gara udah ngirim hampers, tapi gak dapat kiriman balik.

Makanya, Chi katakan 'sebab-akibat'. Karena sikap orang-orang yang membuat THR menjadi tradisi wajib. Gak ngasih atau cuma ngasih sedikit malah dijulidin.

Julidnya itu yang akhirnya merusak makna silaturahmi. Padahal mau memberi THR atau enggak sebetulnya bebas aja. Asalkan gak ada yang nyindir.

Lagipula menurut Chi, THR untuk anak sebaiknya tidak bersifat transaksional. Orang lain  ngasih 1, kita kasih balik 1. Kalau gak ngasih atau cuma mampu lebih sedikit dari yang kita kasih malah dijulidin. Jangan lah, ya.


Gimana Rasanya Gak Berbagi THR?


Chi termasuk yang gak pernah bagi-bagi THR untuk keluarga. Bagaimana rasanya? 

Biasa aja.

Gimana kalau orang gak kasih THR ke anak kita karena orangtuanya gak pernah ngasih?

Tetap biasa aja. Karena Chi dan K'Aie gak pernah membiasakan anak-anak untuk meminta. Kalau dikasih ya terima dan bilang terima kasih. Tapi, jangan sampai menagih untuk diberi.

Silakan baca: Wajib Gak THR untuk Anak Saat Lebaran?

Di keluarga besar Chi sebetulnya ada tradisi berbagi THR. Setelah menikah, K'Aie bilang kalau di keluarganya gak ada tradisi begitu. Sebetulnya, K'Aie gak pernah melarang Chi ikutan tradisi keluarga. Cuma dengan beberapa alasan, terlihat kurang sreg.

Chi nurut aja lah karena alasannya juga masuk akal. Lagian gak saklek juga aturannya. Kakak ipar (abangnya K'Aie) selalu berbagi THR ke para keponakan. Chi pun kalau tetap ingin berbagi juga gak akan bikin K'Aie marah. M

Awalnya, Chi sempat ragu. Khawatir ada yang julid. Alhamdulillah enggak. Kalau pun ada yang menagih, ditanggapi dengan becanda. Kami lebih memilih mentraktir keluarga besar makan bareng di resto atau jalan-jalan. Minimal, anak-anaknya yang dijajanin atau diajak jalan-jalan.

Intinya, pahami dulu makna silaturahmi. Kalau hanya diukur dari besar kecilnya THR, ya gak heran kemudian timbul berbagai pernyataan 'normalisasi' seperti itu. Karena seharusnya, ada atau gak ada THR, suasana hari raya harus menyenangkan bagi semua.

Baidewei, rencana awalnya tulisan ini mau publish sebelum Lebaran. Tapi, gak selesai juga nulisnya hahaha.

Selamat Idulfitri. Taqabbalallahu minna wa minkum

Post a Comment

42 Comments

  1. aku suka dengan pemahamannya kak, tetap sehat dan sukses selalu ya :D salam untuk keluarga

    ReplyDelete
  2. Dulu di keluarga saya juga ngga ada keharusan untuk bagi2 THR, tapi entah kenapa beberapa tahun ini malah ada tradisi bagi THR di keluarga besar kami. Menurut saya bagi2 THR bukan suatu keharusan, tapi bila ada rezeki berlebih bolehlah bagi THR.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gak apa-apa kalau memang ada rezeki untuk berbagi. Asalkan jangan dipaksain aja

      Delete
  3. btw, Mohon maaf lahir dan batin, Chi
    Aku juga pernah baca komentar tentang THR ini,,

    Jujur, kalau baca secuil komen di atas, entah kenapa diriku justru ikut kesal, hahaa
    Alangkah lebih baik momen idulfitri anak bisa dikenalkan untuk menerima berapa pun nominal THR yang didapat entah dari keluarga besar, kalau ada yang kasih, syukur alhamdulillah, jika tidak dapat, juga nggak papa,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama. Makanya saya bikin postingan ini saking gregetannya hehehe. Mohon maaf lahir batin juga

      Delete
  4. Saya dibesarkan di ligkungan yang nggak ada istilah bagi-bagi THR, hanya terbiasa bersalam-salaman ke rumah tetangga kiri kanan. Tapi belakangan kebiasaan bagi THR di daerah lain sepertinya 'menular' juga, tapi nggak wajib juga sih, kalo ada dikasih, kalo nggak ada anak2 yg bersalaman juga udah senang nyamil kue, permen, atau minuman.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah iya, suka ada trend 'menular'. apalagi di era medsos. Tapi, kalau memang gak cocok, saya gak bakal ikutin

      Delete
  5. Sepakat mbak. Kalau masalah thr tergantung pribadi masing-masing yah jadi gk pukul rata semuanya. Minal aidzin walfaidzin mbak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dan jangan disindir kalau ada yang gak ngasih atau cuma bisa kasih sedikit

      Delete
  6. Nah ini kak, jangan dikit² melarang dan normalisasi sesuatu. Balik lagi sih kepada kondisi keuangan dan bagaimana memberikan pengertian. Bila memang ada rejeki dan ingin berbagi ya silakan. Bila ternyata ada kebutuhan yang lebih urgent, silakan dananya digunakan untuk itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena ada sebab-akibat. Menormalisasi karena merasa dipaksa memberi THR. Padahal kan gak wajib harusnya

      Delete
  7. Di keluargaku juga ga ada THR, ka Chi..
    Sedari dulu anak-anak kecil sampai sekarang. Karena puasa biasanya hadiahnya bukan THR, tapi makan apa yang mereka sedang inginkan.

    Agak aneh orang sekarang tuh yaa..
    Gedeg banget liat orang marah-marah karena dikasih.
    Namanya juga "dikasih", masak mau mintak banyak dan ada nilai minimal?
    Kalo gitu maah.. tambahin sendiri atuh nyaa.. biar anaknya ((misalnya diajarin)) gak kecewa atau menggerutu sama pemberian orang.

    Kalo aku sih ngajarinnya "Namanya dikasih yaa.. seridlo-nya yang ngasih. Dikasih aja uda untung, karena beliau meluangkan uang dan inget sama kita. Cobak kalo ga inget, malah gak dapet apa-apa kaan??"
    Ya itu juga gasalah... namanya orang lupa.

    Hehehe... serem main sosmed jaman skarang tuh..
    Takut mlyt bgini adabnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Serem ya kalau malah kesannya diwajibkan atau transaksional

      Delete
  8. Ngasih2 THR emang bukan kewajiban sih. Klo di keluargaku untuk seru2an aja. Apalagi keluargaku termasuk keluarga kecil. Aku cuma punya 2 keponakan dari kakak kandung dan 2 lagi dari pihak suamiku. Jadinya ya santai aja enggak untuk dibanding2kan besaran ung yg didapat. Malah klo yg dibahas soal THRnya kita jadi kehilangn esensi silaturahminya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener kak, kalau dibuat seseruan aja alias gak perlu dimasukkan ke hati, jadinya malah menyenangkan. Gak ada rasa menyalahkan maupun tuding menuding

      Delete
    2. Yup! Jangan sampai esensi silaturahmi jadi hilang karena THR

      Delete
  9. Ah saya ada cerita lucu soal THR ini yang (maaf) sampai sekarang bikin saya tarik nafas sekaligus ya merasa bersyukur bahwa saya dan suami dianggap mampu. Sampe akhirnya anak-anak saya sempat berujar (saat mereka sudah dewasa saat ini). Kok Ayah dan Bunda sepertinya DIWAJIBKAN ngasih THR. Sementara kami (anak-anak saya) tak pernah nerima THR. Ayahnya paling menjawab "Yah anggap aja sedekah lah"

    ReplyDelete
  10. Hihihi alhamdulilah keluarga kami juga gak punya budaya "nyecep" uang di hari Lebaran
    Kalo ada yang bagi, malah sering ditolak oleh anak tsb, mungkin karena gak biasa

    Eniwei baswei, menurut saya sih kalo mau berbagi dan mampu, ya silakan
    Kalo gak punya duit ya jangan maksain dan akhirnya malah mutus silaturahmi

    ReplyDelete
  11. Di keluargaku tidak ada tradisi berbagi THR sih. Kalau ada rejeki lebih yang ngasih. Kalau masih ada keperluan lain ya tidak. Dan alhamdulillah tidak ada yang julid. Maksudku, di depan kitanya tidak julid. Kalau di belakang kita ya itu urusan merekalah ya.

    Cuma beberapa saudara memang ada yang suka becanda gitu. Bilang, mana nih THRnya?

    Tapi ya cukup disitu. Namanya juga cuma becandaan ya. Habis itu ya sudah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau konteks bertanyanya sambil becanda dan yang dibecandain juga gak masalah memang asik. Ya harus lihat sikon juga

      Delete
  12. "Normalisasi" ini maksudnya bukan menyindir mereka yang berbagi, tapi sebagai permakluman untuk mereka yang tidak memberi. Ada banyak penyebab. Entah karena mereka belum mampu, tidak sesuai prinsip, dsb. Apapun itu, nggak usah disindir. Kalian bisa berbagi syukur, tapi nggak usah menjelek-jelekkan orang yang tidak memberi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget. Justru 'normalisasi' menjadi timbul karena banyak yang maksa mewajibkan THR. Padahal kondisi keuangan setiap orang berbeda

      Delete
  13. Kalau keuarga inti saya itu tidak ada istilah THR sih kak, nah pas pindah ke Surabaya baru tahu ada istilah THR dan saya pun hampir tidak pernah kasih THR ke tetangga. Ternyata 2 tahun lalu kaget juga ada anak sodara masih umur 4 tahun gitu, pas ke rumah tanya "THR nya mana?" akhirnya saya beri dengan adanya uang di dompet karena tidak siap. Menurut saya kasih THR itu sesuai kemampuan saja sih ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow! Sampe berbagi ke tetangga juga? Ruwet ya kalau sampai diwajibkan

      Delete
  14. Hehe iya, kita sesuai kemampuan saja ya mbak
    Aku berbagi juga ke keluarga dekatt saja dngn nominal sesuai kemampuan
    Tapi emang aku nggak kirim hampers sih, blm ada dana untuk itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pokoknya jangan ada yang julid. Ada atau enggak ada momen berbagi THR tetap bahagia :D

      Delete
  15. Tulisan ini ngena banget! Bukan soal pelit, tapi soal realistis dan bijak menghadapi tekanan sosial di hari raya.

    ReplyDelete
  16. Biasanya sih mamah papahku kasih THR ke semua cucunya. Paling aku dan adik-adikku seperti biasa kasih orang tua apalah macam2 mulai uang dan atau barang. Nah kalau ke saudara2 ini yang rempong soalnya mamang dan bibi kan bererot. Kalau ga bisa ngasih ada rasa ga enakan. Jadi enggan hadir di halbil kan soalnya seperti ada tuntutan pemberian :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya udah lama menyingkirkan rasa gak enakan. Daripada jadinya terpaksa hehehe

      Delete
  17. Menurutku, inti dari normalisasi ini bukan melarang berbagi, melainkan menyoroti tekanan dan sindiran yang sering muncul jika seseorang tidak memberi atau memberi dalam jumlah kecil. Kondisi finansial setiap orang berbeda, dan hari raya seharusnya menjadi momen silaturahmi yang tulus, bukan ajang transaksi atau perbandingan pemberian. Semoga esensi berbagi dan kebersamaan tetap terjaga tanpa adanya paksaan atau cibiran.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget! Cuma ada beberapa yang salah sangka. Dipikirnya normalisasi tuh malah melarang orang berbagi

      Delete
  18. Iya lagi, kadang di banding2in. Padahal kan kondisi finansial tiap orang kan beda.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngeselin kan jadinya. Padahal baru juga maaf-maafan

      Delete
  19. Budaya memberi angpao di hari raya bukanlah suatu kewajiban. Jadi bukan jadi masalah yang harus diperdebatkan. Namanya juga memberi dengan sukarela.

    ReplyDelete
  20. Aku setuju banget! Bagi-bagi THR itu berdasarkan hati dan kesanggupan bukan berdasarkan pada kewajiban yang mengekang dan membuat pihak lain tertekan yang justru merenggangkan tali persaudaraan. Semoga pandangan ini bisa dinormalisasi secara luas. :)

    ReplyDelete
  21. Aku sih tergolong ke dalam kelompok orang-orang yang tercengang dengan adanya fenomena "perang" antara pendukung THR berapa pun jumlahnya dan mending gak usah ngasih THR klo cuma sedikit. Ealaaah. Hal kekgitu saja jadi ribut-ribut??‽

    ReplyDelete
  22. Aku termasuk yang kontra kak, lebaran setahun sekali berbagi hampers, angpau dll wajiiiib apalagi buat saudara, tetangga Dan sahabat terbaik kita

    ReplyDelete
  23. Kalau di tempat aku juga ada tradisi bagi-bagi THR, hanya saja untuk nominalnya semampu yang ngasih, kalau pun tidak ada THR dalam bentuk uang, biasanya ada juga yang bagi-bagi Snack atau makanan ringan. Menurutku THR gak wajib, yang wajib itu ya maaf maafan

    ReplyDelete

Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)

Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^