Menjelang akhir tahun, biasanya mulai banyak tuh konten tentang biaya
sekolah swasta, terutama di Jakarta dan sekitarnya. Bikin ketar-ketir gak
lihat biayanya? Apalagi kalau saat ini sedang mencari tau faktor penting apa
aja yang dipertimbangkan saat memilih sekolah. Langsung terkaget-kaget
melihat biayanya hehehe.
Tenang! Chi akan bahas di sini. Tapi, sebelumnya teman-teman ngikutin
berita tentang 3 siswa SDIT yang dipulangkan paksa gara-gara nunggak
pembayaran sekolah?
Awalnya Chi gak ngikutin. Alasannya 1 aja yaitu lagi malas. Sejak anak-anak mulai kuliah, Chi gak begitu semangat ngikutin berita tentang dunia pendidikan. Bukan berarti udah gak peduli. Cuma lelah aja tiap saat bahasannya seputaran pro kontra kurikulum, zonasi, biaya sekolah, dan beberapa hal lainnya.
Menurut Chi, semua kurikulum pada dasarnya punya plus minus. Masalahnya keseringan gonta-ganti, bukannya menyempurnakan. Akhirnya, malah kayak jadi sesama masyarakat yang ribut. Yang satu pro kurikulum A, satunya kontra.
Begitu pun dengan zonasi. Hmmm ... sebetulnya kalau Chi perhatiin dari berbagai medsos, mayoritas masih kontra. Cuma, ya, berjalan gitu aja gak ada perubahan kebijakan. Jadi, akhirnya kurang lebih sama kayak bahasan kurikulum. Rame di masyarakat aja.
Eits! Tapi, bukan berarti Chi menganggap salah membahas pendidikan, ya. Gak salah sama sekali, kok. Malah banyak pendapat yang bagus. Cuma Chi aja yang lagi bosen dan lelah. Jadi mau istirahat sejenak dari semua berita tentang pendidikan TK hingga SMA.
Oke balik lagi ke bahasan yang tentang 3 siswa SDIT itu. Awalnya gak mau ngikutin beritanya meskipun setiap saat ada aja yang bahas di medsos dan muncul di beranda. Ada yang nyalahin pihak sekolah karena dianggap tega. Ada yang membela karena itu SDIT, biasanya biayanya mahal.
Kasus pun terus berkembang. Ada beberapa netizen yang bilang kalau ibu dari anak-anak tersebut tuh hedon. Suka jalan-jalan ke Malaysia dan Singapura. Bahkan pernah nonton konser Coldplay. Tapi, ketika anaknya dipulangkan karena tunggakan spp, orangtuanya playing victim. Mengaku perekonomiannya gak mampu.
Chi pun langsung bilang, "Nah iniiiii ....!" Gak tau ya apa orangtua anak-anak tersebut beneran hedon atau enggak. Karena akun medsosnya langsung dikunci. Meskipun ada beberapa netizen yang screenshot. Tetapi, memang saat ini, Chi juga lagi gregetan dengan orangtua yang seperti itu. Fakta memang ada bahkan di sekitaran Chi sendiri.
Orangtua katanya selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Setuju banget. Chi pun begitu. Tapi, tetap harus bijak dengan pengertian "memberi yang terbaik". Harus disesuaikan dengan kemampuan orangtua. Dalam hal memilih sekolah, ya, disesuaikan dengan finansial.
Makanya, Chi dan K'Aie selalu membutuhkan waktu yang lama ketika memilih sekolah buat Keke dan Nai. Paling gak dari 2 tahun sebelumnya, bahkan bisa lebih. Karena bagi kami memilih sekolah bisa banyak banget pertimbangannya.
Dengan memilih sekolah dari jauh-jauh hari juga bisa meminimalisir 'kagetan'. Ya itu, kaget lihat konten tentang biaya sekolah. Trus cemas karena merasa gak mampu secara finansial. Akhirnya apa? Memaksakan diri.
Chi gak mengeneralisir, ya. Tapi, yang Chi kenal ada yang begitu. Memaksakan diri menyekolah anak di sekolah swasta yang biayanya di luar kemampuan. Ya mungkin masih bisa dimaklumi kalau orangtuanya bener-bener berusaha keras mencari uang untuk sekolah anak. Masalahnya, ini beneran ada uang sedikit langsung hedon. Giliran biaya sekolah anak gak dipikirin. Kalau udah kepepet, cari pinjeman sana-sini. Yup! Ada kok yang begitu. Makanya langsung merasa gregetan kalau bener berita yang anak SDIT itu dipulangin karena menunggak SPP, tapi orangtuanya hedon. Errrrghhh!
Kenapa sih orangtua maksain banget anak harus sekolah di swasta yang mahal padahal kemampuan finansialnya kurang?
Kalau dari hasil ngobrol-ngobrol, hanya karena alasan sekolah tersebut terbaik. Tapi, ya, berdasarkan info 'katanya-katanya' yang langsung dipercaya gitu aja.
Menurut Chi pribadi, sebaiknya memilih jangan hanya karena 'kata orang'. Itulah makanya penting memilih sekolah sejak jauh-jauh hari. Biar punya banyak waktu untuk mencari tau. Datangi sekolahnya, tanya satu per satu dengan detil. Berdasarkan pengalaman, ternyata banyak lho sekolah yang mungkin selama ini kurang dikenal di medsos. Kualitasnya beragam, lah. Tinggal kitanya aja sesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan.
Siapa sih yang gak pengen nyekolahin anak di sekolah swasta elit. Lihat fasilitasnya aja udah wow banget, ya. Tapi, biayanya bikin cenat-cenut hahaha.
Baidewei, Nai termasuk yang mendadak membuat pilihan sekolah di swasta. Awalnya persiapan kami cukup matang. Seperti biasa selalu dari 2-3 tahun sebelumnya. Target utama tetap sekolah negeri. Kalau gak diterima, baru deh ke swasta.
Silakan baca: Pilih Sekolah Swasta atau Negeri?
Ternyata, begitu Nai lulus SMP, aturan PPDB di Jakarta berubah banget. Seleksi utamanya pakai umur. Udah gitu, domisili kami masuk ring 3. Ya ini sih sama aja kayak 'kalah sebelum perang'. Udah pasti banget, Nai gak dapat negeri. Kami pun segera mencari sekolah swasta untuk Nai.
Kenapa gak pilih salah satu dari sekolah yang udah dicari sebelumnya?
Kondisi perekonomian kami agak mengalami perubahan karena pandemi. Nai masuk SMA, Keke kelas 12. Berarti kami juga harus siap-siap untuk biaya kuliah Keke.
Setelah dipertimbangkan, mendingan pilih SMA swasta yang biayanya lebih murah dari rencana awal. Supaya tetap ada biaya untuk nguliahin anak-anak di universitas yang bagus baik itu negeri ataupun swasta.
Tentu aja, Nai juga diajak diskusi. Dibesarin semangatnya. Meskipun sekolah di swasta yang 'biasa' aja, insyaAllah bisa tetap kuliah di universitas yang bagus sesuai yang diinginkan. Yang penting semangat belajar jangan sampai luntur hanya karena ada perubahan rencana.
Alhamdulillah, Nai sekarang bisa sekolah di salah satu kampus impian. Lulusan dari SMAnya dia juga melonjak jumlahnya yang bisa lolos PTN. Ya mungkin karena efek seleksi PPDB yang nilai kayak gak dianggap. Akhirnya anak-anak yang sebetulnya pintar, banyak juga yang pindah ke swasta biasa.
Jadi, menurut Chi, pilih sekolah tetap harus menyesuaikan dengan kemampuan finansial. Jangan sampai akhirnya anak-anak yang jadi korban.
Kasihan banget kalau sampai dikeluarin dari sekolah. Apalagi kalau anaknya punya semangat belajar. Tapi, kalau dipikir lagi, kita orang luar aja merasa iba. Masa' orangtuanya gak kepikir sanpai ke sana?
Sekali lagi, seperti yang Chi katakan di atas, gak tau ya itu orangtuanya beneran hedon atau enggak. Tapi, yang begitu memang ada. Ujung-ujungnya 'jualan iba'. Makanya Chi gregetan banget lihat yang seperti itu.
Awalnya Chi gak ngikutin. Alasannya 1 aja yaitu lagi malas. Sejak anak-anak mulai kuliah, Chi gak begitu semangat ngikutin berita tentang dunia pendidikan. Bukan berarti udah gak peduli. Cuma lelah aja tiap saat bahasannya seputaran pro kontra kurikulum, zonasi, biaya sekolah, dan beberapa hal lainnya.
Menurut Chi, semua kurikulum pada dasarnya punya plus minus. Masalahnya keseringan gonta-ganti, bukannya menyempurnakan. Akhirnya, malah kayak jadi sesama masyarakat yang ribut. Yang satu pro kurikulum A, satunya kontra.
Begitu pun dengan zonasi. Hmmm ... sebetulnya kalau Chi perhatiin dari berbagai medsos, mayoritas masih kontra. Cuma, ya, berjalan gitu aja gak ada perubahan kebijakan. Jadi, akhirnya kurang lebih sama kayak bahasan kurikulum. Rame di masyarakat aja.
Eits! Tapi, bukan berarti Chi menganggap salah membahas pendidikan, ya. Gak salah sama sekali, kok. Malah banyak pendapat yang bagus. Cuma Chi aja yang lagi bosen dan lelah. Jadi mau istirahat sejenak dari semua berita tentang pendidikan TK hingga SMA.
Penting Mempertimbangkan Biaya Saat Memilih Sekolah
Oke balik lagi ke bahasan yang tentang 3 siswa SDIT itu. Awalnya gak mau ngikutin beritanya meskipun setiap saat ada aja yang bahas di medsos dan muncul di beranda. Ada yang nyalahin pihak sekolah karena dianggap tega. Ada yang membela karena itu SDIT, biasanya biayanya mahal.
Kasus pun terus berkembang. Ada beberapa netizen yang bilang kalau ibu dari anak-anak tersebut tuh hedon. Suka jalan-jalan ke Malaysia dan Singapura. Bahkan pernah nonton konser Coldplay. Tapi, ketika anaknya dipulangkan karena tunggakan spp, orangtuanya playing victim. Mengaku perekonomiannya gak mampu.
Chi pun langsung bilang, "Nah iniiiii ....!" Gak tau ya apa orangtua anak-anak tersebut beneran hedon atau enggak. Karena akun medsosnya langsung dikunci. Meskipun ada beberapa netizen yang screenshot. Tetapi, memang saat ini, Chi juga lagi gregetan dengan orangtua yang seperti itu. Fakta memang ada bahkan di sekitaran Chi sendiri.
Pilih sekolah terbaik juga harus disesuaikan dengan kemampuan finansial yang orangtua
Orangtua katanya selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Setuju banget. Chi pun begitu. Tapi, tetap harus bijak dengan pengertian "memberi yang terbaik". Harus disesuaikan dengan kemampuan orangtua. Dalam hal memilih sekolah, ya, disesuaikan dengan finansial.
Makanya, Chi dan K'Aie selalu membutuhkan waktu yang lama ketika memilih sekolah buat Keke dan Nai. Paling gak dari 2 tahun sebelumnya, bahkan bisa lebih. Karena bagi kami memilih sekolah bisa banyak banget pertimbangannya.
Dengan memilih sekolah dari jauh-jauh hari juga bisa meminimalisir 'kagetan'. Ya itu, kaget lihat konten tentang biaya sekolah. Trus cemas karena merasa gak mampu secara finansial. Akhirnya apa? Memaksakan diri.
Chi gak mengeneralisir, ya. Tapi, yang Chi kenal ada yang begitu. Memaksakan diri menyekolah anak di sekolah swasta yang biayanya di luar kemampuan. Ya mungkin masih bisa dimaklumi kalau orangtuanya bener-bener berusaha keras mencari uang untuk sekolah anak. Masalahnya, ini beneran ada uang sedikit langsung hedon. Giliran biaya sekolah anak gak dipikirin. Kalau udah kepepet, cari pinjeman sana-sini. Yup! Ada kok yang begitu. Makanya langsung merasa gregetan kalau bener berita yang anak SDIT itu dipulangin karena menunggak SPP, tapi orangtuanya hedon. Errrrghhh!
Kenapa sih orangtua maksain banget anak harus sekolah di swasta yang mahal padahal kemampuan finansialnya kurang?
Kalau dari hasil ngobrol-ngobrol, hanya karena alasan sekolah tersebut terbaik. Tapi, ya, berdasarkan info 'katanya-katanya' yang langsung dipercaya gitu aja.
Menurut Chi pribadi, sebaiknya memilih jangan hanya karena 'kata orang'. Itulah makanya penting memilih sekolah sejak jauh-jauh hari. Biar punya banyak waktu untuk mencari tau. Datangi sekolahnya, tanya satu per satu dengan detil. Berdasarkan pengalaman, ternyata banyak lho sekolah yang mungkin selama ini kurang dikenal di medsos. Kualitasnya beragam, lah. Tinggal kitanya aja sesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan.
Mendadak Sekolah di Swasta
Siapa sih yang gak pengen nyekolahin anak di sekolah swasta elit. Lihat fasilitasnya aja udah wow banget, ya. Tapi, biayanya bikin cenat-cenut hahaha.
Baidewei, Nai termasuk yang mendadak membuat pilihan sekolah di swasta. Awalnya persiapan kami cukup matang. Seperti biasa selalu dari 2-3 tahun sebelumnya. Target utama tetap sekolah negeri. Kalau gak diterima, baru deh ke swasta.
Silakan baca: Pilih Sekolah Swasta atau Negeri?
Ternyata, begitu Nai lulus SMP, aturan PPDB di Jakarta berubah banget. Seleksi utamanya pakai umur. Udah gitu, domisili kami masuk ring 3. Ya ini sih sama aja kayak 'kalah sebelum perang'. Udah pasti banget, Nai gak dapat negeri. Kami pun segera mencari sekolah swasta untuk Nai.
Kenapa gak pilih salah satu dari sekolah yang udah dicari sebelumnya?
Kondisi perekonomian kami agak mengalami perubahan karena pandemi. Nai masuk SMA, Keke kelas 12. Berarti kami juga harus siap-siap untuk biaya kuliah Keke.
Setelah dipertimbangkan, mendingan pilih SMA swasta yang biayanya lebih murah dari rencana awal. Supaya tetap ada biaya untuk nguliahin anak-anak di universitas yang bagus baik itu negeri ataupun swasta.
Tentu aja, Nai juga diajak diskusi. Dibesarin semangatnya. Meskipun sekolah di swasta yang 'biasa' aja, insyaAllah bisa tetap kuliah di universitas yang bagus sesuai yang diinginkan. Yang penting semangat belajar jangan sampai luntur hanya karena ada perubahan rencana.
Alhamdulillah, Nai sekarang bisa sekolah di salah satu kampus impian. Lulusan dari SMAnya dia juga melonjak jumlahnya yang bisa lolos PTN. Ya mungkin karena efek seleksi PPDB yang nilai kayak gak dianggap. Akhirnya anak-anak yang sebetulnya pintar, banyak juga yang pindah ke swasta biasa.
Jadi, menurut Chi, pilih sekolah tetap harus menyesuaikan dengan kemampuan finansial. Jangan sampai akhirnya anak-anak yang jadi korban.
Kasihan banget kalau sampai dikeluarin dari sekolah. Apalagi kalau anaknya punya semangat belajar. Tapi, kalau dipikir lagi, kita orang luar aja merasa iba. Masa' orangtuanya gak kepikir sanpai ke sana?
Sekali lagi, seperti yang Chi katakan di atas, gak tau ya itu orangtuanya beneran hedon atau enggak. Tapi, yang begitu memang ada. Ujung-ujungnya 'jualan iba'. Makanya Chi gregetan banget lihat yang seperti itu.
22 Comments
Sama mbak.. aku kemana2 sekolah jauh jadi klo sistem zonasi bakalan kalah sebelum perang. Tapi aku manfaatin jalur prestasi jadi anak2 Alhamdulillah masuk pake jalur prestasi itu.
ReplyDeleteAlhamdulillah. Waktu anak saya ikut PPDB DKI, jalur prestasi kuotanya seuprit banget
Deletesekarang masih sistem zonasi ya, jadi bakalan persaingan juga nggak sih, jadi bisa pilih jalur prestasi juga, dan kalau biaya memang jadi faktor utama tapi seringnya biaya juga sesuai dengan fasilitas sekolah
ReplyDeleteSeharusnya gak menjadi persaingan kalau dis etiap radius tertentu ada sekolah. Tujuan zonasi kan supaya semua anak bisa di sekolah terdekat dengan rumah. Masalahnya masih banyak yang domisilnya blind zone. Jalur prestasi juga tergantung provinsia. Masing-masing ada aturannya sendiri. Ya memang semakin mahal sekolah, fasilitasnya biasanya semakin komplit. Makanya orangtua tetap harus menyesuaikan dengan kemampuan finansial
DeleteAku juga udah ga terlalu ngikuti biaya sekolah nih keuali yg kuliah ya. Yang aku tau sih biaya SDIT makin melambung, tapi dulu di sekolah anakku yg SD gak pernah ditagih ke anak kalau ada tunggakan, jadi anak tetap bisa ujian dll.
ReplyDeleteAku ga ngikuti beritanya nih Myra soal ortu itu, tapi bener di real ada juga yg gitu kok dekat malah
Nah iya bisa beda-beda tiap sekolah kebijakannya. Tapi, yang bikin gregetan karena faktanya ada kan ya orangtua yang seperti itu.
Deleteuntuk SD aku pribadi milih sekolah swasta mba, kalau SMP SMA boleh juga negeri dan setuju sekali kalau kita harus banyak mempertimbangkan segala aspek dalam memilih sekolah ini bukan hanya biaya tapi juga visi/misi sekolah, guru2, dll.
ReplyDeleteYup! Kembali ke pilihan masing-masing. Tapi, mau sekolah di manapun tetap baiknya memang mengukur kemampuan. Karena kasihan juga kan anaknya kalau sampai ada masalah di sekolah
DeleteSetuju biaya sekolah memang penting dipertimbangkan saat memilih sekolah. Dan itu ga boleh hanya kita cek biaya uang pangkal dan SPP saja. Cek juga apa ada uang daftar ulang, komite, kas, biaya field trip dan tambahan biaya lain selain SPP yang wajib. Kemudian masukkan juga biaya sosial..anak kita kalau sekolah ke situ uang sakunya bisa enggak ngikuti jajan teman-temannya, kalau jalan sama temannya anak kita ada enggak uang jajannya..dll dst
ReplyDeleteKalau berat mending enggak usah berarti sekolah itu bukan untuk anak kita. Tidak usah memaksa.
Karena pengalaman ada OTM yang maksa jadi saat ada bayaran nunggak...dll. Duh
Aku setuju banget ini, sebelum memilih sekolah itu kita lihat biayanya dulu. Karena kalau aku sendiri sudah pasti pilihnya sekolah swasta karena di sini negerinya lumayan juga jauh dan aku tak bisa bersaing masuk negeri.
ReplyDeletebetul banget ini mak, biaya yang bisa kita sanggupi di saat masuk sampai tamat. Kalau kita bisa memasukkan anak ke sekolah dengan biaya yang mahal saat ini apakah juga bisa bertahan hingga anaknya tamat. inilah pertimbangan pertama memasukkan anak ke sekolah
ReplyDeleteiya, mbak. saya juga setuju kalau orang tua sebaiknya juga mengukur diri saat memilih sekolah anak. kalau anaknya 1 dan penghasilan tetap sih ya bebas aja mau sekolah swasta di mana. nah kalau misalnya anaknya lebih dari satu dan penghasilan juga pas-pasan mending diperhitungkan kembali kan ya biaya sekolah anak ini dan memilih sekolah yang sesuai kemampuan
ReplyDeleteYang jadi pemikiranku, gimana nanti setelah menterinya berganti apakah sistem zonasi ini masih akan dipertahankan. Kalau iya semoga disempurnakan sistemnya sehingga nggak ada celah kecurangan yang dilakukan dengan sistem zonasi
ReplyDeleteIngat sama mama rahimahullah waktu menyarankan daku sekolah di mana, yang dilihat juga adalah lokasinya terjangkau apa nggak. Soalnya kebetulan daku ini suka ada something yang sesuatu untuk urusan hajat pagi hari wkwkwk. Kalo sekolahnya jauh kan bisa berabe sama urusan itu. Jarak deket aja pernah sampe telat datang sekolah wkwkwkw
ReplyDeleteIni pas banget buatku Mak Myr.. Tahun depan anak sulungku masuk SMA. Beda sama Mak Myr yang sudah ancang2 pakai itungan tahun, kami yang pindah-pindah kota ini nggak bisa seperti itu. Ini aku sudah mulai hunting sekolah (swasta) dan biayanya tentu bervariasi. Kami, selaku penyandang dana tentu sudah berhitung heheheh. Mudah2an semua lancar di manapun nanti anak-anak bersekolah.
ReplyDeleteiya sih lihat finansial kita yang utama, ya..gak dpt yang bagus amat.. ya yang sedang, insha Allah dimanapun sekolah..asal semangat dan sungguh2 moga2 berhasil..., semonga anak2 diberi semangat
ReplyDeletemba harga sekolahan saat ini memang ulala ya tapi ya balik lagi dengan kemampuan dan kualitas yang diberikan oleh sekolah tersebut
ReplyDeleteSalah satu kendala orang tua buat pendidikan anaknya adalah ketika lokasi rumah jauh dari zonasi sekolah, maka sudah tepat pilihan Mbak memilih sekolah swasta yang biayanya sedikit murah. Semoga lancar semua sekolah anak-anaknya yah Mbak. Amin.
ReplyDeleteSekolah swasta ini sebenernya menjadi pilihan karena sering mempunyai program-program unggulan yang kalau dihitung dari sisi ekonomis, menurutku jadi jauh lebih hemat. Seperti karena full day, jadi gak perlu les lagi. Atau kalau pun tetap les, anak-anak dapat aktivitas outing menyenangkan setiap bulan ((belajar di alam, biar gak bosen dikelilingin tembok mulu)) atau extrakurikuler yang mengembangkan minat dan bakat anak.
ReplyDeleteHanya memang kalau masalah biaya, seharusnya bisa dikomunikasikan lagi antara pihak sekolah dengan orangtua.
Karena sekolah yang baik, bukan hanya membangun trust bisnis antara pihak sekolah dan orangtua, tetapi juga muamalah yang baik karena ada amanah dalam mengajarkan kebaikan antara pengajar dan murid, adab dan akhlak, dan masih banyak lagi.
Jadi intinya, kudunya gak murni bisnis sii...
Tapi ada kelonggaran yang bisa dipertimbangkan lagi. Karena kondisi finansial keluarga gak selalu stabil. Untuk orangtua yang pekerjaannya wiraswasta, pasti mengalami pasang-surut kondisi finansial seperti ini.
Aku kalau lihat biaya sekolah zaman sekarang cukup ngeri ya Allah. kadang aja pas bayar SPP suka mikir Ya Allah aku bisa biayain anak2 sampai kuliah gak yaaa.
ReplyDeleteTrus suka mikir itu yang bayar sekolahnya di awal kek DP perumahan gaji bapaknya berapa yaaa. (malah mikirin gaji orang hahaha).
Yaa sebagai orang tua maunya kasi yang terbaik buat anak, semoga selalu dikuatkan dan dikasi kesehatan agar bisa mengantar anak2 menuju cita2nya :D
Iya, setuju
ReplyDeleteSebenarnya tidak ada sekolah mahal
Semua sekolah terjangkau, selama kita bisa memilih sesuai dengan kemampuan finansial kita ya mbak
Mungkin menyesuaikan prioritas dalam keluarga kita ya mb. Klo ada yang lebih penting, baiknya sekolah anak di tempat biasa dulu yang biayanya tidak menguras keuangan
ReplyDeleteTerima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^