Setuju gak wisuda untuk TK hingga SMA? Bahasan tentang wisuda di 4
jenjang ini selalu jadi bahasan panas di akhir tahun ajaran. Sepertinya
akan terus jadi perdebatan yang gak berujung.
Perdebatan semakin ramai karena di medsos siapapun bebas beropini.
Tapi, malah terkadang jadi bola liar. Ya, menjadi ramai karena
masing-masing punya sudut pandang. Sayangnya jadi terlihat seperti
menyamakan kondisi di manapun sama. Padahal belum tentu, lho.
Alasan Chi berpendapat seperti itu, karena secara pribadi setuju aja
dengan wisuda. Tetapi, tentu ada beberapa catatan. Dan, berdasarkan
pengalaman mengikuti wisuda dari TK hingga SMA, semua punya aturan
berbeda. Ceritanya pun berbeda. Bahkan, ketika Keke lulus SMA, dia
termasuk segelintir siswa yang menolak ikut wisuda, lho.
Kemendikbudristek: Wisuda TK-SMA Tidak Boleh Jadi Kegiatan Wajib
Nai saat wisuda PAUD. Sempat nangis karena maunya naik panggung ditemenin
Bunda. Jadilah Chi satu-satunya orang tua yang naik ke panggung
hehehe.
Oke, kita berangkat dari pendapat Kemedikbudristek dulu, ya. Apalagi
Chi lihat, banyak netizen yang meminta Mendikbudristek, Nadiem Makarim,
untuk melakukan pelarangan terhadap kegiatan ini.
Kemendikbudristek memang tidak membuat larangan terhadap kegiatan wisuda
TK-SMA. Tetapi, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 75 Tahun 2016 tehtang Komite Sekolah, Pihak sekolah bersama komite
sekolah harus mendiskusikan bersama orang tua murid untuk kegiatan
sekolah.
Peraturan tersebut tidak hanya untuk wisuda, lho. Tetapi, juga untuk
kegiatan lain, misalnya study tour. Karena beberapa orang tua pun ada
yang menuntut dihapuskannya study tour. Alasannya sama seperti wisuda
yaitu memberatkan biaya orang tua.
Nah, lebih jelas lagi dari aturan tersebut ada di Pasal 12. Intinya,
Komite Sekolah DILARANG melakukan kegiatan yang mencederai integritas
sekolah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jadi, jelas kan ya kalau acara seperti wisuda dan study tour gak boleh
ada paksaan. Tapiiii ... Ada 2 hal yang berbeda ketika anak-anak
bersekolah di swasta dan negeri.
Sekolah Negeri di DKI Tidak Mengadakan Wisuda
Wisuda Keke saat TK
Ah, masa' sih? Bukannya di SD ini, SMP itu, SMA sana mengadakan wisuda?
Itu sekolah negeri, lho.
Iya, memang banyak sekolah negeri yang mengadakan wisuda. Termasuk, sekolah Keke dan Nai yang di negeri. Tapi, sebagai orangtua udah tau belum peraturan serta alasannya?
Iya, memang banyak sekolah negeri yang mengadakan wisuda. Termasuk, sekolah Keke dan Nai yang di negeri. Tapi, sebagai orangtua udah tau belum peraturan serta alasannya?
Keke dan Nai mulai sekolah negeri mulai SMP. Kemudian Keke lanjut ke
SMAN, sedangkan Nai SMAnya di swasta. Sebelumnya Chi perjelas dulu kalau
Keke dan Nai sekolah negerinya di Jakarta. Karena bisa aja, kan,
setiap Disdik punya aturan berbeda.
Sampai tahun lalu, Disdik DKI Jakarta memberlakukan aturan sekolah
DILARANG melakukan pungutan apapun terhadap siswa atau orang tua murid.
Jangankan wisuda yang biaya bisa ratusan ribu hingga jutaan. Sekadar
membuka uang kas yang cuma seribu atau dua ribu per minggu/bulan pun gak
boleh. Kalau sampai terbukti sekolah melakukan punutan sanksi keras
bakal diberlakukan, termasuk untuk kepala sekolahnya.
Tapi, selama anak-anak bersekolah di negeri, Chi gak pernah nanya aturan
resminya. Pokoknya percaya aja ma penyampaian Kepsek kalau ada
larangan pungutan apapun. Alhamdulillah, memang selama anak-anak sekolah
di negeri, sekolah gak pernah melakukan pungutan. SPP pun gratis.
Setidaknya itu aturan sampai setahun yang lalu, ya. Sampai Keke lulus
SMA. Chi udah gak ngikutin lagi tahun ini karena Nai, kan, sekolahnya
kembali di swasta. Jadi gak tau, deh, tahun ini aturannya masih sama
atau enggak. Sejak awal masuk SMPN/SMAN walas Keke dan Nai selalu
menekankan tentang larangan pungutan.
Bermasalah Gara-Gara Ada Pungutan
Pernah kejadian waktu Keke kelas 7, banyak orangtua murid yang
menginginkan disediakan projektor. Katanya, supaya siswa gak nyatet di
papan tulis terus. Karena bukan termasuk fasilitas sekolah, para
orangtua pun sepakat untuk patungan.
Setelah terpasang, ternyata kelas lain banyak yang pengen ikutan. Satu
per satu mulai pada pasang projektor di kelas masing-masing. Entah
gimana ceritanya, ada yang mengadu ke Disdik. Mulai terjadi kehebohan
dan masalah besar.
Semua orang tua kelas 7 diminta membuat surat pernyataan bermaterai yang
isinya menyatakan projektor dibeli dengan sukarela tanpa melibatkan
pihak sekolah. Mending kalau 1 kelas 1 surat. Ini per orang tua dan
harus ditulis tangan. Kebayang gak, tuh, berapa ratus surat yang harus
dikumpulin hehehe.
Tapi, Chi mending karena hanya diminta menulis surat pernyataan. Korlas,
Komite Sekolah, dan pihak sekolah lebih ribet lagi. Salah satu orang tua
cerita itu alasan dia gak mau lagi terlibat di komite. Karena pernah
punya pengalaman kurang lebih sama ketika anaknya bersekolah di SD
Negeri. Malah masalahnya hanya karena ada orang tua yang keberatan
dengan uang kas Rp10 ribu sebulan. Tapi, ngadunya ke Disdik, urusannya
pun jadi panjaaaang.
Sampai Keke lulus SMP, gak ketahuan siapa yang melapor ke Disdik. Yang
menyedihkan dari peristiwa itu adalah terjadi kasak-kusuk. Su'udzon
dengan beberapa orang tua. Sedih, lho. Kan, belum tau bener atau enggak.
Malah jadinya ngeghibah dan bisa jadi fitnah. Hiks!
Aturan Disdik DKI dan Daerah Lain Mungkin Saja Berbeda
Keponakan Chi tahun ini lulus SMP. Bulan Februari atau Maret gitu,
jalan-jalan ma sekolahnya ke Jogja. Katanya acara perpisahan. Tentu aja
ada bayaran.
Selama Keke dan Nai bersekolah di negeri, gak ada jalan-jalan sekalipun
yang dilakukan oleh sekolah. Padahal waktu mereka masih TK dan SD, satu
tahun ajaran bisa 2x jalan-jalan. Ya itu balik lagi ke alasan karena gak
boleh melakukan pungutan. Makanya, gak ada yang namanya jalan-jalan,
study tour, atau apa pun namanya.
Waktu Keke mau lulus SMP memang ada acara perpisahannya di salah satu
hotel di Bandung. Tapi, murni orang tua yang buat. Bahkan pihak sekolah
gak ada satu pun yang ikut, termasuk walas. Jadi hanya siswa yang
jalan-jalan, ditemani oleh korlas serta komite. Pihak sekolah, termasuk
walas, gak ikut karena gak mau nanti jadi masalah panjang kayak kejadian
projektor, uang kas, atau apapun.
Karena inisiatif orangtua, makanya bikinnya per kelas. Jadi, tiap kelas beda-beda acara perpisahannya.
Karena inisiatif orangtua, makanya bikinnya per kelas. Jadi, tiap kelas beda-beda acara perpisahannya.
Nah, beda sama keponakan Chi. Acara perpisahan jalan-jalan ke Jogja
justru diselenggarakan oleh sekolah. Tentu guru-guru pun ikut
jalan-jalan. Makanya, di awal Chi bilang bisa jadi aturan Disdik DKI dan
daerah lain berbeda. Karena keponakan Chi ini sekolah negerinya juga
bukan di Jakarta.
Sekolah negeri di DKI melakukan pelepasan, bukan wisuda. Acaranya di sekolah dan pakai seragam. Gak ada biaya sama sekali. Datang kayak ke sekolah aja.
Beda ma keponakan Chi yang sekolah negerinya bukan di DKI. Tetap ada wisuda di sekolah. Pakai baju formal, misalnya yang perempuan berkenaan dan dandan. Ada bayarannya juga. Nah, tapi Chi gak nanya ini acaranya murni dibuat orangtua atau ada sekolah juga terlibat.
Ketika Keke Menolak Ikut Wisuda SMA
Chi ceritain dulu tentang wisuda SMP, ya. Keke ikutan wisuda SMP.
Acaranya diselenggarakan di salah satu hotel berbintang dan cukup mewah.
Tapi, ya, sama kayak acara-acara lainnya. Semuanya diselenggarakan oleh
orangtua. Sekolah gak sedikit pun ikut campur.
Lho, tapi wisuda kan ada semacam menyerahkan ijazah secara simbolis?
Memanggil setiap siswa untuk naik ke panggung. Masa' orangtua yang
melakukan?
Yang melakukan memang pihak sekolah yaitu Kepsek dan Walas. Guru-guru
lain GAK ADA yang hadir. Tapi, pihak sekolah hanya sebagai undangan.
Setelah proses wisuda selesai, dilanjutkan dengan pentas seni. Nah, di
acara pensi ini tinggal siswa dan orangtua yang menikmati acara.
Saat Nai lulus SMP malah gak ada wisuda sama sekali. Karena masih
pandemi. Jadi hanya pelepasan secara sederhana melalui zoom.
[Silakan baca: Pengalaman Mengikuti Wisuda Virtual]
[Silakan baca: Pengalaman Mengikuti Wisuda Virtual]
Memang sih ya saat pandemi semua sekolah melakukan wisuda via Zoom.
Tapi, acara Nai bener-bener sederhana banget. Gak ada tuh pakai baju
formal kayak mau ke pesta dan dandan. Hanya pakai seragam sekolah. Itu
pun bawahannya tetap pakai baju tidur wkwkwkwk. Ya, kan, cuma duduk
doang. Karena acaranya juga cuma dengerin sambutan dan pengumuman
semuanya lulus. Gak disebutin namanya satu per satu. Jadi ya santai aja
pakai bawahan baju tidur hehehe.
Keke menolak ikut wisuda SMA. Alasannya 3 tahun sekolah online karena
pandemi. Udah gak ada keinginan diwisuda.
Bagi kami, secara biaya juga termasuk berat. Karena masing-masing
orangtua diminta patungan sekitar Rp4 juta-an. Memang rinciannya gak
hanya untuk wisuda, tetapi sudah termasuk buku tahunan dan bimbel.
Tetapi, tetap aja hitung-hitungannya bagi kami masih kemahalan. Apalagi
pandemi baru juga mereda, tentu ada orang tua yang masih diterpa cobaan
keuangan.
Tapi, kami menyerahkan semuanya kepada Keke. Bagi beberapa anak bisa
jadi wisuda menjadi salah satu momen spesial. Apalagi dibarengi dengan
prom night. Tentu kami gak ingin membuat Keke menjadi sedih kalau
dilarang wisuda. Kami tetap mengizinkan.
Jadi, penolakan memang murni keinginan Keke. Alasannya seperti yang
disebutkan sebelumnya. Keke juga menolak ikut bimbel yang diadakan
komite sekolah. Karena sudah bimbel di luar sekolah.
Tentu aja terjadi drama. Semacam ada pemaksaan secara halus dari korlas
dan komite. Ya, gak halus-halus banget sebetulnya karena Chi akhirnya
kepancing debat di WAG. Padahal selama ini seringnya silent reader
hehehe.
Ya udah karena merasa gak menemukan titik temu, Chi pun menelpon
Wakepsek. Tentu sebelumnya berdiskusi dengan Walas dulu dan disarankan
menghubungi Wakepsek. Pertanyaan kami simple aja, ijazah dan berkas
penting lainnya akan dipersulit gak kalau menolak diwisuda?
Jawabannya tidak. Penjelasannya masih sama bahwa sekolah negeri di
Jakarta memang dilarang keras melakukan pemungutan. Jadi, gak ada
kewajiban siswa ikut wisuda. Apalagi sampai ada pemaksaan. Bukan sekolah
pula yang bikin acara tersebut. Setelah dapat penjelasan tersebut, kami
pun memutuskan gak mau ikutan patungan. Kalaupun sampai ada omongan ini
itu di WAG, pura-pura gak lihat aja lah, ya. Kalau perlu keluar dari
grup 😂😂.
Yang juga perlu di-highlight adalah
ternyata masih banyak orang tua yang belum tau tentang hal ini. Gak mau nanya, tapi langsung berasumsi kalau sekolah yang mewajibkan sehingga orangtua
terpaksa membayar. Ujung-ujungnya menyalahkan sekolah. Padahal berbagai kegiatan
seperti itu, termasuk wisuda, murni urusan orang tua, lho.
Nah, saran Chi, coba tanyakan ke sekolah masing-masing tentang hal ini
kalau sekolahnya di negeri. Jangan bikin asumsi sendiri. Apalagi
langsung nyalahin sekolah. Lebih ribet lagi kalau langsung misuh-misuh
di medsos. Kemudian menjadi viral dan menjadi bola liar.
Padahal sebetulnya bisa diselesaikan dulu secara internal. Apalagi
seperti yang Wakepsek Keke bilang kalau setiap tahun selalu ada aja
orangtua yang gak tau tentang larangan melakukan pungutan di sekolah
negeri di DKI Jakarta. Tapi, bukannya nanya malah langsung nyalahin
sekolah.
Kami pun sebetulnya udah tau aturan ini sejak anak-anak masuk negeri. Tapi, sengaja menelpon untuk memastikan peraturannya. Alhamdulillah, Keke tetap dapat ijazah dan berkas lain sesuai waktunya. Gak ditahan atau ditunda hanya karena dia menolak diwisuda.
Kalau begitu, kenapa gak sekalian dilarang aja? Kan, udah jelas pihak sekolah memang gak bisa melakukan pungutan.
Kalau dari penjelasan sekolah, banyak orang tua yang tetap ingin ada wisuda. Alasannya kurang afdol kalau hanya pelepasan. Anak-anak juga jadi gak punya momen perpisahan seru sama teman-temannya.
Akhirnya, diambil jalan tengah. Silakan bikin wisuda, tetapi jangan libatkan sekolah. Dan, jangan pula diwajibkan. Makanya, Keke pun tetap dibolehkan gak ikut wisuda. Semua berkas yang menjadi haknya tetap diberikan dengan lancar.
Kami pun sebetulnya udah tau aturan ini sejak anak-anak masuk negeri. Tapi, sengaja menelpon untuk memastikan peraturannya. Alhamdulillah, Keke tetap dapat ijazah dan berkas lain sesuai waktunya. Gak ditahan atau ditunda hanya karena dia menolak diwisuda.
Kalau begitu, kenapa gak sekalian dilarang aja? Kan, udah jelas pihak sekolah memang gak bisa melakukan pungutan.
Kalau dari penjelasan sekolah, banyak orang tua yang tetap ingin ada wisuda. Alasannya kurang afdol kalau hanya pelepasan. Anak-anak juga jadi gak punya momen perpisahan seru sama teman-temannya.
Akhirnya, diambil jalan tengah. Silakan bikin wisuda, tetapi jangan libatkan sekolah. Dan, jangan pula diwajibkan. Makanya, Keke pun tetap dibolehkan gak ikut wisuda. Semua berkas yang menjadi haknya tetap diberikan dengan lancar.
Nah, buat sekolah atau komite yang tetap ingin mengadakan wisuda, bijaklah menentukan biaya. JANGAN ADA PEMAKSAAN. Kan, bisa diukur rata-rata ekonomi keluarga di sekolah masing-masing. Kasih keringanan biaya bagi yang gak mampu.
Setiap Sekolah Swasta Punya Rincian Biaya yang Berbeda
Berbeda dengan sekolah negeri, kalau di swasta tentu ada biayanya. Besar
kecilnya relatif. Tergantung sekolah swasta mana yang dipilih. Tapi,
biasanya ada uang pangkal dan SPP. Kalau uang daftar ulang dan lainnya
kembali ke kebijakan sekolah masing-masing.
Perhatikan Rincian Pembiayaan di Sekolah Swasta
Waktu Keke dan Nai TK ada gak ada uang daftar ulang. Jadi, hanya
membayar uang pangkal dan SPP plus biaya untuk pentas seni di akhir
tahun. Kalau jalan-jalan, seingat Chi udah termasuk dalam kegiatan
sekolah yang gak perlu bayar lagi.
Sebelum mulai tahun ajaran baru, Nai harus daftar ulang. Tentu aja ada
biayanya sebesar Rp1.250.000,00. Naik sedikit dari tahun lalu. Nah,
teman-teman suka perhatiin gak biaya daftar ulang yang dibayar mencakup
apa aja?
Perinciannya bisa beda-beda di tiap sekolah, lho. Waktu Keke dan Nai SD
juga ada biaya daftar ulang. Seingat Chi kisaran Rp3 juta-an. Jadi,
setiap tahun kami menganggarkan biaya sekitar Rp7-8 juta untuk daftar
ulang.
Kalau dibandingkan dengan biaya daftar ulang Nai di SMA, malah lebih
besar saat SD, ya. Malah itu biaya sekian tahun lalu. Sekarang mungkin
bisa lebih besar lagi biayanya.
Tapi, biaya daftar ulang saat SD udah mencakup semua perlengkapan dan
kegiatan. Buku-buku pelajaran, berwisata sama sekolah 2x dalam setahun,
hingga wisuda udah gak diminta bayaran lagi. Bisa dikatakan selama
anak-anak SD, kami hanya mengeluarkan biaya untuk uang pangkal, daftar
ulang, dan spp. Oiya, ada biaya perpisahan juga, menginap di villa atau
hotel.
Sedangkan biaya di sekolah Nai saat SMA masih ada plus-plusnya. Ada
uang buku-buku LKS, study tour, dan PAS (Penilaian Akhir Semester).
Mungkin nanti wisuda juga ada biaya lagi.
Sebaiknya Jangan Memaksakan Kehendak
Kalau dibandingkan, Chi memang lebih suka pembiayaan saat anak-anak SD.
Karena gak banyak printilannya. Cukup bayar SPP setiap bulan dan uang
daftar ulang setiap tahun. Uang pangkal, kan, hanya sekali saat
mendaftar. Sedangkan uang perpisahan juga hanya sekali di kelas 6.
Pembiayaan saat TK juga sama enaknya. Malah gak ada uang daftar ulang.
Jadi SPP aja setiap bulan hingga lulus. Lalu, bayar lagi untuk wisuda
dan pentas seni setahun sekali.
Bukan berarti juga pembiayaan di SMA gak enak, ya. Tetap terukur dan
jelas, kok. Gak ada biaya-biaya ghoib atau pungutan gak jelas.
Ketiganya punya persamaan yaitu sama-sama gak ada uang kas. Mungkin karena semua pembiayaannya jelas, ya. Fasilitas sekolah bisa terpenuhi dengan baik. Jadi, gak ada alasan untuk mengumpulkan uang kas.
Ketiganya punya persamaan yaitu sama-sama gak ada uang kas. Mungkin karena semua pembiayaannya jelas, ya. Fasilitas sekolah bisa terpenuhi dengan baik. Jadi, gak ada alasan untuk mengumpulkan uang kas.
Karena dari pengalaman kami setiap sekolah swasta punya pembiayaan
beda-beda, maka sebaiknya jangan memaksakan harus sama. Boleh banget
tanya sedetil mungkin. Tapi, jangan malah jadi kita yang ngatur-ngatur,
apalagi sampai maksa. Kalau memang gak setuju, ya, cari sekolah
lain.
Contohnya, nih, di sekolah Nai sekarang ada biaya untuk PAS (UAS kalau
Chi bilangnya hehehe) sebesar Rp250 ribu. Jadi, total per tahun biayanya
Rp500 ribu. Tentu sebelum mendaftar Chi menanyakan alasan ada biaya
tersebut. Sekolahnya pun menjelaskan alasannya.
Dari penjelasan tersebut tetap masih ada sedikit kurang sreg, ya.
Tapi, kan, banyak pertimbangan yang akhirnya tetap menyekolahkan Nai di
sana. Jangan sampai memaksakan tetap pengen sekolah di sana, tapi
menolak membayar uang PAS. Alasannya hanya karena saat SD dan SMP gak
ada bayaran untuk ujian akhir. Ya gak bisa lah disama-samain gitu. Jadi,
kalau hanya sedikit gak sreg, ya ikutin aja aturannya kalau memang tetap
ingin sekolah di sana.
Nah, begitu pun dengan wisuda atau biaya lainnya. Sebaiknya ditanyain
secara detil sebelum memutuskan memilih sekolah. Kalau termasuk yang
setuju dengan wisuda, ya jangan memaksakan diri untuk bersekolah swasta
yang selalu wisudaan.
Kalau untuk berdiskusi, Chi rasa masih bisa. Ketika Keke dan Nai SD
juga ada beberapa anak yang ekonomi orangtuanya kurang mampu. Jadi,
ketika acara perpisahan, orang tua lainnya ikut nalangin supaya
anak-anak tersebut bisa tetap ikut tanpa orangtuanya diwajibkan
membayar.
Nah, mungkin bagi orangtua yang ingin anaknya bersekolah di salah satu
sekolah, tapi kurang sreg karena ada wisuda, bisa berdiskusi. Kalau gak
ikut wisuda dibolehin gak? Siapa tau sekolahnya mengizinkan. Tapi, kalau
ternyata gak dibolehin, sebaiknya jangan memaksakan. Coba cari
alternatif sekolah lain.
Tapi, gimana kalau sekolah lain jauh lokasinya atau itu hanya
satu-satunya sekolah?
Sejujurnya, Chi belum mengalami kondisi begini. Karena jumlah sekolah
cukup banyak di sini. Apalagi sekolah swasta.
Tapi, saran Chi tetap sama. Coba didiskusikan dulu dengan pihak
sekolah. Karena apa pun kalau dipaksakan memang gak enak. Bisa-bisa
malah jadi bentrok dan kurang baik untuk kedua belah pihak.
Sebetulnya Wisuda atau Pentas Seni?
"Wisuda terus dari TK sampai SMA. Nanti jadi gak spesial lagi kalau
diwisuda sarjana."
Menurut Chi, belum tentu juga. Meskipun sama-sama wisuda, tapi
prosesinya berbeda. Di jenjang TK hingga SMA seremonialnya lebih
sederhana. Durasinya juga lebih pendek. Lebih lama pentas seninya.
Nah, wisuda dan pentas seni selalu dibuat sepaket. Makanya Chi setuju
ada wisuda karena sebetulnya pengen lihat Keke dan Nai mentas. Selalu
terharu banget melihat anak-anak perform.
Tapi, Chi pernah baca tweet salah seorang netizen, katanya di salah
satu TK ada wisudaan pakai lagu Gaudeamus Igitur. Agak berlebihan ya
menurut Chi kalau sampai ada lagu itu. Ya, mungkin teman-teman punya
pendapat berbeda. Silakan aja.
Jadi, inti dari postingan yang panjang ini adalah kami termasuk yang
setuju aja ada wisuda. Seremonialnya juga berbeda dengan universitas.
Malah sebetulnya lebih ke pentas seni. Momennya aja dibarengin.
Waktu PAUD dan TK memang pakai toga gitu. Tapi, tetap gak kayak wisuda sarjana. Emang wisuda-wisudaan aja. Prosesinya juga sebentar banget. Lamaan pentas seninya.
Sekarang, kan, hampir masuk tahun ajaran baru. Kalau teman-teman sedang mencari sekolah baik negeri atau swasta, sebaiknya tanya sedetil mungkin, termasuk biayanya. Lebih bagus lagi kalau juga tau aturannya. Gak apa-apa kok banyak nanya dan mencari tau. Daripada nanti terkaget-kaget sendiri.