3K, Kunci Keberhasilan Pola Asuh - Apa mungkin kita bisa sukses menerapkan pola asuh dengan 3K?
Banyak yang bilang -dari mulai pakar hingga masyarakat biasa- katanya menjadi orang tua berarti harus siap belajar seumur hidup. Gak ada yang namanya sekolah menjadi orang tua. Kalau gadget ada buku panduannya, menjadi orang tua mungkin ada juga, misalnya berbagai macam buku parenting, info dari internet, hingga berbagai seminar parenting. Cuma perbedaannya, gadget adalah sebuah benda. Kita bisa menstel dan meperbaiki gadget dengan mengikuti buku panduan. Kalau gak bisa juga, tinggal datang ke teknisi.
Sedangkan mendidik anak tidak begitu. Yang kita hadapi adalah manusia seperti halnya kita. Dari lahir mereka sudah mempunyai sifatnya sendiri-sendiri. Buku parenting mungkin saja banyak kita miliki, banyak info dari google yang sudah kita baca, belum lagi datang ke seminar parenting pun sampai berkali-kali. Tapi, tetap saja dalam mendidik anak, gak semudah membalikkan telapak tangan. Berdasarkan pengalaman, ada 3 hal mendasar yang bisa menjadi kunci keberhasilan pola asuh.
Banyak yang bilang -dari mulai pakar hingga masyarakat biasa- katanya menjadi orang tua berarti harus siap belajar seumur hidup. Gak ada yang namanya sekolah menjadi orang tua. Kalau gadget ada buku panduannya, menjadi orang tua mungkin ada juga, misalnya berbagai macam buku parenting, info dari internet, hingga berbagai seminar parenting. Cuma perbedaannya, gadget adalah sebuah benda. Kita bisa menstel dan meperbaiki gadget dengan mengikuti buku panduan. Kalau gak bisa juga, tinggal datang ke teknisi.
Sedangkan mendidik anak tidak begitu. Yang kita hadapi adalah manusia seperti halnya kita. Dari lahir mereka sudah mempunyai sifatnya sendiri-sendiri. Buku parenting mungkin saja banyak kita miliki, banyak info dari google yang sudah kita baca, belum lagi datang ke seminar parenting pun sampai berkali-kali. Tapi, tetap saja dalam mendidik anak, gak semudah membalikkan telapak tangan. Berdasarkan pengalaman, ada 3 hal mendasar yang bisa menjadi kunci keberhasilan pola asuh.
Kompak
Bunda: "Ke, misalnya nih, ada teman Keke yang suka malak. Keke gak suka dipalakin. Tindakan Keke apa?"
Keke: "Keke bakal lawan, Mau Keke tendang aja."
Bunda: "Masa' langsung ditendang? Apa gak sebaiknya Keke bilang dengan tegas dulu ke yang pemalaknya? Kalau belum berhasil juga, lapor ke guru atau Bunda. Pokoknya, usahakan melawan secara fisik itu tindakan terakhir."
Keke: "Lho, ayah bilang ke Keke kalau ada yang kayak gitu harus dilawan. Sekarang Bunda bilang jangan. Sebetulnya Keke harus bersikap gimana, sih? Jadi bingung!"
Bunda: "Oh, ayah pernah kasih pertanyaan yang sama, ya. Hmmm... mungkin maksud ayah juga sama dengan Bunda. Dengan kita berani bilang tegas gak suka dipalak juga bentuk perlawanan, kan? Tapi, nanti Bunda ngobrol dulu sama ayah, deh. Biar Bunda juga tau yang dimaksud lawan sama ayah itu apa."
Ternyata, tanpa sepengetahuan Chi, Keke dan ayahnya juga pernah mendiskusikan hal yang sama. Gak salah, sih. Karena kadang diskusi antara anak dengan bunda atau ayah terjadi secara spontan aja. Kayak pembicaraan di atas, itu juga terjadi spontan. Saat di perjalanan, sepulang sekolah.
Dalam menerapkan pola asuh kita gak bisa sendiri. Ibu harus bekerja sama dengan ayah. Lalu bagaimana dengan orang tua yang berstatus single parent? Tetep aja, gak bisa sendiri. Kita harus bekerja sama dengan banyak pihak. Dengan orang tua, asisten rumah tangga, pihak sekolah, dan lain sebagainya. Jangan sampai atau paling tidak minimalkan kejadian dimana kita mengajar begini, sedangkan pihak lain mengajarkan begitu.
Masih ingat postingan Chi yang berjudul 5 TipMengajarkan Anak Terbiasa Makan Dengan Tertib? Diantaranya Chi menulis kalau ada perbedaan kebiasaan dalam membiasakan Nai makan. Chi pengennya semua anak duduk di rumah saat makan. Tapi, asisten rumah tangga yang dengan segala macam alasannya, selalu membiasakan Nai makan sambil digendong dan jalan-jalan. Hasilnya, lebih sulit mengajarkan Nai untuk makan dengan tertib karena ada 2 perbedaan pola asuh.
Cerita tentang kekompakan lainnya adalah saat Chi harus menyapih Keke dan Nai. Chi sudah membuat postingannya dengan judul Weaning with Love. Setiap kali berencana akan menyapih, Chi dan K'Aie selalu berdiskusi lebih dahulu untuk memutuskan kapan saat yang tepat untuk menyapih. Kenapa? Karena proses menyapih bukan hanya sekedar tidak lagi memberikan ASI ke anak setelah itu beres. Tapi, ada yang namanya mellow. Gak cuma anaknya, ibunya juga bisa mellow berat. Akan timbul rasa gak tega untuk ibu, rewel banget untuk anak. Belum lagi kalau ibunya udah mantap menyapih, eh ayahnya yang gak tega.; Trus, meminta istrinya untuk kembali menyusui. Bisa kacau itudunia persilatan rumah tangga hehehe. Makanya, setelah ada kata sepakat diantara kami, K'Aie selalu menngambil cuti setiap kali saatnya proses menyapih tiba. Dan, buat Chi itu sangat membantu banget! Karena proses menyapih itu melelahkan lahir batin hihihi. Jadi, dukungan suami memang mantab banget. *Terima kasih, Yah. Love you :L*
Tentang masalah kekompakan memang bisa terjadi dari sejak anak dilahirkan hingga kapan pun. Skalanya bisa berbeda-beda, dari kecil hingga besar. Contoh kebingungan Keke tentang maksud melawan itu cuma contoh kecil. Karena belum kejadian dan untungnya kami jadi bisa mendiskusikan hal ini. KAlau Chi amati, salah satu masalah kekompakan lain yang sering terjadi adalah perbedaan pola asuh antara orang tua dengan asisten atau bahkan dengan orang tua.
Chi pun pernah mengalaminya. Ada satu masa dimana setiap kali Chi menegur Keke atau Nai, mereka selalu ke kamar orang tua Chi. Mereka gak terang-terangan minta bantuan, sih. Tapi, dengan begitu aja sudah bisa diartikan kalau mereka minta minta perlindungan. Perlindungan dalam artian mereka gak mau ditegur oleh orang tuanya.
Tentu aja kejadian tersebut suka bikin jengkel. Kalau salah, anak-anak harus dikasih tau hingga ditegur bila perlu. Tapi kalau setiap kali Chi kasih tau atau menegur mereka selalu berlindung, akhirnya pesannya gak pernah sampai. Karena selalu dapat pembelaan dari kakek atau nenek. Kalau sudah begitu, kadang Chi cuma bisa diam dan jengkel sendiri *dilampiaskannya setelah K'Aie pulang kantor*. Atau kadang meledak juga marahnya. Belum lagi kalau ada perbedaan pola asuh. Dimana Chi mendidik Keke dan Nai dengan cara A, orang tua dengan cara B. Kalau ada perbedaan seperti begini, anak akan memilih mana yang lebih menguntungkan buat mereka.
Gak bisa kejadian seperti itu terus didiamkan. Bagaimanapun juga harus ada kekompakan dalam pola asuh. Karena Chi dan K'Aie adalah orang tua Keke dan Nai, kami ingin Nai lebih mendengarkan kami. Apalagi, Chi kan di rumah. Artinya, waktu yang Chi punya memang utamnya adalah untuk mengurus Keke dan Nai. Lebih mendengarkan bukan berarti kami mengajarkan anak-anak supaya menjauhi kakek dan neneknya. Lebih mendengarkan juga bukan berarti membuat keluarga kami menjadi tidak hormat kepada orang tua. Ini semua demi kekompakan. Gak baik kalau perbedaan yang menjadi masalah dibiarkan terus-menerus. Memang butuh proses yang tidak instan sampai kemudian kami akhirnya bisa mencapai keadaan yang seperti sekarang. Keadaan yang lebih saling mengerti satu sama lain.
Kekompakan dengan pihak lain di luar rumah juga diperlukan. Dengan pihak sekolah, misalnya. Itulah kenapa Chi sering bertanya tentang attitute Keke dan Nai ke wali kelas. Gak cuma saat terima rapor aja. Kompak dengan pihak luar juga gak kalah penting. Jangan sampai terjadi perbedaan yang memicu masalah. Apalagi dengan sekolah, dimana selama sekian jam. 5 hari dalam seminggu, para pengajar adalah perwakilan orang tua. Sebagai orang tua, Chi gak bisa menemani saat mereka sedang belajar di sekolah. Jadi, memang perlu ada kekompakan, supaya Chi juga tenang menitipkan anak-anak di sekolah.Alhamdulillah, sejauh ini Chi merasa masih mendapatkan guru-guru yang baik bagi anak-anak.
Bagaimana kekompakan teman-teman dengan pola asuh? Pengalaman sebagai orang tua? Atau yang belum jadi orang tua juga bisa cerita, kok. Untuk 2K yang lainnya, Chi ceritakan di postingan berikutnya, ya.
Bersambung...
Keke: "Keke bakal lawan, Mau Keke tendang aja."
Bunda: "Masa' langsung ditendang? Apa gak sebaiknya Keke bilang dengan tegas dulu ke yang pemalaknya? Kalau belum berhasil juga, lapor ke guru atau Bunda. Pokoknya, usahakan melawan secara fisik itu tindakan terakhir."
Keke: "Lho, ayah bilang ke Keke kalau ada yang kayak gitu harus dilawan. Sekarang Bunda bilang jangan. Sebetulnya Keke harus bersikap gimana, sih? Jadi bingung!"
Bunda: "Oh, ayah pernah kasih pertanyaan yang sama, ya. Hmmm... mungkin maksud ayah juga sama dengan Bunda. Dengan kita berani bilang tegas gak suka dipalak juga bentuk perlawanan, kan? Tapi, nanti Bunda ngobrol dulu sama ayah, deh. Biar Bunda juga tau yang dimaksud lawan sama ayah itu apa."
Ternyata, tanpa sepengetahuan Chi, Keke dan ayahnya juga pernah mendiskusikan hal yang sama. Gak salah, sih. Karena kadang diskusi antara anak dengan bunda atau ayah terjadi secara spontan aja. Kayak pembicaraan di atas, itu juga terjadi spontan. Saat di perjalanan, sepulang sekolah.
Dalam menerapkan pola asuh kita gak bisa sendiri. Ibu harus bekerja sama dengan ayah. Lalu bagaimana dengan orang tua yang berstatus single parent? Tetep aja, gak bisa sendiri. Kita harus bekerja sama dengan banyak pihak. Dengan orang tua, asisten rumah tangga, pihak sekolah, dan lain sebagainya. Jangan sampai atau paling tidak minimalkan kejadian dimana kita mengajar begini, sedangkan pihak lain mengajarkan begitu.
Masih ingat postingan Chi yang berjudul 5 TipMengajarkan Anak Terbiasa Makan Dengan Tertib? Diantaranya Chi menulis kalau ada perbedaan kebiasaan dalam membiasakan Nai makan. Chi pengennya semua anak duduk di rumah saat makan. Tapi, asisten rumah tangga yang dengan segala macam alasannya, selalu membiasakan Nai makan sambil digendong dan jalan-jalan. Hasilnya, lebih sulit mengajarkan Nai untuk makan dengan tertib karena ada 2 perbedaan pola asuh.
Cerita tentang kekompakan lainnya adalah saat Chi harus menyapih Keke dan Nai. Chi sudah membuat postingannya dengan judul Weaning with Love. Setiap kali berencana akan menyapih, Chi dan K'Aie selalu berdiskusi lebih dahulu untuk memutuskan kapan saat yang tepat untuk menyapih. Kenapa? Karena proses menyapih bukan hanya sekedar tidak lagi memberikan ASI ke anak setelah itu beres. Tapi, ada yang namanya mellow. Gak cuma anaknya, ibunya juga bisa mellow berat. Akan timbul rasa gak tega untuk ibu, rewel banget untuk anak. Belum lagi kalau ibunya udah mantap menyapih, eh ayahnya yang gak tega.; Trus, meminta istrinya untuk kembali menyusui. Bisa kacau itu
Tentang masalah kekompakan memang bisa terjadi dari sejak anak dilahirkan hingga kapan pun. Skalanya bisa berbeda-beda, dari kecil hingga besar. Contoh kebingungan Keke tentang maksud melawan itu cuma contoh kecil. Karena belum kejadian dan untungnya kami jadi bisa mendiskusikan hal ini. KAlau Chi amati, salah satu masalah kekompakan lain yang sering terjadi adalah perbedaan pola asuh antara orang tua dengan asisten atau bahkan dengan orang tua.
Chi pun pernah mengalaminya. Ada satu masa dimana setiap kali Chi menegur Keke atau Nai, mereka selalu ke kamar orang tua Chi. Mereka gak terang-terangan minta bantuan, sih. Tapi, dengan begitu aja sudah bisa diartikan kalau mereka minta minta perlindungan. Perlindungan dalam artian mereka gak mau ditegur oleh orang tuanya.
Tentu aja kejadian tersebut suka bikin jengkel. Kalau salah, anak-anak harus dikasih tau hingga ditegur bila perlu. Tapi kalau setiap kali Chi kasih tau atau menegur mereka selalu berlindung, akhirnya pesannya gak pernah sampai. Karena selalu dapat pembelaan dari kakek atau nenek. Kalau sudah begitu, kadang Chi cuma bisa diam dan jengkel sendiri *dilampiaskannya setelah K'Aie pulang kantor*. Atau kadang meledak juga marahnya. Belum lagi kalau ada perbedaan pola asuh. Dimana Chi mendidik Keke dan Nai dengan cara A, orang tua dengan cara B. Kalau ada perbedaan seperti begini, anak akan memilih mana yang lebih menguntungkan buat mereka.
Gak bisa kejadian seperti itu terus didiamkan. Bagaimanapun juga harus ada kekompakan dalam pola asuh. Karena Chi dan K'Aie adalah orang tua Keke dan Nai, kami ingin Nai lebih mendengarkan kami. Apalagi, Chi kan di rumah. Artinya, waktu yang Chi punya memang utamnya adalah untuk mengurus Keke dan Nai. Lebih mendengarkan bukan berarti kami mengajarkan anak-anak supaya menjauhi kakek dan neneknya. Lebih mendengarkan juga bukan berarti membuat keluarga kami menjadi tidak hormat kepada orang tua. Ini semua demi kekompakan. Gak baik kalau perbedaan yang menjadi masalah dibiarkan terus-menerus. Memang butuh proses yang tidak instan sampai kemudian kami akhirnya bisa mencapai keadaan yang seperti sekarang. Keadaan yang lebih saling mengerti satu sama lain.
Kekompakan dengan pihak lain di luar rumah juga diperlukan. Dengan pihak sekolah, misalnya. Itulah kenapa Chi sering bertanya tentang attitute Keke dan Nai ke wali kelas. Gak cuma saat terima rapor aja. Kompak dengan pihak luar juga gak kalah penting. Jangan sampai terjadi perbedaan yang memicu masalah. Apalagi dengan sekolah, dimana selama sekian jam. 5 hari dalam seminggu, para pengajar adalah perwakilan orang tua. Sebagai orang tua, Chi gak bisa menemani saat mereka sedang belajar di sekolah. Jadi, memang perlu ada kekompakan, supaya Chi juga tenang menitipkan anak-anak di sekolah.Alhamdulillah, sejauh ini Chi merasa masih mendapatkan guru-guru yang baik bagi anak-anak.
Bagaimana kekompakan teman-teman dengan pola asuh? Pengalaman sebagai orang tua? Atau yang belum jadi orang tua juga bisa cerita, kok. Untuk 2K yang lainnya, Chi ceritakan di postingan berikutnya, ya.
Bersambung...
14 Comments
Bener banget .kompak itu penting..kompak sama suami jg sama orangtua supaya anak2 juga ga bingung :)
ReplyDeleteGelar tiker sambil ngemil nunggu postingan selanjutnya
postingan lanjutannya belum saya bikin juga, Mak hehehe
DeleteJadi inget waktu menyapih Intan dulu. Pas dua tahun, dan Alhamdulillahnya, gampang banget, cukup dengan ngolesin balsem di payudara, dan Intan langsung prihatin karena nenen Umi sakit, dan sabar nungguin sampai 'sembuh'. Akhirnya, Uminya yang terenyuh dan tergoda untuk 'menyembuhkan' diri dan memberi waktu tambahan bagi Intan. Haha.
ReplyDeleteNice share, Chi!
Memang harus kompak.
ReplyDelete*nungguin cerita selanjutnya*
kadang saya kurang kompak sm suami, soalnya lupa ngasih tau dulu peraturannya. XD
ReplyDeletedalam perjalanannya juga kadang saya suka ada gak kompaknya. apalagi untuk sesuatu yang spontan. Belum tentu kompak. Tapi setidaknya kita sellau berusaha kompak :)
DeleteWah.. aku ndak bisa share apa-apa Chi.. nyerap ilmu dari Chi aja buat bekal masa depan :)
ReplyDeleteyang pertama KOMPAK , yang selnjutnya apa ya ? *catet
ReplyDeleteselanjutnya ditunggu aja, ya :)
DeleteRule of Game ngasuh anak adalah salah satu saya dan calon suami [waktu itu] bicarakan sebelum menikah. Penting, mencegah dualisme pada anak. Walau ga tahu bakal punya anak atau ngga tapi optimis aja punya anak jika menikah hehehehe
ReplyDeletesaya juga membahas beberapa rule of game sebelum menikah, Mbak. Memang penting, ya :)
DeleteIya bener, kudu kompak :)
ReplyDeleteSepakat Chi, kekompakan memang salah satu modal penting, biar anak nggak bingung pola mana yang harus diikuti..
ReplyDeleteSepakaaat mbaak.. emak-bapak harus kompak dulu ya biar anak gak bingung. ;)
ReplyDeleteTerima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)
Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^