"Yakin, mau resign? Emang mau ngapain? Awalnya aja yang enak. Bisa santai-santai, dasteran, gak mikir dandan, bisa nonton infotainment sampe puas. Tapi, lama-lama bosen juga kali. Mau ngobrol sama temen juga susah, karena rata-rata udah pada punya kegiatan."

Entah berapa banyak yang mengeluarkan nada serupa, ketika tau Chi memutuskan untuk resign beberapa bulan sebelum menikah. Rasanya, cuma K'Aie yang benar-benar mendukung tanpa banyak nanya ini-itu. Mungkin, karena K'Aie sudah tau seberapa kuat keinginan Chi untuk resign saat itu. K'Aie juga tau, alasan Chi memilih resign. Alasan yang sangat pribadi.

Sebetulnya, Chi cukup heran juga, kenapa waktu dipelakukan seperti itu lebih memilih diam. Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin karena saat itu Chi juga gak tau jawabannya. Iya, Chi suka nonton tv, tapi kayaknya gak sampe addict, deh. Ngeblog? Bahkan, saat itu, tidak ada internet di rumah. Cuma 1 aja yang Chi yakin jawabnya, yaitu gak akan pake daster karena memang gak suka dasteran sampe sekarang.

Hmmm... apa jadinya kalau kemudian mereka yang menyangsikan keputusan itu tau kalau Chi diam karena gak bisa jawab. Apalagi kalau sampe tau, untuk memasak pun Chi gak bisa. Dulu, boro-boro masak. Membedakan mana merica dan ketumbar aja, Chi kebingungan. Wah! Bisa-bisa mereka semakin gak yakin sama keputusan Chi. Dan, semakin merasa berhak jadi 'sutradara' dalam kehidupan Chi. Lagipula, sering kali Chi menemui banyak orang yang beranggapan status ibu rumah tangga itu diiringi dengan kata 'cuma' di depannya. Cuma ibu rumah tangga. Kalau udah tercipta persepsi seperti itu, ngapain juga Chi debat?

Waktu juga yang membuktikan ... Yup! Untung aja waktu itu Chi cuma diam atau paling senyum aja. Berusaha untuk tidak terpengaruh dengan segala persepsi yang mereka buat. Karena memang yang membuktikan hanyalah waktu. Alhamdulillah, kali ini, Chi bisa jawab kalau keputusan yang waktu diambil adalah keputusan tepat.

Di cerita lain ...

Chi pernah kaget waktu salah seorang teman menganggap Chi sudah memperlakukan suami seperti seorang asisten rumah tangga. Gara-gara Chi bercerita kalau Chi dan K'Aie itu melakukan pola asuh dan mengerjakan urusan rumah secara bersama bersama. Temen Chi beranggapan kalau seorang suami tugasnya mencari nafkah, sedangkan urusan pola asuh anak dan rumah adalah tugas istri. Apalagi, Chi juga 'cuma' seorang ibu rumah tangga, katanya.

Lagi-lagi, Chi lebih memilih diam. Kesel, sih. Tapi, Chi memilih menumpahkan segala kesal itu ke K'Aie. Kata K'aie, gak usah dipikirin. Lagian K'Aie juga gak merasa dianggap asisten rumah tangga sama istrinya. Kalaupun ada yang beranggapan seperti itu, ya bisa jadi karena rumah tangga yang dijalaninya mempunyai aturan lain yang berbeda dengan keluarga kami. Biarkan saja. Kita juga gak usah ikutan mengatur atau menilai-nilai.

Lega dan tenang mendengar jawaban K'Aie. Setelah tenang, Chi menuliskan pengalaman tersebut dan kirim ke media. Alhamdulillah untuk pertama kalinya tulisan Chi tayang di media. Jadi, untuk teman yang sudah menganggap Chi seperti itu, terima kasih, ya. Karena persepsimu, jadilah sebuah tulisan dan masuk media :).


We must no allow other's people limited perceptions to define us - Virgina Satir


Persepsi memang bisa mempengaruhi kita. Chi meyakini itu ... Kita bisa menjadi bahagia atau sedih hanya karena persepsi yang orang buat terhadap diri kita. Tapi, semuanya kembali ke diri kita lagi. Kalau kita merenung, apa kita mau menjadi seseorang berdasarkan persepsi yang orang lain buat?

Dalam sehari, berapa kali kita membuat persepsi terhadap orang lain? Sering banget, sering aja, kadang-kadang, jarang, atau gak pernah sama sekali? Chi ingat di buku terbaru Adjie Silarus, 'Sadar Penuh Hadir Utuh', pada bab Semua Berawal Dari Persepsi, ada cerita tentang seorang penyanyi papan atas makan ayam goreng fast food sepotong berdua dengan temannya.

Ketika kemudian ada seseorang yang memotret, mengupload di media sosial, dan memberi caption kurang lebih, "Ih, penyanyi seterkenal itu, kok, beli ayam goreng satu potong untuk berdua." Untung aja penyanyi papan atas tersebut hanya merasa heran. Apa salahnya seorang seleb makan sepotong ayam berdua? Kok, kesannya kayak buruk banget.

Tulisan Adjie Silarus tentang kejadian penyanyi papan atas di bukunya itu, menggelitik Chi. Kembali Chi merenung, sudah berapa sering, Chi melakukan persepsi seperti itu? Seberapa besar pengaruh persepsi yang telah kita lakukan terhadap orang lain? Karena tidak semua orang seperti penyanyi papan atas tersebut yang cuma bersikap heran. Di luar sana, masih banyak yang terpengaruh hidupnya karena persepsi yang kita buat. Persepsi seseorang memang bisa membuat kita tersenyum, tertawa, menangis, sakit hati, hingga merubah hidup seseorang.

Chi pernah menjalani hidup yang sangat tergantung dengan persepsi. Mau melangkah itu selalu ragu-ragu. Selalu ada bisikan, "Apa kata orang kalau Chi begini.. begitu?" Memang benar, sebagai manusia kita harus punya citra yang baik. Tapi, kalau apa yang kita lakukan selalu karena persepsi orang, lama-lama jadi merasa bukan diri kita sendiri. Sedih dan bahagia yang kita dapat akibat persepsi orang lain. Malah rasanya Chi lebih sering menangisnya.

Alhamdulillah, Chi udah mulai bisa lepas dari rasa seperti itu. Chi merasa berhak bahagia dengan segala pilihan yang dijalani, tanpa pengaruh berbagai persepsi. Berhak bahagia dengan menciptakan kebahagian sendiri. Bukan berarti Chi udah tutup kuping dengan segala persepsi orang. Kuping tetap terbuka, kok. Tapi, Chi coba memperbanyak sudut pandang aja. Kalau orang mempersepsikan diri kita baik, bersyukur saja. Kalau jelek, apalagi bukan seperti kejadian sebenarnya, maka berusaha cuek aja. Rasanya jadi lebih ringan kalau kayak begini. Lebih merasa jadi diri sendiri :)

Di zaman digital ini, sayangnya semakin banyak orang yang mudah membuat persepsi. Sebaiknya, kita mulai bijak terhadap persepsi ...