Chi rasa banyak orang tua yang ketika memeriksa hasil ulangan anaknya mendapatkan soal yang seharusnya jawabannya benar tapi malah disalahin. Bingung? Begini maksudnya....

Kejadian pertama adalah waktu Keke kelas 1. Di pelajaran IPS, ulangan harian Keke mendapat nilai 100. Tapi, waktu Chi cek satu per satu, ada 1 soal yang membingungkan.



Adi jatuh dari sepeda. Kejadian jatuh dari sepeda merupakan peristiwa yang menyedihkan.


Kata 'menyedihkan', Chi kasih warna merah untuk menandakan kalau itu adalah jawaban yang ditulis oleh Keke. Jawabannya disalahkan, tapi hasil ulangannya tetap dapet 100. Bingung, kan?

Bunda : "Ke, kok, yang ini disalahin? Bu guru salah nilai atau gimana, sih?"Keke  : "Gak tau, Bun. Kata bu guru jawabannya salah."
Bunda : "Lho, jatuh dari sepeda itu kan memang menyedihkan. Kok, salah? Keke gak tanya ke bu guru alasannya?"
Keke  : "Enggak."

Besoknya, Chi mendatangi wali kelas Keke untuk meminta penjelasan. Wali kelas menjelaskan kalau tema pelajarannya adalah "Kejadian Menyenangkan dan Tidak Menyenangkan". Jadi, seharusnya jawaban Keke adalah antara 2 pilihan kalimat itu.

Tapi di sisi lain, wali kelas juga membenarkan jawaban Keke. Makanya tetap di kasih nilai 100. Hanya saja, jawaban seperti itu cuma berlaku untuk ulangan harian. Kalau UTS dan UAS, Keke dan murid-murid lainnya harus menjawab sesuai dengan teori yang diajarkan. Kalau tidak sesuai, ya, dianggap salah.

Kesannya, UTS dan UAS itu teori banget, ya. Tap, mau gimana lagi, suka atau enggak, kita terikat sama sistem. Dan, alih-alih melakukan protes lebih keras lagi, Chi lebih memilih untuk kasih pengertian ke Keke. Kenapa Chi lebih milih kasih pengertian ke Keke ketimbang protes lebih lanjut? Alasannya:


  1. Bukan salah wali kelas. Beliau juga terikat dengan peraturan. Tapi, untuk ulangan harian, beliau bisa lebih fleksibel. Dan, Chi hargai itu.
  2. Protes ke tingkat sekolah, juga pasti sekolah terikat sama pusat yang mengharuskan seperti itu.
  3. Mending jelasin langsung ke Keke, deh, Jalurnya lebih pendek :D

Chi bilang ke Keke kalau jawabannya gak salah. Tapi, memang untuk UTS dan UAS, Keke harus menjawab sesuai peraturan kalau mau dianggap benar. Kalaupun saat UTS atau UAS, Keke tetap memberikan jawaban yang 'salah', Chi gak akan salahin dia. Karena jawabannya itu sebetulnya benar.

Chi jelasin juga, kalau kadang-kadang kita harus berhadapan dengan peraturan yang kaku. Gak cuma, di sekolah aja. Jadi, Chi minta Keke juga belajar untuk beradaptasi aja. Ikutin aja selama itu gak merugikan kita.

Alhamdulillah, Keke mengerti. Dalam perjalanannya, walaupun jarang, pertanyaan-pertanyaan seperti itu sesekali masih didapatkan. Tapi, Keke bahkan Nai juga udah mengerti. Malah mereka bisa menjelaskan ke Chi kenapa jawabannya sempat dianggap salah, padahal seharusnya benar.

Kejadian yang terbaru adalah hari Sabtu (8/2) lalu. Waktu kami lagi di Bandung. Sepupu Chi yang masih duduk di kelas 1 SD mendapat PR matematika dari sekolah. Keke dan Nai ikut nimbrung waktu 'om kecil'nya mengerjakan PR.



2 bulan = ...... hari


Begitu salah satu pertanyaan di PR sepupu Chi. Keke dan Nai pun langsung komen.

Keke : "Pertanyaan, kok, kayak gitu? Kan, tergantung bulannya, dong! Gak semua bulan itu 30 hari hehehehe."
Nai    : "Iya, ya, Ke. Jawabannya jadi beda-beda. Harusnya disebutin bulan apanya dulu."
Keke : "Februari aja cuma sampe tanggal 28."
Dudu : "Ibuuuuuuu.... Jadi, jawabannya berapa hariiii??" *Sepupu Chi itu langsung tambah bingung gara-gara denger komentar Keke dan Nai. Maaaaapppp hihihi :p

Chi juga ngikik dengernya. Tapi, dalam hati, Chi seneng. Karena itu artinya Keke dan Nai udah semakin paham tentang pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya itu 'abu-abu'. Gak heran juga, sih, kalau di sekolah disebut suka debat (terutama buat Keke) hihihi

Kalau bicara skala nasional, mungkin soal-soal yang terlalu kaku itu seperti menghambat cara berpikir anak. Ya, Chi pun setuju. Tapi, buat Chi bukan berarti harus pasrah. Itulah kenapa Chi lebih memilih 'mengalah' untuk mengikuti peraturan dan memilih untuk menjelaskan ke Keke juga Nai. Karena, mereka yang menjalaninya. Mereka harus segera diberitahu dan diajarkan. Dengan harapan, sekaku apapun pelajaran di sekolah bukan berarti cara berpikir mereka harus terhambat. Belajar menyesuaikan aja.

Selain itu, Chi menganggap ini ujian juga buat Chi. Siapa, sih, yang gak senang anaknya dapat nilai bagus? Tapi, kalau Chi terlalu menomor satukan nilai, mungkin Chi akan memaksa Keke dan Nai mengikuti jawaban yang sudah ditentukan tanpa perlu memberi penjelasan ke mereka. Nah, Chi gak mau kayak gitu.

Silakan aja mereka mengikuti aturan tersebut karena itu bagus juga buat mereka kalau nilainya bagus, kan. Tapi, seandainya mereka kasih jawaban 'salah' pun, ya gak apa-apa. Selama yang mereka maksud itu benar. Jadi, Chi bawa santai aja, lah :)