Kisruh PPDB DKI 2020 Jalur Zonasi

By Keke Naima - July 06, 2020

Kisruh PPDB DKI Jakarta tahun 2020 untuk Jalur Zonasi sudah terjadi sejak beberapa minggu lalu. Chi termasuk yang ikut bersuara tentang masalah ini. Malah sampai beberapa kali bikin status di medsos, khususnya Facebook. Jelas banget kalau Chi termasuk yang menyayangkan dan kecewa dengan peraturan terbaru dari PPDB DKI.

kisruh ppdb dki 2020

Ada yang menyarankan supaya Chi tetap santai aja. Nai kan baru lulus tahun depan. Wah! Jelas Chi gak bisa seperti itu. Peraturan tahun ini bikin gregetan. Makanya Chi berharap dengan menyuarakan ini akan ada perubahan. Syukur-syukur sih dari tahun ini perubahannya. Dan ada alasan lain juga yang akan Chi ungkapkan di sini.

Note: Tulisan ini akan sangat panjang karena full curhatan kekesalan dan keresahan tentang pendidikan di Indonesia, khususnya pada proses seleksi PPDB DKI Jakarta di tahun ini hehehe


Ujian Nasional Tahun 2021 Dihapus oleh Mendikbud


Ketika Mendikbud, Nadiem Makarim, mengatakan akan menghapus UN, Chi bukan termasuk orang tua yang bersorak kegirangan. Justru yang langsung timbul adalah pertanyaan seperti apa proses seleksi sekolah negeri di DKI kalau tanpa ujian nasional. Chi agak harap-harap cemas melihat perubahan ini.

Sampai tahun lalu, seleksi masuk SMPN/SMAN di DKI itu masih menggunakan seleksi NEM. Jadi wajar dong kalau mulai pada bertanya-tanya. Karena bila UN beneran dihapus, itu akan terjadi di saat Nai lulus SMP. Makanya, Chi pribadi gak bereuforia dengan keputusan tersebut karena masih 'gelap' dengan proses seleksi penggantinya.

Menurut mas menteri alias Mendikbud, pengganti UN adalah Assesmen Kompetisi Minimum dan Survei Karakter yang akan dilakukan di kelas 4, 8, dan 11. Nah, kalau memang UN akan akan dihapus tahun 2021, berarti assesmen dan survey ini sudah dimulai sejak tahun 2020, dong!

Tapi, selama Nai kelas 8 gak terjadi apa-apa, tuh! Ya kalaupun ada yang berbeda, itu karena pandemi yang mengubah kegiatan belajar menjadi daring. Selain itu, gak ada bahasan tentang assesmen atau apapun. Nah kalau Ujian Nasional tetap dihapus di tahun 2021, sedangkan assement pun belum dilaksanakan, trus angkatan Nai pakai tolok ukur nilai apa untuk kelulusannya?

Dari keputusan ini aja, Chi udah agak kesal juga karena setiap menteri selalu aja ganti kebijakan yang kerap membingungkan dan informasinya berasa kayak nanggung. Tapi, kemudian menghibur diri sendiri. Selama ini peraturan PPDB DKI selalu bagus.

Bahkan menurut Ch, sistem PPDB DKI Jakarta itu terbaik. Makanya berusaha berpikiran postif kalau apapun yang terjadi, DKI akan tetap punya sistem seleksi yang bagus. Saking cocoknya dengan sistem seleksi di DKI, di blog ini ada beberapa tulisan tentang PPDB.

Kepala Dinas Pendidikan DKI, Bowo Irianto, mengatakan PPDB di DKI masih belum bisa sepenuhnya menerapkan zonasi jarak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat. Karena dunia pendidikan tidak bisa terlepas dari kompetisi untuk mendapatkan sekolah yang bagus. - sumber: Berita Satu -

Kutipan di atas adalah berita tahun lalu di mana seleksi PPDB DKI masih menggunakan NEM. Gak hanya Kadisdik DKI saja yang bilang begitu (Tahun lalu Kadisdiknya masih pak Bowo, bukan ibu Nahdiana). Waktu sekolah Keke mengadakan acara graduation, salah seorang perwakilan dari Disdik DKI juga menyampaikan hal serupa. Begitupun dengan kepala sekolah Keke di SMA saat memberikan sambutan hari pertama sekolah. Kesimpulannya, kalau mau masuk SMPN/SMAN di DKI harus siap dengan kompetisi nilai.


Sistem Seleksi PPDB DKI Tahun 2020 Berubah


Pandemi pun datang ke Indonesia sejak awal Maret 2020. Tidak hanya mengubah seluruh kegiatan belajar dan mengajar menjadi online. Tetapi, Mendikbud pun mengeluarkan keputusan untuk meniadakan UN.

Tetapi, karena seleksi PPDB DKI sebelumnya sudah bagus, Chi masih berpikiran positif akan tetap ada solusi terbaik. Memang saat itu belum kebayang seperti apa. Hanya saja masih lekat banget diingatan ucapan para pejabat dinas pendidikan kalau DKI mementingkan kompetisi.

Ternyataaaa ... Seleksinya tahun ini murni pakai umur. Di sinilah kekisruhan mulai terjadi 😓

dasar dan tata cara seleksi ppdb dki jakarta
Sampai tahun 2019, seleksi usia ada di urutan ketiga. Bukan jadi penilaian utama


Memangnya selama ini di DKI gak ada seleksi usia?

Ada. Tetapi, tidak ditempatkan di poin utama. Seleksi utamanya tetap pakai NEM. Bila ada NEM yang sama, kemudian lanjut ke seleksi tahapan berikutnya.

Biasanya di level seleksi NEM aja udah selesai karena angkanya 'kan sampai 2 digit di belakang koma. Jarang ada yang NEMnya bener-bener sama. Makanya, seolah-olah DKI gak pernah ada seleksi umur. Padahal sebetulnya ada dan Chi sudah menjelaskan tentang hal ini di postingan tahun lalu.


PPDB DKI Jalur Zonasi Dianggap Melanggar Peraturan


jalur zonasi ppdb dki
Salah satu contoh zonasi berbasis kewilayahan di PPDB DKI Jakarta


Saat ini banyak yang bilang kalau Pemprov DKI sudah melanggar peraturan PPDB karena tidak ada seleksi zonasi. Benarkah demikian?

Sepertinya masih ada yang salah memahami tentang penentuan jalur zonasi di DKI. Tahun ini pun terjadi lagi. Chi pernah menulis beberapa kali tentang zonasi di blog ini.

Penentuan zonasi di DKI berbasis kewilayahan (domisili KK). Berdasarkan kelurahan dengan irisan kecamatan.

Contohnya, Keke berdasarkan domisili KK tinggal di kecamatan A. Maka, Keke berhak untuk memilih sekolah manapun yang ada di kecamatan A. Tetapi, sebagai warga yang tinggal di kelurahan B, nanti akan dapat memilih beberapa sekolah dari kecamatan lain yang sudah ditentukan.

Memang penentuan zonasi di DKI berbeda dengan daerah lain yang harus pakai ukur jarak rumah ke sekolah dan ada poin-poinnya di mana semakin dekat maka semakin besar poinnya. Penentuan zonasi di DKI lebih praktis. Semua calon siswa yang tinggal di wilayah kelurahan yang sama dianggap mendapatkan nilai yang sama. Tinggal lihat aja sekolah mana yang bisa dipilih oleh anak berdasarkan domisili di KK. Nanti seleksinya berdasarkan NEM.

Dalam kondisi normal, di mana UN masih ada, zonasi berbasis kewilayahan ala Pemprov DKI ini lebih nyaman dan  fair dibandingkan daerah lain. Gak bikin orang tua pusing menentukan koordinat jarak rumah ke sekolah. Minim kecurangan juga karena gak mendadak banyak siswa yang rumahnya dekat banget sama sekolah.

Seleksi pakai NEM juga rasanya lebih adil. Terlepas dari apakah ada pro kontra UN. Sudah terbukti kalau PPDB DKI sampai tahun lalu kondisinya adem ayem.

Makanya kalau beberapa waktu lalu ada netizen yang bilang kalau warga DKI itu telat protesnya karena daerah lain sudah protes dari tahun-tahun sebelumnya ya gak tepat juga. Sampai tahun lalu, di DKI masih adem karena seleksinya memang dianggap lebih adil.

Jadi apakah Disdik DKI melanggar peraturan zonasi?

Ya rasanya enggak juga karena tetap ada kok pengaturan zonasi. Cuma, menurut Chi pribadi, aturan zonasi berbasis kewilayahan bila diterapkan pada saat ini rasanya memang kurang bijak. Soalnya jadi berasa kayak langsung diseleksi umur. Itulah kenapa akhirnya menuai banyak sekali kritikan dari orang tua bahkan demonstrasi secara masif.

permendikbud tentang aturan jalur zonasi
Permendikbud nomor 44 tahun 2019 pasal 16 ayat 1


Tapi, kenapa peraturan zonasi di DKI bisa berbeda dengan propinsi lain?

*cmiiw* Kalau lihat Permendikbud no 44 tahun 2019 pasal 16 ayat 1, Chi berkesimpulan kalau penentuan peraturan zonasi memang diserahkan ke masing-masing Pemprov. Kemendikbud menyiapkan peraturan dasarnya. Beberapa artikel di portal berita juga menulis seperti itu.

Jadi ya gak heran kalau DKI Jakarta bisa berbeda peraturannya dengan yang lain. Tentang alasannya pemilihan zonasi ala DKI, Chi ceritain di bawah, ya. Baca aja terus hehehe.


Permendikbud yang Menjadi Perdebatan


permendikbud no 44 tahun 2019 pasal 25
Permendikbud no 44 tahun 2019 pasal 25 yang diperdebatkan


Ini masih berhubungan dengan anggapan bahwa Disdik DKI melanggar aturan zonasi. Tepatnya permendikbud no 44 tahun 2019 pasal 25.

Jadi menurut Chi gak ada pelanggaran zonasi di DKI, cuma memang gak tepat aja sih dalam kondisi begini. Mungkin di saat nilai gak lagi jadi patokan, zonasinya bisa dibikin kayak daerah lain yang pakai ukur jarak. Meskipun Chi sebetulnya tetap gak setuju dengan cara ukur jarak. Di berbagai daerah yang sudah beberapa tahun melakukan zonasi dengan ukur jarak aja masih banyak masalah.

Memang jadinya bikin galau. Kebijakan zonasi berbasis kewilayahan ala DKI akan merugikan di saat seperti ini. Ukur jarak pun sama ribetnya dan membuka peluang untuk oknum nakal. Ya mudah-mudahan aja dengan banyaknya protes akan ada evaluasi, tidak hanya untuk wilayah Jakarta.

un dihapus permendikbud

Tetapi, ketika Chi membaca yang pasal 26 kok SMK pakai UN? Padahal UN katanya dihapus. Tapi, di permendikbud kok ada aturan ini? Ini permendikbud tahun 2019, lho. *pusing pala berbie

Peraturan lain yang didebatkan adalah tentang pembagian kuota. Kalau mengacu pada permendikbud, maka kuota zonasi seharusnya 50%. Sedangkan, di DKI hanya 40%. Tetapi, Disdik DKI beralasan kalau 10%nya dialihkan untuk japres supaya semakin besar kuotanya.

Kuota afirmasi tahun ini di DKI naik menjadi 30% dan ada pula jalur untuk anak tenaga kesehatan terdampak COVID-19. Kalau gak salah kuotanya sebanyak 10%.

jalur ppdb di dki jakarta

Sebetulnya, Chi setuju aja dengan pembagian kuota ala Disdik DKI. Terkesan seperti ingin merangkul banyak kalangan. Tetapi, setelah lihat persyaratannya ternyata gak gitu juga. Paling enggak untuk jalur afirmasi dan zonasi.

Jalur zonasi dan afirmasi sama-sama menjadikan seleksi usia sebagai penilaian utama. Memang iya, afirmasi hanya untuk kalangan tidak mampu. Berbeda dengan zonasi yang siapapun bisa ikutan. Tetapi, ketika kemudian dasar seleksi utamanya sama dan dikuasai oleh usia tua, maka inilah yang menimbulkan banyak protes dari orang tua. Banyak siswa yang gagal lolos di afirmasi, mencoba di zonasi.


Evaluasi Bobot Kurikulum Pendidikan Indonesia


Cung! Siapa yang merasa pusing melihat pelajaran anak-anak zaman sekarang? Apalagi di saat PSBB, anak-anak belajar di rumah dan orang tua ikut membantu anak belajar. Lupakan dulu pelajaran SMP atau SMA. Coba lihat pelajaran SD dan bandingkan dengan zaman dulu.

Ketika Chi masih SD, pelajaran matematika untuk kelas 1 dan 2 paling masih sebatas mencongak pertambahan dan pengurangan yang sederhana. Coba deh anak zaman sekarang. Untuk kelas bawah di level sekolah dasar aja udah lebih sulit.

Sekitar setahun yang lalu, Chi pernah menemukan buku pelajaran matematika SMP kelas 1  yang zaman dulu. Waktu Chi kasih lihat itu ke Keke, dia sempat gak percaya. Menurut dia itu pelajarannya terlalu mudah. Ya memang apa yang ada di buku itu, mungkin sudah Keke pelajari saat dia kelas 4 atau 5 SD. Tidak hanya matematika saja. Semua pelajaran anak-anak zaman sekarang itu sulit.

Bobot Kurikulum Indonesia yang 'melangit' tidak hanya pendapat Chi pribadi. Sudah banyak masyarakat bahkan pakar yang mengatakan demikian. Bahkan ketika UN banyak dikritisi karena ada soal HOTS, pejabat yang berwenang malah ada yang bilang justru soal seperti ini akan semakin banyak untuk merangsang daya berpikir siswa.

Chi juga banyak berdiskusi dengan K'Aie. Menurut kami ini aneh banget. Ketika seleksi masuk SMP dan SMA hanya menggunakan usia, sedangkan bobot kurikulum tetap berat. Ini ibaratnya kayak anak yang baru bisa duduk dilatih supaya bisa berlari dalam waktu 3 tahun. Sedangkan ada anak-anak yang minimal sudah bisa berjalan, tapi malah tersingkir dengan alasan masih muda. Padahal anak-anak yang usianya lebih muda tapi bisa berjalan duluan karena rajin distimulasi.

Output apa sih yang sebetulnya diinginkan dengan sistem seleksi berdasarkan tua-tuan vs bobot kurikulum seperti itu? Kalaupun semua anak pintar selalu dianggap karena punya privilage bisa bimbel dan punya fasilitas, tapi gak pernah ada evaluasi bobot pendidikan, ya tetap aja nanti yang cerdas hanyalah anak yang memang punya semangat belajar. Meskipun semuanya udah lagi gak boleh sekolah di negeri.

[Silakan baca: Ketika Anak Belajar di Rumah dan Semua Ibu Mendadak Jadi Guru Gara-Gara Corona]


Seleksi Masuk Sekolah Negeri yang Adil


dasar seleksi masuk sekolah negeri di dki jakarta
Dasar seleksi untuk jenjang SMP dan SMA negeri di DKI Jakarta tahun ini. Usia langsung jadi pilihan pertama. Bye semua nilai di sekolah!


"Hal ini dilatarberlakangi oleh fakta di lapangan bahwa masyarakat miskin justru tersingkir di jalur zonasi lantaran tidak dapat bersaing secara nilai akademik dengan masyarakat yang mampu," kata Nahdiana, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, dalam keterangan tertulisnya, Senin, 15 Juni 2020.

- sumber: Tempo -

Pernyataan di atas bikin Chi sakit hati. Tidak hanya pernyataan Kadisdik, tetapi juga pihak lain termasuk netizen yang memberikan pernyataan serupa. Termasuk kalau ada yang bilang bahwa kami adalah orang tua egois karena memasukkan anak ke SD di usia dini.

Tetapi, sebelum Chi jelasin kenapa sakit hati, mau tanya dulu, deh. Emangnya ada sistem seleksi yang adil? Memangnya pemerintah sudah menyediakan jumlah sekolah yang cukup? Memangnya fasilitas di setiap sekolah sudah sama rata? Memangnya sudah tidak ada lagi blank spot? Masih banyak pertanyaan yang bisa terlontar kalau mau bahas adil dan gak adil.

Gak pernah ada proses seleksi yang adil. Semua tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Kacamata siapa yang dipakai?

Yang namanya proses seleksi itu bicaranya lolos dan gak lolos. Gak ada proses seleksi yang sempurna dan adil. Apalagi kalau kondisi di lapangan juga masih banyak yang harus diselesaikan.

Sebetulnya Chi sudah mengulas sedikit di postingan tentang PPDB tahun lalu. Chi berpendapat kalau jumlah sekolah negeri dari level SD hingga SMA tidak seimbang. Semakin tinggi jenjangnya, semakin sedikit jumlahnya. Pada saat itu, Chi sudah mengatakan dengan semakin jumlah sekolah negeri di jenjang yang tinggi, maka harus semakin siap bersaing bagi siapapun yang ingin masuk sekolah negeri, khususnya di DKI Jakarta.

Saat itu Chi masih berpikir seleksinya akan terus menggunakan NEM. Tapi, Chi juga menulis kalau mungkin aja di tahun 2020 akan berubah karena Mendikbudnya ganti lagi yaitu Nadiem Makarim. Udah jadi rahasia umum kalau di kita ini kebiasaan banget ganti menteri, ganti kebijakan. Ternyata bener kan ganti kebijakan. *Chi berasa jadi orang yang visioner, deh hahaha!

Berikut daya tampung sekolah negeri di DKI. Untuk ulasan lengkapnya, mending baca postingan tahun lalu aja tentang strategi memilih sekolah negeri di Jakarta

  1. SDN (1449 sekolah, 129.275 siswa)
  2. SMPN (285 sekolah, 76.699 siswa)
  3. SMAN (115 sekolah, 31.956 siswa)
  4. SMK (73 sekolah, 20.870 siswa)


Jadi tahun lalu pun tetap ada anak yang tersingkir karena kalah NEM. Beberapa teman Chi ada yang anaknya tersingkir dari proses seleksi. Menyedihkan banget memang. Tetapi, itu lah konsekuensi dari yang namanya seleksi.

Berarti seleksi apapun bentuknya boleh, dong? Kan tetap akan ada yang tersingkir.

Ibarat sebuah perlombaan memang pada akhirnya akan ada yang terpilih dan enggak. Tetapi, kalau dari sudut pandang Chi sebagai masyarakat awam yang sudah beberapa kali mengikuti proses seleksi PPDB, mendingan kayak tahun-tahun sebelumnya aja, deh. Udah terbukti prosesnya adem ayem. Nyaris tanpa memancing kemarahan dan kekecewaan banyak orang tua. Memang ruwet kalau bikin aturan seleksi, tetapi sebisa mungkin ya hindari yang memicu banyak kekecewaan.


Kalangan Ekonomi Mampu Jangan Masuk Sekolah Negeri


Setiap ada kisruh PPDB, suka keluar berbagai opini. Ya sebetulnya bebas-bebas aja sih mau mengeluarkan opini pro-kontra. Cuma ya suka ada gregetannya juga kalau udah menuding.


Semua Berhak Sekolah

Iya, setuju banget kalau semua berhak sekolah. Tapi, seperti yang Chi tulis di atas kalau setiap seleksi pasti akan ada yang tersingkir. Apapun model seleksinya. Cuma Chi merasa terganggu aja ketika kekecewaan para orang tua yang anaknya tersingkir tahun ini hanya karena kalah usia kemudian masih dikatakan tidak berempati dengan siswa yang lolos karena usianya tua.

Padahal coba pahami dulu kemarahan orang tua yang putra-putrinya tersingkir hanya karena usia. Seharian belajar di sekolah. Dengan bobot kurikulum yang berat dan KKM yang tinggi, masih ada yang ikut bimbel. Belum lagi masih harus mengerjakan mengerjakan PR. Jungkir balik belajar supaya tetap bisa mengikuti kurikulum yang ada masih dianggap gak boleh kecewa?

Chi memang gak pernah mengadakan survey. Ini hanya berdasarkan pengamatan dari cerita beberapa teman dan media sosial. Menurut Chi, ada 3 kelompok besar siswa berusia tua yang diterima dan dimasalahkan para orang tua yaitu

  1. Pernah dikeluarkan dari sekolah karena terkena kasus
  2. Pernah tidak naik kelas
  3. Tidak memiliki biaya untuk sekolah dan sehari-hari harus membantu orang tuanya bekerja

Merasa adil gak sih ketika banyak lulusan tahun ini yang sudah giat belajar kemudian tersingkirkan hanya kalah umur dari mereka yang sudah pernah dikeluarkan atau tidak naik kelas? Masih harus bersaing dengan 2 angkatan di atas mereka yang belum lanjut sekolah karena 2 alasan ini? Menurut Chi gak adil banget! Chi bahkan mulai ikutan berpikir kalau orang pintar memang tidak begitu mendapatkan apresiasi di negara ini.

Sedangkan untuk alasan ketiga sebetulnya Chi prihatin banget. Chi juga pengen kok semua bisa sekolah. Tetapi, apakah mereka yang terhambat sekolahya karena kesulitan ekonomi itu gak tau kalau selama ini sekolah di DKI dari level SD hingga SMA itu GRATIS?

Keke sekolah di SMP dan SMA yang termasuk favorit di Jakarta. Begitupun dengan Nai. Pengalaman kami, belum pernah tuh ada satupun pungutan resmi ataupun siluman yang diminta oleh sekolah. Bener-bener kami tidak mengeluarkan biaya sepeserpun termasuk untuk buku pelajaran. Jadi apakah masih relevan alasan tidak bisa masuk sekolah karena kesulitan ekonomi?

Kembali bahas tentang kurikulum pendidikan Indonesia. Bila bobotnya masih 'melangit', apa iya mereka yang pernah tinggal kelas dan kena kasus bakal bisa mengejar? Beberapa siswa mungkin ada yang mampu memperbaiki kesalahannya. Cuma ya tetap aja ini ada banyak anak yang sudah siap belajar malah terpental.

Begitupun dengan yang alasan ekonomi. Anak-anak yang tidak ikut membantu orang tuanya bekerja aja, setiap hari masih harus jungkir balik belajar. Seringkali sampai malam karena harus mengerjakan PR yang menumpuk. Apalagi kalau ditambah bimbel juga. Nah, sekarang kalau masih harus membantu orang tua bekerja gimana cara belajarnya, tuh?

Apakah anak yang dari kalangan ekonomi bawah akan tetap bisa mengikuti kurikulum yang ada? Ya ini sih Chi ngebalikin ucapan Kadisdik DKI dan pendapat pihak lain yang serupa yang mengatakan anak pintar biasanya datang dari kalangan sosial ekonomi mampu. Urusan sekolah gak sebatas bisa keterima aja, lho. Tetapi, juga ada proses belajar di sana.

Waktu Keke masih SMP, di sekolahnya ada SMPN terbuka. Jam belajarnya bergantian dengan anak-anak yang bersekolah pagi. Siswa yang sekolah di SMPN terbuka adalah anak yang di pagi hari harus bekerja untuk membantu orang tua.

Chi gak paham ya kenapa gak semua sekolah negeri ada konsep seperti itu. Sekolah Nai gak ada. Padahal sekolah seperti itu rasanya bisa menampung 3 kelompok besar di atas atau paling enggak buat anak yang juga harus bekerja.

Di sekolah terbuka, mereka tetap bisa belajar di sekolah, memakai seragam, menggunakan fasilitas yang sama, bahkan diwisudanya pun digabung di tempat yang sama dengan anak-anak yang sekolah pagi.

Paulin, salah satu orang tua murid di DKI Jakarta,  menilai persyaratan usia dapat merugikan anak-anak yang masih muda. Menurutnya, anak yang sudah berusia tua dapat mengikuti proses penerimaan siswa baru melalui jalur paket, seperti Paket A, Paket B, dan Paket C.

- sumber: Detik -

Chi termasuk yang setuju dengan pendapat ini. Tetapi, ketika Chi ungkapkan hal ini di Facebook, ternyata baru tau kalau jalur pendidikan tersebut sudah dileburkan oleh mas menteri. Bahkan sempat menimbulkan aksi unjuk rasa di depan kantor Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa bulan lalu sebelum ada pandemi. Hadeuuuhh ... Ternyata bahas PPDB ini kalau diurut ke belakang bisa panjang ekornya, ya.


Kalangan Ekonomi Mampu Seharusnya Bersekolah di Swasta

Pendapat ini gak hanya Chi lihat sekarang. Udah dari tahun-tahun sebelumnya. Tetapi, paling Chi senyumin aja atau diskip pendapatnya kalau lagi bad mood. Ya bebas aja beropini, tetapi kalau kemudian jadi menuding mereka yang mampu secara ekonomi itu memiliki mental gratisan ya nanti duluuu.

Sebelum Keke lulus SD, Chi dan K'Aie mengalami perbedaan pendapat tentang pemilihan sekolah. Chi pengennya anak-anak tetap di swasta karena merasa fasilitas dan kualitas lebih bagus dari sekolah negeri. Buat Chi, kualitas pendidikan itu sangat penting. Rasanya sekolah swasta bisa menjawab keinginan Chi

Sedangkan bagi K'Aie menginginkan anak-anak di sekolah negeri dengan alasan sosialisasi di negeri lebih heterogen secara ekonomi. Menurutnya, sekolah tidak hanya tentang belajar, tetapi juga berosialisasi.

Perbedaan pendapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Masing-masing punya alasan. Akhirnya, kami menyerahkan keputusan ke Keke dengan memberikan penjelasan plus minus sekolah swasta maupun negeri. Keke pun memilih sekolah negeri.

Jadi alasan kenapa memilih sekolah negeri tuh gak melulu karena duit. Chi sih males kepoin alasan orang kenapa memilih sekolah ini atau itu. Tetapi, lebih gak mau lagi kalau langsung mengeneralisir kalau yang ekonominya mampu itu punya mental gratisan.

Lagipula gak ada peraturan yang melarang kelompok yang mampu secara ekonomi untuk masuk negeri. Semua berhak masuk sekolah negeri. Malah yang tidak mampu punya jalur tambahan yaitu afirmasi. Kalau ada orang ekonominya cukup, tetapi mendadak mengaku miskin supaya bisa masuk jalur afirmasi ya silakan dikritik abis-abisan. Tidak hanya oknum masyarakatnya, tetapi juga oknum yang meloloskannya.


Anak Swasta Jangan Masuk Sekolah Negeri

Agak mirip-mirip sih pernyataan ini dengan di atas. Chi baca komen ini di Twitter. Salah seorang netizen yang menulis begitu. Menurutnya ini yang bikin  sekolah negeri jadi banyak pesaingnya.

Chi senyum garing aja bacanya. Dia kayaknya gak tau kalau jumlah sekolah negeri semakin tinggi jenjangnya jumlahnya semakin sedikit. Berarti tanpa adanya pesaing dari anak swasta pun tetap akan ada yang gak lolos seleksi. Memang nanti mau dibalikin kalau anak negeri yang gak lolos seleksi jenjang berikutnya gak boleh masuk swasta?


Mendewakan Nilai Akademis

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Nahdiana, mengatakan, jika penerimaaan siswa di sekolah negeri berdasarkan pada nilai akademis maka hanya siswa-siswi dengan kondisi sosial ekonomi baik yang akan lolos. Menurut dia, siswa yang mendapatkan les, bimbingan belajar, akses pada materi pengetahuan tambahan, dan mendapatkan fasilitas belajar yang baik karena keluarga sejahtera cenderung memiliki kinerja akademis lebih baik daripada siswa yang tidak memiliki dukungan itu

Sumber: Kompas

Saat baca pendapat Kadisdik DKI ini rasanya Chi pengen ajak ke sekolah negeri, deh. Sosial ekonomi di sekolah negeri itu lebih heterogen. Di artikel itu pun, ibu Nahdiana mengatakan 'cenderung'. Ya berarti gak semua anak pintar datang dari kalangan sosial ekonomi yang baik.

Chi semakin kesal dan sedih ketika kemudian membaca beberapa pendapat netizen atau masyarakat lain serupa. Bahkan ada yang bilang kalau orang tua yang pada protes ini merasa 'sok pintar', mendewakan nilai, dll.

Anak-anak yang datang dari keluarga sosial ekonomi baik memang punya beberapa privilage. Mereka bisa bimbel di manapun. Fasilitas di rumah pun mendukung.

Tetapi, sekolah negeri kan dari berbagai kalangan siswanya. Chi memang belum pernah survei dari kalangan mana yang paling banyak bersekolah di negeri. Tetapi, pernah gak sih mereka yang berwenang melakukan studi kasus tentang para siswa yang berasal dari kalangan ekonomi mengengah ke bawah, tetapi tetap pintar?

Kalau memang pernah, kenapa gak fokusnya ke sana? Berarti terbukti kan kalau anak pintar tidak hanya dikuasai oleh kalangan atas? Kalaupun mayoritas berasal dari anak-anak menengah atas, ya berarti harus dievaluasi lagi bobot kurikulumnya.

Buatlah kurikulum yang bisa merangkul banyak kalangan. Jadi semua anak bisa bersaing tanpa ada tudingan, "Pantesan aja pintar. Dia mampu bayar bimbel!" *Baidewei, waktu Keke dan Nai masih SD, mereka gak ikut bimbel sama sekali. Alhamdulillah NEM mereka bagus semua.

[Silakan baca: Tanpa Ikut Bimbel, Nilai UN Bisa Tetap Bagus? Bisa!]

Semakin sedih rasanya ketika melihat orang tua yang sedang bersedih ini dianggap mendewakan akademik. Menurut Chi, itu tudingan yang salah banget.

Ya kembali melihat bobot kurikulum. Apa yang harus dilakukan bila bobotnya seberat itu? Belum lagi dengan tuntutan KKM setiap mata pelajaran yang semakin tinggi.

"Solusi Mendikbud adalah UN dijadikan kelulusan saja biar hasilnya bagus karena tahun ini jelek semua. Karena dianggap anak-anak tidak bekerja keras dan malas," kata Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan.

- sumber: CNN -

Kutipan di atas adalah berita tahun 2018. Saat itu, banyak masyarakat yang protes karena bobot soal HOTS (High Order Thinking Skill) mencapai 20%. Alasannya soal HOTS bertujuan supaya kualitas pelajar Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari negara lain. Tetapi, hasilnya malah banyak yang NEMnya jelek.

Menanggapi hal tersebut, bukan mengevaluasi kurikulum dan soal UN, malah para siswa yang dituding pada malas belajar. Chi juga sempat dengar pendapat Mendikbud ini di salah satu televisi nasional. Padahal para siswa itu bukannya gak belajar, tetapi memang soalnya yang terlampau sulit. Di sekolah tidak atau jarang diajarkan soal-soal HOTS. Eh, giliran ujian malah dikeluarkan. Kan lucu!

Salah seorang pejabat terkait yang pernah Chi baca di salah satu portal berita bahkan mengatakan setiap tahunnya porsi soal HOTS akan ditingkatkan. Mendikbud saat itu juga mengatakan kalau ini akan berlangsung sampai tahun 2025. Malah peraturan lulus dan gak lulus kembali diwacanakan. Ya sebelum wacana itu terwujud, keburu diganti tuh Mendikbud-nya.

Nah sekarang dengan berbagai kenyataan tentang bobot pelajaran semakin sulit, KKM semakin tinggi, soal HOTS pun semakin banyak. Sedangkan pejabat yang berwenang hanya bilang tujuannya supaya kualitas pendidikan Indonesia semakin gak ketinggalan. Tetapi, giliran ada orang tua dan siswa yang melakukan banyak upaya, salah satunya dengan bimbel, malah dinyinyirin.

Serba salah ya jadinya. Kalau protes soalnya terlampau susah, malah dibilang pemalas. Giliran sudah berusaha keras untuk belajar dibilang mendewakan nilai.

Dengan beratnya bobot kurikulum, kami pribadi masih berusaha menjalani dengan santai. Jangan sampai Keke dan Nai merasa tertekan. Beberapa kali Chi coba berbagi tips tentang belajar menyenangkan di blog ini.

Buat kami, selama anak-anak masih terlihat berusaha belajar itu yang paling penting. Mungkin karena itu juga Keke dan Nai bisa santai menunjukkan semua nilai-nilainya. Gak selalu bagus, kok. Beberapa kali mereka remedial. Tapi, mereka santai menunjukkan karena selama kelihatan belajar, bundanya gak ngomel. Proses memang lebih dihargai oleh kami. Dan gak harus menguasai semua mata pelajaran juga. Ya alhamdulillah meskipun selama ini nilainya naik turun, tetapi mereka berhasil masuk sekolah negeri dengan NEM yang bagus.

[Silakan baca: Kurikulum Teaching with Love]


Orang Tua Egois karena Menyekolahkan Anak di Usia Dini

usia minimum masuk sd negeri di dki

Rata-rata anak yang gagal masuk SMP/SMA Negeri saat ini adalah yang masuk SD usia 6 tahun? Tetapi, memang salah masukin anak SD di usia tersebut?

Lupain dulu deh ya segala teori parenting tentang usia ideal menyekolahkan anak ke SD. Bukan apa-apa, kalau bahas dari sisi parenting nanti malah melebar. Teorinya memang ada. Tetapi, kan banyak juga yang bersekolah di bawah usia 7 tahun dan gak apa-apa. Keke dan Nai salah satunya. Chi pun termasuk yang masuk sekolah di usia 6 tahun. K'Aie malah akselerasi sampai 2x.

Sejak dulu untuk seleksi masuk SD negeri di DKI murni menggunakan seleksi usia. Tau alasannya?

Sependek yang Chi tau alasannya adalah kemandirian. SD negeri kan rasio murid dan guru per kelasnya jauh lebih banyak daripada swasta. Di sekolah swasta, biasanya untuk SD yang kelas bawah tuh wali kelasnya 2 orang. Sedangkan sekolah negeri hanya 1. Akan merepotkan dan mengganggu kegiatan belajar mengajar bila masih ada anak yang belum mandiri saat di bersekolah di SD negeri.

Tetapi, dengan berjalannya waktu, kan semua berproses. Mau anak yang masuk SD usia 6, 7, atau di atasnya akan kelihatan prestasinya. Gak selalu berbanding lurus. Bukan berarti yang tua pasti lebih pintar.  Banyak juga anak SD yang masuk di usia 6 tahun bisa lebih pintar. Makanya kalau masuk SMP atau SMA masih pakai seleksi umur ya rasanya aneh.

Jadi mari kita bahas berdasarkan peraturan dulu aja. Biar sama bahasannya. Di peraturan tertulis jelas kalau usia 6 tahun udah boleh. Apakah peraturan itu dibikin asal-asalan? Jadi kalau dianggap orang tuanya egois tuh gimana ceritanya? Secara peraturan dibolehkan, kok!

Kalau baca peraturan masuk SD Negeri di DKI yang discreenshot itu, memang agak ambigu karena di poin pertama tertulis usia 7 tahun. Tetapi, di poin kedua tertulis paling rendah 6 tahun.

Katanya sih maksudnya usia 7 tahun sekolah wajib menerima. Ada di permendikbud no 44 untuk aturannya. Chi lupa pasal berapa. Sedangkan usia 6 tahun sudah dibolehkan kalau sekolah masih ada kuota. Tetapi, dengan adanya murnni seleksi umur dari tua ke muda, dengan sendirinya akan terseleksi, kok.


Kalau Merasa Pintar, Silakan Masuk Japres

akreditasi sekolah untuk japres
Akreditasi sekolah jadi penilaian japres. Hadeuuuhh ...


"Kan ada japres! Coba aja jalur itu kalau memang anaknya pintar."

Banyak netizen yang bilang begini. Bahkan Kadisdik DKI pun mengatakan jangan khawatir karena ada japres.

Tetapi, tau gak berapa persentase kuota japres di DKI?

Cuma 20%! Bayangin yang menggunakan seleksi umur bisa jauh lebih banyak. Padahal anak-anak pintar yang tersingkir karena usia jumlahnya sangat banyak. Waktu zonasi masih pakai NEM aja, banyak yang terpental. Padahal kuotanya waktu itu lebih dari 50%. Apalagi sekarang cuma 20%?

Cobaan gak cukup sampai situ. Japres tidak cukup dengan rata-rata nilai rapor. Tetapi, juga dikali dengan akreditasi sekolah.

Waktu tau kalau japres pakai nilai rata-rata raport aja, Chi udah gak begitu sreg. Karena seperti membuka peluang bagi sekolah untuk gede-gedean nilai di raport supaya anak muridnya bisa lolos japres. Beberapa orang tua murid bahkan mulai ada yang mengkritik guru yang kasih nilai kecil ke anaknya. Berbeda dengan NEM yang lebih objektif.

Semakin kaget lagi ketika tau kalau masih dikalikan dengan nilai akreditasi. Akreditasi sekolah itu dinilai berdasarkan fasilitas yang ada di sekolah. Semakin bagus, semakin tinggi akreditasinya.

Maka, gak heran ketika kemudian yang berhasil masuk japres katanya mayoritas anak-anak dari sekolah swasta. Udahlah nilai raportnya tinggi, akreditasinya sekolahnya pun nilai banyak yang mendekati sempurna.

Chi sempet cek juga secara random untuk beberapa sekolah favorit di DKI. Tepok jidat aja deh! Bener kata beberapa teman kalau yang berhasil masuk japres tuh kebanyakan anak swasta. Penentu utamanya ya akreditasi yang tinggi. Sekolah swasta mahal (banget) lah pastinya yang dapat nilai akreditasi tinggi. Karena semakin komplit fasilitas, semakin tinggi nilai akreditasinya.

Chi sih gak julid sama anak-anak swasta yang lolos. Mereka berhak sekolah di manapun. Julidnya sama Disdik DKI. Hmmm ... padahal Kadisdiknya menyinggung privilage sosial ekonomi anak yang mampu melulu. Tapi, giliran japres, akreditasi sekolah jadi penentuan.

Gagal paham banget Chi sama pemikiran Disdik DKI tahun ini. Kok kayaknya kekeuh banget kalau prestasi itu privilage orang yang ekonominya mampu. Sampai dasar seleksi japres pun dijadikan salah satu bobot penilaian. Segitu gak percayanya apa ya kalau semua anak pun bisa pintar meskipun orang tuanya ekonominya pas-pasan?

Sempat jadi bahasan hangat di WAG kelas Nai. Pada merasa gak adil kalau sistemnya begitu. Sekolah Nai, termasuk yang favorit di Jakarta. Nilai siswanya banyak yang bagus. Begitupun dengan NEMnya. Ketika seleksinya masih pakai NEM, sekolah Nai masih mampu banget bersaing dengan anak-anak dari sekolah yang akreditasinya tinggi. Banyak yang keterima di SMAN Favorit. Terbukti kan akreditasi sekolah gak selalu berbanding lurus dengan kepintaran?

Tetapi, kalau nilai raport dikalikan dengan akreditasi ya bubar jalan. Karena akreditasi sekolah Nai masih kalah dibandingkan swasta. Gak hanya sekolah Nai aja. Kebanyakan sekolah negeri kalah nilai akreditasinya dengan swasta. Termasuk sekolah negeri yang terfavorit di Jakarta sekalipun.

Melihat seleksi PPDB DKI Jakarta tahun 2020 'selucu' ini, Chi jadi pengen bilang, "Kalau ekonomi kita pas-pasan untuk menyekolahkan anak ke swasta, maka tunggu sampai anak berusia tua supaya bisa lolos masuk negeri dengan mudah. Tetapi, kalau terlahir sebagai anak sultan mah bebassss. Masukin ke sekolah swasta yang mahal. Kalau may lanjut ke negeri di jenjang selanjutnya bisa lewat japres karena udah menang di akreditasi."



"Gengsi Amat Sekolah di Swasta!"

Ini yang lumayan sering Chi baca di medsos. Gak hanya saat ini. Tahun-tahun sebelumnya juga.

Sejak TK sampai kuliah, Chi sekolah di swasta. Cuma SMP yang di negeri. Tetapi, K'Aie kebalikannya. Saat kuliah dia baru masuk swasta.

Buat Chi yang terbiasa sekolah swasta, gak ada tuh rasa gengsi. Apalagi sekolah swasta zaman sekarang semakin banyak yang bagus. Malah di awal postingan ini, Chi juga cerita kalau pengen banget anak-anak tetap di swasta. Bahkan keinginan tersebut masih ada sampai sekarang.

Mungkin iya ada yang gengsi. Apalagi masih ada stigma di beberapa lapisan masyarakat kalau masuk swasta berarti anaknya gak pintar. Makanya sampai ada orang tua yang beli kursi. Jelas kelakuan kayak begini gak bisa dibenarkan. Tetapi, mengeneralisir orang tua yang berusaha keras supaya anak-anaknya bisa sekolah di negeri dengan julid kalau mereka gengsi sekolah swasta ya salah juga.

Semua punya alasan masing-masing, lah. Bahkan gara-gara seleksi tahun ini, beberapa teman ada yang memilih mencutikan anaknya. Bukan karena gengsi, tetapi gak punya uang untuk menyekolahkan ke swasta. Sedih gak kalau begitu?

Chi juga punya sepupu yang waktu SMP tuh NEMnya hancur banget. Itu karena dia terlalu santuy dan anggap sepele. Akibatnya gak keterima di sekolah negeri manapun.

Sepupu Chi ini sempat menangis dan menyesal banget karena akhirnya sekolah swasta. Tetapi, di swasta dia bayar semua kesalahannya. Menurut ibunya, selain mulai sadar, rasio guru dan murid per kelas di sekolah swasta juga bikin anaknya bisa lebih fokus. Guru-gurunya juga lebih telaten. Akhirnya di SMA, sepupu Chi juara kelas terus dan kalau gak salah 3 terbaik di sekolahnya saat kelulusan.

Jadi memang gak selalu alasannya karena gengsi. Apalagi sekolah swasta sekarang semakin bagus. Tetapi, ini perkara kebebebasan memilih sekolah.

[Silakan baca: Pilih Sekolah Swasta atau Negeri?]


Kekhawatiran Berlebihan Orangtua akan Bullying?

Nahdiana meminta agar orangtua murid jangan panik, tapi ikuti dulu mekanismenya. Menurutnya, ini hanyalah ketakutan orangtua siswa bahwa anak yang mengincar jalur zonasi murung karena takut mengalami perundungan (bullying) dari anak-anak yang lebih tua itu tak berdasar.

- sumber: bisnis.com -

Banyak orangtua yang khawatir dengan pergaulan anak bila range usia terlalu jauh. Gara-gara seleksi pakai usia, sekarang rangenya bisa 15 s/d 20 tahun untuk satu angkatan. Padahal biasanya paling 15-16 tahun.

Tetapi, ibu Nahdiana menganggap kekhawatiran ini tidak mendasar. Duh! Memangnya gak mengenal kata antisipasi, ya? Apa perlu ada kejadian bullying dulu?

Menurut Chi wajar kalau ada kekhawatiran begini. Dengan usia sebaya aja, perundungan tetap ada. Apalagi ini kalau jaraknya lumayan jauh. Kalau untuk level anak kuliahan atau kerja, mungkin gak begitu masalah. Tetapi, di level sekolah memang bagusnya seumuran, deh. Pemikiran anak usia 15 tahun dengan di atas 19 tahun juga udah beda kali.


Alasan Zonasi di DKI Berbasis Kewilayahan


“Sebaran sekolah juga tidak sama di setiap kelurahan, begitu juga dengan daya tampung sekolah yang tidak sama di setiap sekolah,” ujar Nahdiana, Kadisdik DKI Jakarta,  dalam juma pers yang disiarkan langsung akun youtube radiodisdik Jakarta.
“Jadi, bisa saja sekolah pada jenjang tertentu di kelurahan itu tidak ada,” sambungnya.

- sumber: Tribun Jakarta -

Penjelasan di atas menjadi alasan kenapa DKI berbasis kewilayahan. Semua anak yang berada di wilayah kelurahan yang sama mendapatkan poin yang sama. Nanti seleksinya baru pakai penilaian lain. Kalau dulu menggunakan NEM. Tahun ini murni menggunakan usia.

Tetapi, ketika semakin banyak orang tua yang protes dengan seleksi usia, keluarlah 1 jalur tambahan yaitu Bina RW. Di mana siswa yang yang berada di 1 RW dengan sekolah bisa mendaftar.

Memangnya di setiap RW ada sekolahan? Ibu Nahdiana sendiri yang bilang pada jenjang tertentu di kelurahan aja belum tentu ada. Apalagi untuk level RW. Gak konsisten sama ucapannya sendiri atau bagaimana, sih?

Bila seleksinya masih pakai NEM, zonasi berbasis kewilayahan memang bagus. Chi pun setuju bila dikatakan zonasi seperti ini meminimalkan kecurangan. Ya setidaknya gak ada oknum yang mendadak mengaku-ngaku rumahnya deket banget ma sekolah supaya poinnya semakin besar.

Chi juga sepakat dengan penjelasan ibu Nahdiana yang mengatakan kalau seleksi usia minim intervensi. Jarak dan nilai raport masih lebih ada celah untuk diakali.

Tetapi, diperhitungkan juga gak ya dampaknya? Saat ini jadi malah masyarakatnya sendiri yang saling tuding. Ketika orang tua mengungkapkan rasa marah karena anaknya gagal hanya karena usia, dibilang begini begitu. Begitupun dengan efek psikologis anak yang kalah hanya karena usia.


Merdeka Belajar Pendidikan Indonesia


"Bun, santai aja. Nanti seleksi masuk SMA kan pakai jarak. Rumah kita deket ini sama sekolah. Gak usah belajar juga gak apa-apa."

Tahun lalu Keke ngomong begitu saat Chi menegurnya karena terlihat masih santai. Gak kelihatan belajar sama sekali padahal dia udah kelas 9.

Ternyata, dia salah memahami. Memang di berbagai media saat itu diberitakan kalau seleksi PPDB pakai hitungan jarak. Tetapi, kalau baca keseluruhan artikel, gak hanya judul, kejadiannya bukan di DKI.

Untungnya Keke mau menurut setelah Chi kasih tau kalau di DKI Jakarta masih menggunakan seleksi NEM. Chi kasih lihat juga berbagai peraturannya. Alhamdulillah Keke pun menurut dan mulai belajar serius, Akhirnya NEMnya bagus.

Lalu bagaimana dengan konsep Merdeka Belajar? Sebuah program baru yang dicanangkan oleh Kemendikbud saat ini. Kalau Chi lihat teorinya memang bagus. Tetapi, prakteknya bagus juga, gak?

Syafii Maarif, Mantan Ketua umum PP Muhammadiyah, khawatir jika akhirnya dihapus, UN yang selama ini dipandang sebagai penjaga mutu belajar siswa, akhirnya akan membuat para siswa tidak sungguh-sungguh lagi dalam belajar.

- Sumber: Tempo -

Salah satu program Merdeka Belajar adalah menghapus UN. Tetapi, pendapat Buya Syafii juga ada benarnya. Setidaknya terbukti di keluarga Chi sendiri. Tahun lalu, Keke sempat santai banget menghadapi UN karena merasa rumahnya dekat sekolah. Gimana nanti kalau UN dihapus? Motivasi anak untuk belajar itu apa?

Memang iya, belajar juga seharusnya jangan karena untuk ujian saja. Tetapi, ujian juga bisa memicu anak untuk belajar. Karena ada tujuan yang ingin dicapai. Kalau Chi pribadi tetap bersikukuh mendingan dievaluasi dulu materinya, bukan langsung dihilangkan.

Memang ada assesment apalah itu penggantinya. Tetapi, masih belum jelas juga buat Chi. Lagian selama yang memberi nilai masih sekolah masing-masing, Chi merasa masih lebih objektif UN.

Program bagus kalau prakteknya gak bagus ya akhirnya menghasilkan kontroversi. Sistem PPDB dengan berbagai jalur, termasuk zonasi juga bagus. Supaya semakin banyak siswa yang bersekolah gak jauh dari rumah. Menghilangkan juga image sekolah favorit. Tetapi, selama jumlah sekolah belum merata, apalagi masih banyak blank spot, ya bakal heboh terus. Masa' iya solusinya beli rumah dekat sekolah?

Sebetulnya program Pendidikan Indonesia banyak yang bagus, kok. Kurikulum 2013, Full Day School, PPDB zonasi, Merdeka Belajar, dan lain sebagainya. Kekurangannya adalah selalu aja GANTI MENTERI GANTI KEBIJAKAN.

Setiap ada kebijakan baru, seringnya ada kehebohan. Tetapi, ketika mulai menjalani, tau-tau udah ganti lagi menterinya. Hadeuuuhhh ... Cape, deeehhh...

[Silakan baca: Wacana Full Day School]

Chi pernah bertanya, di Indonesia ini punya blue print pendidikan atau enggak? Beberapa teman ada yang bilang kayaknya gak ada. Ada juga yang bilang kalau ditanya ke pejabat yang berwenang pasti akan bilang ada. Tetapi, sepakat dengan Chi kalau setiap ganti menteri selalu ganti kebijakan.

Kadang-kadang untuk hal yang berasa receh. Misalnya tentang ujian akhir. Setiap ganti menteri, istilahnya gonta-ganti melulu. UAS, PAS, PAT, entah apalagi nanti istilahnya. Padahal mah buat kita yang menjalankan ya gak ada perbedaan. Sama-sama ujian akhir semester.

Untuk hal seperti itu, Chi masih nyengir aja, deh. Meskipun tetap aja merasa heran. Tetapi, kalau yang udah bikin heboh seperti ini ya bakal jadi tulisan ribuan kata kayak sekarang hehehe. Ya abis mau gimana lagi? Syukur-syukur kalau masyarakat kecil kaya Chi didengar. Kalau enggak, setidaknya ini tulisan menjadi bagian dari perjalanan hidup kalau pendidikan di Indonesia tuh 'selucu' ini.

[Silakan baca: Kurikulum 2013 - Uh! atau Aha!?]


Bagaimana dengan Rencana Nai Masuk SMA Tahun Depan?


Peraturan PPDB DKI tahun ini memang bikin Chi sangat kecewa dan cemas dengan nasib Nai tahun depan. Tetapi, kalau membaca peraturan, menyimak diskusi antara orang tua, dan berbagai berita di media, maka Chi berkesimpulan memang tidak sepenuhnya salah Pemprov DKI. Malah semua kekisruhan ini berawal dari keputusan UN yang ditiadakan dan permendikbud yang tidak mencantumkan nilai sebagai syarat seleksi jalur zonasi.

Cuma pernyataan-pernyataan Kadisdik DKI, buat Chi banyak yang ngeselin. Makanya di postingan ini beberapa kali Chi caption pernyataannya.

Chi bersyukur setidaknya masih dikasih waktu 1 tahun lagi untuk berpikir. Setidaknya gak kaget banget. Tetapi, tentunya masih berharap banget tahun depan lebih diperhatikan lagi sistemnya.

Ini bukan tentang ngotot harus masuk sekolah negeri. Tetapi, masa' iya PPDB ini harus terus menjadi drama di setiap akhir tahun ajaran? Bahkan Jakarta yang sebelumnya adem ayem aja, tahun ini mulai kisruh. Ini kan jelas menimbulkan tanda tanya. Apa gak ada evaluasi atau upaya untuk meredakan kehebohan dengan membuat sistem seleksi yang dirasa lebih adil oleh banyak masyarakat?

Ya mungkin akan ada yang menganggap Chi hanya bisa berteori. Terserah aja, sih. Tetapi, yang pasti Chi merasa urusan pendidikan Indonesia kayak begini-begini aja. Berubah-ubah melulu tergantung menterinya.

Memang saat ini pandemi bisa dijadikan sebagai alasan. Tetapi, mengingat UN juga ditiadakan oleh Kemdikbud, masih jadi pertanyaan besar juga buat Chi. Apakah gelombang protes ini bisa membuat mas menteri mengevaluasi dan mengubah peraturannya atau tetap aja begini? Karena menurut Chi pengganti UN yaitu Assesmen Kompetisi Minimum dan Survei Karakter juga masih belum jelas.

Harusnya kan sudah disosialisasikan sejak UN dihapus. Dijelaskan bagaimana nanti proses seleksi masuk sekolah negeri dan lain sebagainya. Bahkan kalau assesmen itu katanya ada di kelas 8, harusnya tahun ajaran lalu Nai sudah menjalaninya. Buktinya kan gak ada sama sekali.

Kami sudah memilih beberapa sekolah swasta untuk Nai. Ya sebetulnya setiap kali Keke atau Nai ikut PPDB juga kami memperhitungkan sekolah swasta. Kan, belum tentu mereka lolos seleksi sekolah negeri.

Apakah Nai tetap akan ikut bimbel? Apakah langsung daftar ke sekolah swasta dan lupakan sekolah negeri kalau sistemnya memang terus seperti itu?

2 pertanyaa itu sempat bikin Chi galau. Chi merasa gak tega kalau nanti Nai udah berusaha keras belajar, ditambah dengan bimbel, eh gak taunya seleksinya masih pakai umur. Sebagai orangtuanya, rasanya nyesek banget kalau prestasi anak gak dihargai.

Bimbel juga membutuhkan biaya. Dengan kondisi pandemi COVID-19 begini, bikin semakin berhitung sama pengeluaran. Makanya Chi sempat ragu. Apa mending uangnya buat nambahin masuk ke sekolah swasta yang bagus aja daripada bimbel kalau seleksi masuk negerinya kayak begitu?

Sekolah swasta yang bagus biasanya udah penutupan di saat PPDB sekolah negeri dimulai, Sekolah swasta biasanya sudah mulai penerimaan siswa baru di awal tahun.

Kalau tahun-tahun sebelumnya kami gak mendaftar sekolah swasta manapun sebelum dipastikan lolos atau enggak masuk sekolah negeri. Memang ada risiko juga. Karena kalau sampai gak lolos, pilihan sekolah swasta semakin sedikit.

Tetapi, kalau kami sudah daftar sekolah swasta dulu sebagai pegangan, harus ada biaya yang dikeluarkan. Bila tidak jadi, makan akan hangus uang yang sudah dibayar. Padahal biaya sekolah swasta yang bagus kan gak murah. Makanya kami tetap memilih sekolah negeri dulu dengan harapan bisa keterima.

Dengan seleksi model usia begini, Chi jadi bingung baiknya bagaimana. Pengen Nai langsung memilih sekolah swasta yang bagus aja. Mulai lupakan sekolah negeri.

Tetapi, pendaftarannya kan awal tahun. Trus, gak taunya tahun depan ganti aturan lagi. Usia gak jadi syarat utama lagi. Mungkin aja itu terjadi karena pengumuman peraturan seleksi biasanya mepet. Siap-siap aja terkejut dengan peraturan kalau perubahannya ternyata drastis.

Chi memang cukup emosional dengan segala peraturan ini. Sampai rasanya mau bilang ke Nai supaya bersenang-senang aja di kelas 9. Gak usah belajar. Gak usah ikut bimbel. Nikmati yang namanya 'Merdeka Belajar'. Ya, pada akhirnya konsep merdeka belajar diplesetin menjadi bebas aja gak usah belajar kalau hanya usia yang dijadikan patokan. Motivasi anak untuk belajar menjadi berkurang.

Chi bahkan kepikiran pengen mencutikan Nai sampai dia cukup umur untuk masuk sekolah negeri. Tentunya, selama cuti itu dia mengisi kegiatan yang berfaedah. Di dalam bayangan Chi udah ada beberapa kursus ketrampilan yang menarik untuk ditawarkan ke Nai.

Chi juga sempat kepikiran untuk homeschooling. Pokoknya semua kemungkinan Chi pikirkan.

[Silakan baca: Menimbang Homeschooling di Masa Pandemi COVID-19]

Tetapi, K'Aie bilang sebaiknya Nai tetap bimbel. Kalaupun nanti seleksinya tetap murni pakai usia dan Nai terpental, jelas bukan salah Nai. Tetapi, gak ada salahnya untuk tetap berusaha belajar. Siapa tau juga peraturannya ganti lagi. Sambil cari-cari sekolah swasta yang bagus.

K'Aie kurang setuju dengan ide mencutikan Nai meskipun diisi dengan kegiatan berfaedah. Keke selama ini lancar aja sekolahnya. Masa' Nai harus cuti. K'Aie khawatir Nai akan terganggu psikologisnya.

Kami juga diskusikan ini ke Nai. Biar bagaimana dia harus tau kondisi pendidikan Indonesia. Chi pun berpesan ke Nai, "Pendidikan di Indonesia mungkin masih banyak masalahnya. Bisa aja suatu saat kita yang kena. Kalau sampai kejadian sama Adek, jangan mau sampai jadi korban. Di manapun Adek nanti sekolah, tunjukin bisa berhasil walaupun mungkin sampai saat ini yang berusaha dan berprestasi belum diapresiasi dengan layak oleh pendidikan kita."

Saat ini persaingan semakin global. Persaingannya bukan sesama anak bangsa lagi. Bisa jadi dengan seluruh warga dunia. Kualitas yang akan semakin berbicara. Selama kitanya gak berusaha bersaing untuk menjadi yang berkualitas, gak selamanya bisa beruntung lolos seleksi karena faktor seperti tua-tuaan usia.

Meraih kesuksesan memang tidak semudah kita bilang, "Asalkan berusaha pasti bisa." Seringkali yang terjadi untuk menuju sukses itu seseorang harus jumpalitan, menangis, jungkir balik, dan lain sebagainya. Segala upaya yang dikerahkan belum tentu juga jadi jaminan sukses. Kadang-kadang malah gagal.

Tetapi, berpikir kalau kesuksesan hanya milik orang-orang yang punya privilage ya gak tepat juga. Kalau gitu, mendingan kita yang merasa gak punya atau minim privilage, diam aja gak usah melakukan apapun. Bahayanya kalau gak bisa menerima keadaan adalah kita hanya diselimuti rasa iri dan marah, tetapi tetap minim usaha.

Privilage memang bisa mendatangkan keuntungan. Tetapi, apakah ada jaminan sukses? Selama kita tidak atau belum merasakan berada di sisi mereka, kita gak pernah tau kan seberapa besar perjuangannya. Bisa jadi tekanan terhadap mereka juga lebih besar.

Buat Chi, yang penting usaha dulu. Dengan usaha jadi tau seberapa besar kemampuan kita. Mau berhasil atau gagal, setidaknya lebih suka kalau seleksi berdasarkan usaha. Jadi ada apresiasi. Ya kalaupun tetap gagal, bisa bikin rencana lain. Itulah kenapa Chi gak setuju dengan seleksi berdasarkan usia.

Bagi para siswa, khususnya di DKI Jakarta yang tersisih hanya karena usia, semoga dapat sekolah yang terbaik, ya. Tetap semangat dan percaya, di saat persaingan semakin ketat, maka kualitas yang semakin dilihat. Akan selalu ada rezeki terbaik bagi mereka yang mau berusaha. Aamiin Allahumma aamiin.

  • Share:

You Might Also Like

57 comments

  1. Puaannjjaaanggg, aku bingung mau komen bagian mana hahahaha
    Tapiiiii setelah sampai pada proses acceptance *halagh, aku akhirnya bisa paham kenapa bisa kisruh begini. Rencana mau nulis di blog saat masih di proses anger, tapi aku pikir pikir harus lihat dulu secara keseluruhan dan bisa memahami proses seleksi ini yang memang bikin pusing para orang tua.

    Dan ketika udah pasrah dan nerima hasil, sampai udah mendaftar di 3 sekolah swasta (dan diterima) buat cadangan, akhirnya bisa masuk juga negeri. Perjuangan banget sih, tahun depan berjuang lagi buat adeknya wkwkwk. Semangattt kitaa semuaa :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, ya Allah. Selamat untuk Alya. Udah lega ya, Shin.

      Insya Allah tahun depan Raffi keterima juga di negeri. Tapi, jangan seruwet dan seaneh ini lah sistemnya hehehe

      Delete
  2. Membingungkan sih ya memang. Berbah menteri, berubah pula kebijakan. Saya kaget juga di jakarta kisruh PPDB-nya. Beberapa hari ada di TV-TV nasional sampai ada yang marah-marah. Semoga tahun depan menjadi lebih baik, ya Mbak Chi sistemnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. itulah yang bikin saya lama-lama kesel. Tiap ganti menteri, ganti kebijakan. Kayaknya dijadiin percobaan melulu

      Delete
  3. Beneran curhat ya sampai puanjaaaaanggg hahaha.. Ulasan dan opininya mantap, euy!

    Terus terang saya tak begitu mengikuti PPDB tahun ini soalnya keponakan Alhamdulillah tidak sedang naik jenjang. Tapi ya gitu kalau dengar curhatan teman yang sumpek mikir sekolah anak, saya jadi kasihan. Memang sih tahun ini tidak ada UN. Betul anaknya terbebas dari ujian, justru itu beban orangtua yang menjalani ujian hidup

    ReplyDelete
    Replies
    1. Panjang karena saya gak mau sekadar ngomel. Tapi, harus menyertakan bukti hahaha

      Dihilangkannya UN kesannya jadi bikin siswa santai, ya. Tapi, kalau kemudian seleksinya diganti jadi umur ya anyep

      Delete
  4. jujur saya nggak mengikuti kasus ini mbak, karena anak saya masuknya ke swasta. tapi banyak teman saya yang mengeluh di medsos tentang zonasi ini mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau swasta memang lebih gak ribet untuk urusan PPDB. Karena standarnya udah jelas ya, Mbak. Gak berubah-ubah melulu :)

      Delete
  5. Ceritanya ngos2an akutu, Chi..
    udah kisruh di FB, di blog pula.
    Tapi kadang emang bener suka bikin esmosi jiwa masalah ppdb ini dari tahun ke tahun, belom nemu ppdb aman tentram loh jinawi gitu.
    Semoga pemerintah makin bijak deh menerapkan kurukulum, udah lah ga osah ganti2 aja tiap tahun, min 5 tahun sekali

    Tapi emang bener ya, lingkungan keluargaku masih pengabdi negeri, kalo aku pribadi kemana pun jalurnya sama aja, kadang kalo di itung2 masalah biaya negeri sekarang hampir sama aja ma swasta hahaaa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, Teh. Silakan ajalah kalau memang mau seleksi nilai atau usia. Tetapi, jangan berubah-ubah. Asal ganti menteri, ganti kebijakan. Yang terkaget-kaget dan jadi korban kan seringkali masyarakat.

      Alhamdulillah di lingkungan saya gak ada yang pengabdi negeri. Lha, saya dan adik-adik aja lulusan swasta semua hehehe. Di keluar suami pun beragam. Jadi sebetulnya sama aja mau negeri atau swasta. Cuma ini masalah kebebasan memilih dan merasa gak adil aja kalau seleksinya seperti itu.

      Kalau biaya sih, sebetulnya jauh lebih irit di negeri. Di Jakarta beneran gak boleh ada pungutan apapun. Uang kas yang nominalnya receh aja, kalau ada orang tua gak setuju bisa urusannya sampai diknas. Dan bisa ribet banget. Jadi memang beneran irit kalau masuk negeri. Pengalaman saya nyekolahin Keke dan Nai di negeri seperti itu. Entah kalau di daerah lain ya, Teh

      Delete
  6. jujur aku sampe nganga bacanya, wow sampe serumit ini ya mau masukin sekolah anak. Haloo apa kabar sistem anakku besok (yang sekarang 4 tahun)? Apakah sistem bagus gak diterusin aja sama menteri selanjutnya. Btw baru aku tahu kalo kuota jalur prestasi cuma seuprit ya Chi. Aku suka tulisan ini gak hanya ngomel, tapi selalu ada dasarnya, data yang valid, aku jadi ikutan belajar Chi. Karena sebenernya anakku sekarang mau aku masukin TK, entar SD nya jadi 6 tahun (egois gak sih ini HAHA). Gegara mbak Korona datang, aku masih parno dong lepasin anak piyik 4 tahun sekolah, juga gak yakin sama sistem online anak TK gt loh, onlinenya ya ngapain? hehe. Maaf guru2 TK. Akhirnya aku tunda aja tahun depan sekolah TKnya 5 tahun, jadi SDnya 7 tahun. Nah pas sharing sama blogger Jakarta pada dukung 7 tahun aja SD nya karena sekarang acuannya kompetisinya umur. Hmm, semoga dimudahkan dilancarkan menyekolahkan anak buat kita semua ya Chi. Sekarang akunya sih meski anak gak sekolah tetep ada anggaran belajar misalnya beli sepeda *eh Maksudnya buku dan mainan edukatif lainnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. yang bikin rumit itu karena ganti menteri ganti kebijakan melulu hehehe. Coba kayak swasta yang PPDBnya tiap tahun sama aja. Kayaknya gak rumit.

      Ya misalnya kalau memang hanya seleksi umur, ya terapkan aja terus mau menteri siapapun juga. Jadi, masyarakat udah punya gambaran kalau masuk negeri ya bagusnya umur sekian supaya bisa keterima. Lha ini kan enggak. Suka-suka menterinya aja bikin aturan berubah-ubah hehehe

      Delete
  7. Ya ampun beneran deh urusan sekolah anak aja rumit banget udah kayak kisah cinta di drama korea bhahahaha

    Aku cuma waktu Kayla masuk SMP aja ikutan PPDB dan itu pun stresnya setengah mati, walaupun akhirnya keterima juga di SMP Negeri.

    Waktu Kayla mau masuk SMA semacam udah males dan lelah gitu ngikutin berbagai prosedur dan birokrasi, apalagi emang dari segi usia Kayla masih muda karena SD-nya cuma 5 tahun aja bhahahaha

    Jadi nyerah duluan, SMA langsung masukin swasta aja kebeneran emang anaknya mau. Fathir juga kalo sistemnya bikin pening udah lah mending langsung swasta aja, mentalku tydack sekuwat dirimu soalnya hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. huahahaha tetapi, setidaknya kisah cinta di drakor masih tetap bisa dinikmati, ya. Kalau ini rasanya pengen ngomel. Selalu ribet amat ya kalau berurusan dengan sesuatu yang ada embel-embel 'negeri' :D

      Delete
  8. kemarin ikut mendampingi ponakan yang mau masuk SMP di daerah, udah kesana kemari sulit juga, dan yang paling sedih, dia punya prestasi bahkan sertifikat nya itu dilampirkan tapi tetap gak masuk dg alasan kuota penuh, ternyata banyak anak-anak dari Jakarta yang tidak diterima di Jakarta, lalu larinya ke daerah. katanya asal masuk dulu, gampang kelas 2 pindah lagi ke jakarta. gak tau deh itu gimana aturannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sedih jadinya kalau begini kan, ya. Anak-anak berprestasi jadi malah yang ribet cari sekolah ke sana-sini

      Delete
  9. Saya pengen ngamuk waktu ada yang bilang orang tua mampu jangan masukin anaknya ke sekolah negeri. Loh ini hubungannya apa, kan kami berhak memilih sekolah sesuai kebutuhan anak, gak ada hubungannya dengan tingkat ekonomi. Wong anak mau belajar kok dikaitkan dengan ekonomi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah iya memang aneeeeh. Ngapain juga melarang kalau secara aturan dibolehkan. Kalau mau melarang ya coba lihat aturannya dulu. Atau ganti aja semua menjadi afirmasi

      Delete
  10. Salut sama kak Chi yang bisa menyuarakan isi hatinya ke blog dengan runut sehingga bisa dipelajari banyak orangtua di luar sana yang memiliki masalah yang sama.

    Kebingungan.

    Aku pun jadi kzl karena kualitas sekolah negeri saat ini semakin dipertanyakan. Padahal zamanku, anak-anak yang masuk sekolah negeri berdasarkan DANEM adalah anak-anak saringan. MashaAllah~
    Lingkungan bener-bener harus dipilih agar anak-anak tumbuh dengan baik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di DKI pun sampai tahun lalu masih menggunakan NEM. Tapi, karena tahun ini UN ditiadakan jadinya ya begitu deh seleksinya. Entah deh tahun-tahun berikutnya setelah UN beneran dihapus

      Delete
  11. Aku agak nggak ngikuti kisruh ppdb ini mba, tapi baca di trending google. Soalnya di rumah udah nggak ada yang sekolah. Semoga kedepannya menjadi lebih baik dan nggak berubah-ubah lagi.

    ReplyDelete
  12. Beneran panjaaaaang bangeet. Tapi salut nulisnya sampe ngutip ke beberapa media dan perundangan.

    Aku dulu sekolah-kuliah negeri trus, tapi aku juga ga setuju seleksi usia. Kadang kan ada yang usianya tua karena ga naik kelas.

    Ah moga ga ganti-ganti mendadak gini lah. Puyeng.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya. Permasalahannya adalah ganti menteri ganti kebijakan melulu. Bikin puyeng aja

      Delete
  13. Kalau lihat dari reaksi yangbtimbul memang PPDB inimeninbukkan banyak masalah ya mba. Kami mencoba realistis aja.. dengan peraturan yang seperti i i, umur Bo yang jauh lebih muda dari teman - teman lainnya, plus adjustment Bo yang lumayan besar akhirnya kami pilih SMA swasta sejak awal..swmoga semua anak - anak kita bisa sukses semuaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiin.
      Iya, PPDB di DKI tahun ini banyak masalah. Padahal tahun-tahun sebelumnya enggak. Ini berawal dari nilai yang ditiadakan

      Delete
  14. Emang lumayan carut marut nih kebijakan PPDB yang sekarang. Teman-temanku banyak yang mengeluhkan juga nasib anaknya yang ga keterima dimana-mana. Apalagi untuk daftar sekolah swasta mereka ga ada cukup dana. Semoga saja kebijakan segera ditinjau ya agar anak-anak yang berusia lebih muda tidak dirugikan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah makanya saya menyayangkan banget sikap yang seolah-olah mengentengkan. Tinggal masuk swasta atau lain sebagainya. Sementara anak yang sudah berusaha belajar gak ada apresiasinya

      Delete
  15. Ya ampun Mak pusing banget ya sama aturan yang tumpang tindih kayak gini. Aku kemarin sempet nonton Aiman yang pas ngomongin soal ppdb DKI aja udah pusing apalagi buat yang bener-bener mengalami kesulitan buat cari sekolahan. Kalo adekku di Jogja kemarin ga keterima di SMK negeri karena kalah jarak & nilai, jadi ya sudah di swasta aja dengan resiko siap-siap buat bayar uang buat sekolahnya harus dilebihin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menurut saya, selama akar permasalahannya gak diberesin, kisruh zonasi akan terus ada. Yang paling parah memang jalur zonasi. Masyarakat kayak dipaksa sekolah dekat rumah, padahal belum tentu dekat rumah ada sekolah. Belum lagi dengan seleksinya yang pakai umur. Memang bikin pusing

      Delete
  16. Nah, ini dia kan...anakku Rafa daftar jalur zonasi udah jelas kalah gara2 usia yang muda banget. Waktu itu masuk website nya aja super luamaaa dan akhirnya memang ga daftar SMUN. Sebelumnya sudah daftar dan alhamdulillaah diterima di MAN 13, sekolah bagus di bwh Depag. Sudah ikhlas dan yakin bakaln sekolah di sana, tau2 aku baca info dari walas di wag bahwa ada jalur tahap akhir pendaftaran SMUN. Singkat cerita, Rafa diterima SMUN 49 murni nilai tanpa lihat usia, alhamdulillaah. Udah deket banget sama rumah hanya 1,6 km bersyukur banget :) Kasihan teman2 kita yang anak2nya belum dapat sekolah ya mbak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat ya, Mbak. Akhirnya dapat sekolah yang dekat rumah. Tahap akhir kayaknya gak murni nilai juga karena saya lihat di situs PPDB DKI, akreditasi sekolah masih dicantumkan. Poin utamanya memang di rata-rata nilai dikali akreditasi. Kalau masih sama dengan peserta lain baru seleksi umur.

      Tebakan saya kenapa situs PPDB DKI sempat susah dibuka karena jadwal pendaftarannya barengan dari jenjang SD hingga SMA. Kalau dulu kan per jenjang. Satu jenjang selesai, baru mulai jenjang lainnya

      Delete
  17. Sebagai orang tua anak usia sekolah, tentu capek juga ya ganti menteri ganti program pendidikan. Effort ngajarin anak, dan penerimaan anak terhadap materi pelajaran harus menyesuaikan diri terus menerus. Kegelisahan Mbak myr tentang semangat belajar anak-anak juga ikut mengamini

    ReplyDelete
    Replies
    1. capek banget dan berasa kayaknya pemerintah kita gak punya blue print pendidikan Indonesia. Nah itu, Mbak. Kurikulum kita semakin berat bobotnya. Kalau terlalu santuy, nanti dianggap pemalas. Tetapi, ketika sudah berusaha belajar, malah seleksinya pakai umur

      Delete
  18. Panjang dan lengkap...saya mengalami PPDB dan menulis juga sesuai opini saya.
    Tapi untuk perbandingan saya memang belum pernah ngalamin sebelumnya. Jadi hanya berdasarkan pengalaman saat ini saja. Saya kira sih di luar lebih kurangnya sudah cukup adil.
    Karena semua ada porsinya sesuai jalur.
    Karena memang kemampuan negara menerima semua anak usia sekolah di negeri belum ada. Maka masih ada seleksi.
    Saya membandingkannya dengan negara lain yang memang sudah maju, dan saya pernah nyekolahin anak di negara itu. Tapi, setidaknya memang sebuah perubahan memerlukan waktu untuk adaptasi sampai siap untuk dijalankan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari dulu di PPDB DKI memang semua ada jalur dan porsinya, Mbak. Tetapi, permasalahannya bukan sekadar karena keterbatasan pemerintah menyediakan jumlah sekolah. Tahun-tahun sebelumnya juga terbatas, tapi di DKI gak kisruh.

      Seperti yang saya tulis di sini, sistem seleksinya yang tahun ini berubah banget hingga menyebabkan kisruh. Beberapa jalur dibuat sama. Contohnya kayak afirmasi dan zonasi. Lalu untuk apa dibikin beda jalur kalau masih sama?

      Saya juga sepakat kalau keterbatasan memang akhirnya ada seleksi. Sejak dulu pun ada seleksi. Cuma yang saya kritisi saat ini adalah sistem seleksinya yang jauh berbeda. Setidaknya kalau sebelumnya usaha anak untuk belajar masih diapresiasi. Meskipun mungkin akan tetap gagal dalam seleksi. Tetapi tidak jadi kisruh. Kalau sekarang kan hanya murni umur. Dirasa gak adil untuk banyak orang tua.

      Bagi anak yang dari kalangan ekonomi mampu, mungkin kecewanya gak berkepanjangan karena bisa segera mencari sekolah swasta. Tetapi, kasihan untuk anak yang ekonominya kurang. Bahkan yang dari menengah aja banyak yang bingung. Tidak sanggup biaya menyekolahkan anak ke swasta. Sedangkan negeri sebagai harapan malah harus kandas karena usia. Ini yang dirasa gak adil buat banyak orang tua. Karena anak-anaknya sudah belajar.

      Perubahan memang membutuhkan adaptasi. Tetapi, kalau setiap ganti menteri ganti kebijakan melulu ya patut dipertanyakan juga, lah

      Delete
  19. Gilaaakk ya Mba
    Makin hopeless aja aku nih Mba
    Ga tau, makin k sini, aku kok ngerasa ortu dan murid nih sama2 kena prank :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya gitu deh kalau ganti menteri ganti kebijakan melulu. Siap-siap aja dapat kebijakan baru yang kadang-kadang berasa kayak prank.

      Tadinya saya berpikir ketika anak-anak tahun ini tetap ada ujian sekolah online, nilai-nilai tersebut yang akan jadi modal untuk seleksi zonasi di DKI. Ternyata malah umur. Dan itu semua berawal dari permendikbud yang menghapus kritesia nilai untuk zonasi

      Delete
  20. Setiap tahun selalu aja ada kisruh PPDB. Menurutku solusinya adalah menambah jumlah sekolah di negeri, terutama yang tingkat SMP dan SMA. Semua anak di Indonesia berhak untuk belajar dengan biaya yang murah. Aku bakal ngalamin ini 2 tahun lagi kayanya, Mbak Chi. Semoga tahun depan sih sudah ada aturan yang lebih jelas dan tepat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Indonesia sudah punya Wajib Belajar 12 tahun. Bahkan peraturan pemerintah pun ada.

      Menurut saya, ketika sudah punya program seperti ini, justru yang harus pertama kali pemerintah lakukan adalah wajib menyediakan jumlah sekolah yang cukup. Karena bagaimana mungkin anak Indonesia wajib belajar 12 tahun kalau jumlah sekolahnya aja seperti sekarang?

      Ya pada akhirnya hanya kisruh. Kalaupun ada aturan, sekarang cuma bongkar pasang aja gimana menterinya. Tetapi, akar permasalahannya gak diselesaikan

      Delete
  21. Ikut panas membara Mak Mir aku bacanya, hehehe. Beneran kebuka mata dengan isu ini. Anakku masih belom 2 tahun tapi karena bulan lahirnya bakal rugi klo nunggu di negeri. Padahal aku dr sd sampai kuliah di negeri, kayaknya anakku bakal di swasta terus mungkin karena sayang kalau ngikuti aturan umur kurang dikit doang menuju umur minimal, itungan bulan ajah. TErnyata isunya banyak sekali ya buat sekolah ini. MAsalah kebijakan publik di negara kita emang sering bikin sakit ati, wkwkwk, tapi yaudah deh sbg ortu kami udah harus dari skrg banget investasi sampai jenjang kuliah supaya ga pusing kalau kebijakannya ganti2, smg para ortu juga dicukupkan rejeki. Btw utk yang cuti ga disaranin homeschooling aja Mak Mir? Atau kedua ortu kerja ya mungkin jd repot jg gabisa ambil solusi homescholing

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berarti masih lama ya untuk masuk sekolah hehehe. Ya harapannya peraturan di dunia pendidikan semakin baik. Setidaknya dimulai dengan tidak ganti menteri ganti kebijakan, deh. Kalaupun ada perubahan untuk memperbaiki yang udah ada tanpa harus mengubah secara beda. Jadi kelihatan kalau kita memang punya blue print.

      Masalahnya memutuskan homeschooling gak semudah itu. Apalagi kalau kita belum tau seluk beluknya. Harus banyak pertimbangan juga. Saya udah nulis panjang juga sih tentang HS di postingan ini

      Delete
  22. Aku jadi lebih paham tentang PPDB ini mak Chi, jujur aku cuma bacain dan dengerin cerita beberapa teman yang curhat tentang PPDB. Walau anakku tak masukin swasta bukan berarti aku gak mau tau tentang PPDB itu sendiri, dari tulisan ini jadi belajar tambah banyak juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekolah swasta saat ini banyak pilihan dan kualitasnya semakin banyak yang bagus. Tetapi, memang suka berbanding lurus sama biaya juga hehehe

      Delete
  23. Saya ngikutin drama dan kisruhnya PPDB DKI 2020 ini dari statusstatus teman di media sosial, terutama facebook. Ya ampun...bikin lelah jiwa dan raga banget mikirinnya yaa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya lelah banget, Mbak. Meskipun PPDB DKI tahun-tahun sebelumnya udah bagus, tetap aja saya deg-degan. Karena khawatir nilai UN anak-anak saya gak sanggup bersaing. Eh, sekarang malah jadi aneh dasar seleksinya

      Delete
  24. Saya juga degdegan soalnya tahun depan anak saya lulus dan usianya pas banget kurang setahun dari usia yang seharusnya. Kalau peraturan ini diberlakukan nasional walaaah bisa berabe bisa nganggur 1 tahun anak saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya Mbak. Sekarang setiap daerah punya peraturan berbeda-beda

      Delete
  25. Wah iya ya, tahun ini PPDB Jakarta kisruh. Gara-gara ada catatan usia ya. Jadinya Banyak yang demo.


    PPDB Jabar sebenarnya begitu juga, tapi mungkin tak separah di Jakarta. Anak bujangku nih korbannya. Daftar jalur akademik gak lolos di sekolah jauh. Giliran zonasi juga gak nyampe. Semoga deh, sekolah di manapun, anak-anak bisa maksimal

    ReplyDelete
    Replies
    1. sependek yang saya tau, faktor usia di Jabar gak dijadikan poin utama, ya. Tetapi, memang zonasinya juga masih pakai ukur jarak rumah ke sekolah

      Delete
  26. Iyaa banyak yang bersorak sorai pas dihapus UN ya. Padahal akhirnya dampak ke penerimaan siswa baru juga. Aku sih baru mengamati aja mak terutama dr status2 nya temen2 trmasuk dirimu. Moga tahun depan makin banyak perbaikan di sistem penerimaan siswa baru ini ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiin. Setidaknya diawali gak usah berubah-ubah melulu. Bikin pusing aja

      Delete
  27. Panjaaaaang.
    Aku sampai skrng bingung knp di negara ini tiap ganti pemimpin ya ganti kebijakan khususnya buat pendidikan hiks.
    Emang dr segi kuota kyknya yg masuk negeri sesuai usia makin dikit aja ya mbak :(
    Banyak kekecewaan di TL kmrn, tapi semoga semua anak2 diberi jodoh sekolah yg terbaik. Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Insya Allah, selama kita masih mau berusaha sekolah di manapun itu akan jadi yang terbaik. Tetapi, memang kekecewaannya karena sistem seleksi yang dirasa gak adil dan berubah-ubah melulu. Jadi semacam kayak dijadi kelinci percobaan terus

      Delete
  28. Beneran panjang ya, hihihi, tapi seru... Anak saya juga masuk sd 6,5 tahun masa harus nunggu 7,5 tahun...

    ReplyDelete
    Replies
    1. jadi serba salah ya kalau umurnya nanggung hehehe

      Delete
  29. Memang membingungkan. Kalau di Jogja adalagi masalah ketika zonasi ada siswa yg berdasar zonasi wilayah dia tidak bisa masuk ke mana2 karena di sekitar rumahnya tidak ada sekolah. Memang sebaiknya ketika UN dihapus dipikirkan pula sistem seleksi ketika anak masuk smp/sma. Membuat seleksi ujian masuk spt kl anak masuk ptn gitu dimungkinkan sebenarnya. Nanti dibuat semacam panitia bersama. Tapi ini tergantung pembuat kebijakan sih ya..hihi ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah kan. Blank spot begini juga masih masalah di banyak daerah. Makanya saya heran aja ketika jalur zonasi ini kesannya dipaksakan

      Delete

Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)

Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^