Seharusnya Media dan Kita Semua Sensitif Gender dan Ramah Anak

By Keke Naima - April 24, 2016

media sensitif gender dan ramah anak

Seharusnya Media dan Kita Semua Sensitif Gender dan Ramah Anak - Berapa banyak media yang menulis atau menayangkan berita yang ramah terhadap perempuan dan anak? Secara angka pasti, Chi tidak tahu karena belum pernah melalukan survei. Tetapi secara pandangan mata yang dilihat sehari-hari, rasanya berita yang tersebar secara viral lebih banyak yang memojokkan perempuan atau anak. Begitu juga dengan berbagai tayangan, mulai dari sinetron hingga iklan.

Teman-teman, pernah lihat iklan salah satu brand pompa air? Dimana perempuan dalam iklan yang menjadi tokoh utama bertubuh montok dan berpakaian minim. Gak hanya itu, seluruh dialog di iklan itu pun 'rada-rada'. Ah, gak usah dijelaskan secara gamblang kayaknya udah pada mengerti. Pastinya, Chi gagal paham hubungan antara produk sama iklannya. Iklan mungkin bisa aja terlihat gak nyambung sama produk. Tapi, seharusnya bisa dong gak melecehkan perempuan?

Sebagai perbandingan, coba lihatlah iklan produksi Thailand. Seringkali, bahkan Chi pun melakukan share iklan asal negara gajah putih ini yang mengharu biru. Rasanya mengena banget di hati. Kabarnya industri kreatif Thailand maju karena negaranya sangat mendukung penuh.

Terlepas dari ada atau tidak ada dukungan pemerintah, sebetulnya di Indonesia juga banyak iklan keren. Artinya, kreativitas juga ditunjukkan di sini. Kalau yang lain bisa bikin iklan bagus, kenapa juga harus bikin iklan yang enggak banget?

-----------------------

Mari kita mundur sekitar 3 tahun yang lalu ...
Chi pernah menulis postingan yang berjudul "Mereka Berhak Punya Masa Depan." Singkat cerita, isi postingan itu tentang ketidaksetujuan Chi terhadap seseorang yang dianggap ahli tentang apa yang dilakukannya. Mengupload foto sekumpulan anak SMP dengan pose yang tidak pantas.

Ya, Chi paham dengan keresahannya. Semua orang tua pastinya resah bila itu terjadi pada anak sendiri. Chi pun merasa demikian. Tapi haruskah mengupload fotonya tanpa diblur terlebih dahulu? Hingga wajahnya sangat jelas terlihat bahkan nama sekolahnya pun ketahuan. Bagaimana kalau yang melakukan hal itu adalah anak kita sendiri?

Mereka adalah anak-anak yang masih berhak punya masa depan, lho. Terlepas dari apapun kesalahan mereka. Lagian kalau salah sebaiknya dirangkul. Penyebaran foto secara viral tanpa diblur sama sekali akan meningkatkan resiko cyber bullying. Silakan cari sendiri efek cyber bullying yang akhirnya menimbulkan bunuh diri sebagai salah satu resikonya.

Sampai Chi berpikir bahkan bilang ke anak-anak kalau di sedang berada di luar rumah sebaiknya bersikap sempurna. Padahal mana ada manusia yang sempurna? Masalahnya, zaman sekarang kamera di mana-mana. Saat ini, berapa banyak yang masih punya hape tanpa fitur kamera? Dengan adanya fitur kamera, semakin mudahnya orang jeprat-jepret. Kita melakukan kesalahan sedikit aja, trus apes kena jepret berpotensi viral, deh!

Dan, kalau udah kena cyber bullying, seringkali seperti hukuman seumur hidup. Sering kita melihat kasus lama dihangatkan kembali. Padahal bisa aja pelakunya sudah lama tobat. Nah, yang begini yang akhirnya bisa memicu depresi bahkan bunuh diri. Karena seperti dianggap memiliki kesalahan yang tak terampuni. Benar-benar harus tangguh dan dikeliling oleh orang-orang yang sangat menyayangi serta mendukung kalau sudah begini.

-----------------------

tips agar media sensitif gender dan ramah anak

Sekarang kita mundur ke tahun 2014. Chi pernah membuat status seperti di screenshot itu.

AQJ ... Sepertinya banyak orang sudah tau siapa yang dimaksud dengan AQJ, ya. Wajahnya pun tau karena terlihat sangat jelas disetiap pemberitaan. Tapi Chi tetap memilih menginisialkan namanya dan tidak memperlihatkan wajahnya.

Chi gak bela kesalahannya, kok. Sama juga dengan anak SMP yang berbuat asusila tersebut. Gak sedikitpun membenarkan apalagi membela tingkah laku mereka. Tapi, bagi Chi mereka tetap berhak punya masa depan lebih baik. Terlepas dari apakah mereka akan menggunakan haknya atau tidak karena itu kembali kepada pola asuh. Tapi yang jelas, Chi juga gak punya hak untuk merampas.

Mungkin kita sulit berempati terhadap pelaku sekalipun masih usia remaja. Lalu bagaimana kalau si anak berada di posisi korban? Chi beneran gak habis pikir ketika di berbagai social media bahkan yang sifatnya lebih privat sekalipun seperti di grup WA dengan mudahnya seseorang menyebarkan wajah korban. "Ini lho wajah anak korban di sekolahnya."

Lha, trus kenapa? Apakah ada untungnya kalau bisa melihat wajahnya? Maaf, buat Chi menyebarkan wajah selain gak etis juga hanya untuk memenuhi hasrat kekepoan aja.

Tanpa perlu tau seperti apa wajah si anak pun seharusnya kita sama-sama berharap dan berdoa supaya masa depannya kembali cerah. Semoga anak tersebut mendapatkan penanganan yang tepat. Cobalah memposisikan seperti mereka. Rasanya gak akan rela lahir dan batin kalau sampai wajah (anak) kita sebagai korban terpampang jelas.

--------------------------

Kalau ini baru-baru saja terjadi. Tentang anak SMA di Sumatera yang marah-marah ketika kena razia polisi. Sekali lagi, Chi gak membela kelakukan yang seperti itu, kok. Tapi haruskah wajahnya diperlihatkan dengan jelas? Di share ribuan netizen, ditayangkan berulang-ulang di berbagai media. Apakah yang share dengan cemoohan paham betul kenapa anak perempuan itu begitu ngamuk saat dirazia polisi?

Kembali ke postingan Chi yang 3 tahun lalu itu. Sebelum membuat postingan, Chi sudah menyampaikan pendapat langsung di status yang bersangkutan. Status yang menuai banyak pro-kontra. Salah satu komen yang pro dengan status tersebut kira-kira berbunyi begini, "Gak perlu ditutupin wajahnya. Biarin aja nyebar. Biar orang tuanya tau kelakuan anaknya."

Ya, orang tua memang seharusnya tau kelakuan anaknya. Tapi memangnya harus tau dengan cara disebar begitu, ya? Siapa tau sebelum foto tersebar, orang tua anak-anak tersebut sudah tau lebih dulu dan melakukan tindakan. Nah, kalau gitu kayak apa perasaan orang tua mereka, ya?

Balik lagi ke kasus anak SMA ini. Apa yang terjadi pada ayah anak ini setelah berita tentang anaknya sangat viral dan terus disiarkan di media tanpa henti? Jantungnya tidak kuat, kemudian ayahnya wafat. Apakah solusi seperti ini yang kita semua inginkan? Yuk, ah renungkan lagi.

Jumat 18 Maret 2016 di hotel Orion Jakarta, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengundang para awak media untuk urun rembug dalam penyusunan panduan pelatihan bagi media yang responsif terhadap isu perempuan dan anak. Berbagai awak media offine dan online turut hadir, termasuk dari kalangan blogger. Saat pertemuan tersebut, draft panduan baru selesai sekitar 80%. Itu lah kenapa menurut ibu Aida Milasari selaku Konsultan di KPPPA, mengundang para awak media untuk ikut memberi masukan.

Apabila draft sudah jadi, rencananya akan diadakan pelatihan bagi para awak media. Memberikan keterampilan teknis kepada para awak media untuk menganalisis berbagai fakta, isu dan data agar menjadikan media yang sensitif gender dan ramah anak. Hak asasi perempuan dan anak, hingga bagaimana kode etik reportase akan dibahas pada saat pelatihan.

Dalam acara diskusi tersebut, Chi sependapat bahwa yang seharusnya bertanggung jawab bukan hanya media. Setuju banget bila mulai saat ini kita semua harus mulai buang sejauh mungkin prinsip "Bad News is Good News." Hal ini juga berlaku untuk para blogger. Mulailah membiasakan membuat tulisan yang positif. Tidak menyinggung/menyakiti berbagai aspek.

Program sebagus apapun yang dibuat oleh KPPPA tidak akan maksimal bila tidak didukung berbagai pihak. Media harus mulai berprinsip "Good News is Good News." Tidak hanya media, pihak lain pun harus ikut berperan. Contohnya seperti pembuatan iklan. Kreatif tidak harus melecehkan.

Termasuk juga para netizen. Coba berpikir sekali lagi, sudah seberapa sering kita mudah termakan oleh berita media? Misalnya, baru juga membaca judul langsung main share. Seberapa mudah jari-jari ini share pemberitaan tanpa dipertimbangkan lebih dahulu?

Chi memang sudah lelah dengan segala berita negatif atau yang tidak berimbang terutama yang berkaitan dengan perempuan dan anak. Seharusnya media dan kita semua sensitif gender dan ramah anak. Tidak perlu menunggu program KPPPA ini, kita semua bisa memulai dari diri sendiri. Mulai dari sekarang ... Yuk!

  • Share:

You Might Also Like

21 comments

  1. makasih diingatkan mak, iya ya..capee liat berita negatif :(

    ReplyDelete
  2. aku mengihdari nonton berita kalau aada anak-anak. Belum lama keponakan tanya artinya prostisusi & PSK krn ga sengaja dia lihat tayangan berita

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya juga nyaris gak pernah nonton berita, Lid. Pusing lihatnya

      Delete
  3. cepet banget kalau ada berita negatif, langsung nyebar kemana-mana, dengan foto yang jelas banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. berita negatif sebertinya lebih cepat menyebar :(

      Delete
  4. Iya nih Mak Chi, apa2 asalkan bisa viral langsung pada berlomba2 share membabi buta tanpa mempertimbangkan efek2nya lebih dahulu. Duh, harus ikutan introspeksi nih diriku biar jadi netizen yg tidak asal share berita yg bermuatan negatif.

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya juga semakin belajar untuk tidak asal share

      Delete
  5. Setuju mbak Myra, kadang anak-anak melakukan sesuatu karena pengaruh lingkungan atau disuruh teman disertai ancaman. Kalau tersebar mereka pasti akan sangat malu dan depresi. Sangat mengerikan memang ya mbak, semoga kedepannya orang akan sadar harus share berita secara benar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. memang kalau melihat sisi negatif pemberitaan media suka bikin parno. Ya, saya juga berharap semakin banyak yang sadar

      Delete
  6. Beneer mb... kadang lama2 males lihat TV kl informasinya cenderung negatif semuaaa...

    ReplyDelete
  7. Iya Mbak, mulai dari diri sendiri, gak ikutan nyebar2 foto yg gk layak utk disebar di medsos

    ReplyDelete
  8. Aku juga sebel, makin kesini orang bisa gampang banget ngebully.

    ReplyDelete
  9. sepakat mba chi...
    mulai dari diri sendiri untuk lebih mawas diri kalau posting di medsos

    ReplyDelete
    Replies
    1. yup! kalau bukan kita yang lebih dulu melakukan, siapa lagi

      Delete
  10. Intinya hati2 menggunakan sosmed,kenali batasan2 dalam berinternet. Jadi sebaiknya kenali dulu apa masalahnya, barulah berkomentar... Jangan asal bunyi bae kayak kutilang

    ReplyDelete
  11. Setuju banget, siapa lagi yang bertanggung jawab pada pendidikan anak-anak kita kalau bukan kita sendiri

    ReplyDelete
  12. saya jd lebih hati-hati krna banyak berita seliweran yang simpang siur ya, benar-benar dilihat dulu sebelum ikut menyebarkan. Jadi ingin memeluk anak dan melindunginya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. pengennya jaid lebih potect terhadap anak, ya

      Delete

Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)

Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^