Dear, Bunda, Jangan Lakukan 3 Hal Ini Saat Anak Sedang Berkompetisi, Ya.

By Keke Naima - January 22, 2016

Jangan Lakukan 3 Hal Ini Saat Anak Sedang Berkompetisi

Dear, Bunda. Jangan lakukan 3 hal ini saat anak sedang berkompetisi, ya. Karena efeknya bisa gak baik untuk anak. Bukankah orang tua ingin melakukan yang terbaik untuk anak? :)

Teman-teman, pernahkah putra atau putrinya berkompetisi? Keke dan Nai pernah beberapa kali ikut kompetisi. Kompetisi di sekolah atau di luar sekolah. Sejauh ini, Chi memberi dukungan setiap kali mereka ikut berkompetisi. Dukungan yang Chi dan K'Aie berikan adalah 


  1. Ajakan supaya mereka semangat berlatih
  2. Menemani saat mereka berkompetisi bila memungkinkan. -> Yang dimaksud memungkinkan adalah bila dibolehkan untuk menemani. Biasanya kalau kompetisi di sekolah, kami tidak menemani karena memang tertutup.
  3. Tetap berikan semangat apapun hasilnya. Yang penting mereka gak melakukan kecurangan

Tapi pernah beberapa kali Chi melihat langsung sikap orang tua yang menurut Chi justru kurang mendidik di saat anak sedang berkompetisi.


Memalsukan Data Peserta


Chi beberapa kali mendengar pengakuan orang tua yang beli piala karena anaknya kalah lomba. Biasanya, sih, alasannya karena anaknya menginginkan punya piala walaupun belum mengerti tentang arti juara. Asalkan sudah punya piala, mereka akan senang. Daripada terus-menerus nangis meminta piala. Sebetulnya, Chi gagal paham dengan alasan beli piala supaya anaknya senang. Tapi, ternyata ada yang lebih bikin Chi gagal paham lagi.

Ketika masih duduk di bangku TK, Keke beberapa kali ikut lomba mewarnai dimanapun. Biasanya, sebelum lomba dimulai, para peserta diminta untuk mendaftar ulang dengan menyerahkan foto copy akte kelahiran.

Saat sedang antre daftar ulang, Chi mendengar 2 orang ibu yang baris di depan sedang asik berbincang-bincang. Salah seorang dari mereka bercerita kalau yang akan ikut berlomba nanti adalah keponakannya tapi nama yang didaftarkan adalah nama anaknya. Alasannya adalah keponakannya sudah seringkali memenangkan juara lomba mewarnai. Ibu itu berharap kalau keponakannya yang ikut, bisa menjadi juara. Tapi tentu saja nanti yang akan tertulis disertifikat adalah nama anaknya. Begitu juga dengan piala dan hadiahnya. Semua untuk anaknya kalau sampai menang.

Chi gagal paham sama pemikiran ibu tersebut. Seandainya keponakannya menang, kebanggaan seperti apa yang akan dirasakan oleh anak? Apa nikmatnya, sih, merasakan kebanggan semu? Lagipula, bukankah itu sama aja dengan mengajarkan anak untuk berbohong? Mengajarkan keponakannya berbohong juga.


Mengatur Anak


Pernah lihat reality show "Abby's Ultimate Dance Competition"? Tayang di Lifetime Channel. Chi kadang-kadang aja nontonnya. Abis suka gregetan sama tingkah laku para orang tua. Udahlah sesama orang tua saling sikut-sikutan. Pada merasa anaknya yang paling hebat. Kadang ribut juga sama Abby, sang pelatih. Orang tuanya terlalu mengatur, sampe Abby jadinya suka pusing dan nyinyir. Padahal kan dia pelatih anak-anak mereka.

Kenyataannya, Chi juga pernah melihat hal seperti itu. Beberapa kali saat menemani Keke lomba mewarnai. Saat lomba, anak gak boleh ditemani. Orang tua atau siapapun yang tidak ikut berlomba harus berada di luar batas area. Ya, kadang batasnya hanya dikelilingi oleh tali. Karena bukan dibatasi oleh tembok, di sinilah suka ada aja orang tua yang mencoba curi-curi kesempatan untuk ikut campur.

Ketika juri yang berkeliling sedang ke arah lain, orang tua ini ada yang memanggil anaknya. Tentu dengan caranya alias tidak berteriak secara lancang. Tapi bagaimana caranya asalkan anaknya menoleh ke arah orang tua. Setelah itu, anaknya diatur-atur harus pakai warna apa aja. Misalnya, untuk pohon harus hijau, awan harus biru, dan lain sebagainya. Kalau anaknya tidak menoleh atau tidak menuruti keinginan orang tuanya, tetap mewarnai sesuka anak, biasanya orang tua seperti ini akan ngedumel berkepanjangan. Beberapa kali Chi menemukan yang seperti ini. Sampe pusing mendengarnya. Yang begini juga mengajarkan anak untuk curang.


Menyalahkan Juri atau Peserta Lain


Keke: "Bun, tim futsal kalah!"
Bunda: "Yaaa ... Gagal jadi juara bertahan, dong?"
Keke: "Iya. Tadi langsung Keke sorakin aja tim yang lawan. Keke teriakin 'Huuu!' Gak cuma Keke, sih, yang sorakin."
Bunda: "Ih, gak boleh begitu."
Keke: "Abis kesel."
Bunda: "Tapi tim lawan main curang, gak?"
Keke: "Enggak, sih."
Bunda: "Kalau gitu fair, dong, menangnya. Gak boleh disorakin. Tapi, kalaupun curang tetep gak boleh disorakin, sih. Biar yang berwenang yang mengurus kalau memang ada kecurangan."

Siapa, sih, yang gak seneng kalau menang kompetisi? Siapa yang gak sedih kalau kalah? Tapi harus gak, sih, langsung menyalahkan dan menuduh berbagai pihak hanya karena kalah? Kekalahan yang dialami gak selalu karena ada kecurangan. Bisa jadi pihak lawan memang lebih baik. Kalaupun kita sudah merasa maksimal, gak jadi jaminan akan menang. Memang pihak lain gak berusaha maksimal juga?

Kalau yakin ada kecurangan, sebaiknya dilaporkan dengan membawa bukti-bukti. Tapi kalau hanya sekadar menuduh tanpa alasan, hanya karena merasa kesal telah kalah rasanya salah, deh. Karena seharusnya kompetisi tidak hanya tentang mengalahkan lawan. Tapi bagaimana bisa berjiwa besar ketika kalah. Dan tidak sombong ketika menang. Sayangnya ada beberapa orang tua yang justru malah mengompori atau mengajarkan kepada anak kalau sampai kalah berarti sudah pasti ada kecurangan. Terlalu yakin kalau anaknya tidak terkalahkan.

Pernah ada di salah satu episode Jo Frost, dimana ada seorang anak yang sangat senang ikut kompetisi. Tapi ketika kalah itu seperti bencana buat keluarga. Karena bisa berhari-hari anaknya ngambek dan ngamuk di rumah. Saran Jo Frost kepada orang tua si anak (bahkan di depan anaknya langsung) adalah meminta untuk berhenti ikut lomba selama attitudenya masih seperti itu. Ya, karena (sekali lagi) kompetisi bukan hanya tentang menang ... menang ... dan menang.

Kalau Chi coba menerka, seperti alasan kenapa orang tua melakukan hal-hal tersebut karena ingin anaknya senang bahkan bangga. Gak ingin anaknya jadi sedih karena kalah. Toss dulu kalau begitu. Chi juga ikut bangga kalau Keke atau Nai menang. Dan ikutan sedih kalau mereka kalah. Tapi biarkan semua berjalan secara natural aja, lah.

Ketika mereka berkompetisi, ajarkan untuk mempunyai semangat sejak persiapan. Beruasaha maksimal saat kompetisi. Dan, terima hasilnya dengan lapang dada. Ambil positifnya aja, malah bagus kalau anak bisa merasakan sedih saat kalah. Seperti halnya merasakan senang saat menang. Daripada gak ada ekspresi sama sekali? Yang penting adalah jangan berlebihan. Euforia saat menang atau ngamuk saat kalah.

Beberapa kali melihat langsung kejadian seperti itu. Pertanyaannya, apa Chi gak pernah menegur? Chi memang gak pernah menegur. Alasannya karena gak kenal dengan orang-orang tersebut. Apa iya kalau trus Chi tegur dengan cara baik-baik sekalipun mereka akan terima? Kalau jadi marah bagaimana? Males aja rasanya ngelihat ribut-ribut di depan anak-anak. Tapi setidaknya Chi gak mau melakukan 3 hal itu. Semoga banyak orang tua lain yang juga tidak melakukan 3 hal tersebut saat anak sedang berkompetisi, ya :)

Setiap orang tua memang ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Tapi, pikirkan lagi tentang yang dimaksud yang terbaik. Jangan hanya karena ingin memberikan kebahagiaan tapi sebetulnya kebahagiaan semu. Atau (secara gak sadar) mengajarkan sesuatu yang gak baik.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)

Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^