Sayap-Sayap Mimpi

By Keke Naima - December 01, 2014

 

Sinopsis - Sebuah kisah yang terinspirasi oleh perjuangan beberapa kaum muda untuk menemani anak-anak yang dipinggirkan, untuk mewujudkan mimpi berkembang menjadi pribadi yang berintegritas. Perjuangan berawal dari pertemanan Sukma, Raga, dan beberapa mahasiswa dengan anak-anak jalanan, anak-anak pemukiman urban seperti Genta, Atta, Riska, dan Wiwi.

Kepercayaan yang kemudian tumbuh diantara mereka, menumbuhkan kebiasaan berdialog. Merencanakan segala hal yang dibutuhkan demi kebaikan anak. Termasuk mendirikan Rumah Kita, tempat mereka belajar hidup. Perjalanan pertemanan masih berlanjut, meskipun sudah ada regenerasi. Peran-peran Sukma dan Raga yang sudah mulai menua digantikan oleh Genta dan teman-temannya.




Adegan anak-anak pinggiran sedang tertidur di dalam rumah tanpa kasur atau alas lainnya. Dinding rumah yang hanya berlapisan koran dan ada bagian yang sobek merupakan adegan pembuka teater musikal Sayap-Sayap Mimpi.

Satu per satu adegan berganti. Kehidupan yang banyak Chi tau lewat berbagai media atau melihat langsung ketika berada di luar rumah. Rumah dan lingkungan yang kumuh. Ancaman dan berujung dengan kerusuhan ketika tempat mereka bernaung akan digusur karena 'kalah' dengan rencana pembangunan kota. Keluarga yang kurang harmonis gara-gara urusan ekonomi. Beban sekolah yang berat, dan sebagai anak mereka pun harus ikut mencari nafkah dengan mengamen. Dikejar dan ditangkap tramtib. Menyogok tramtib ketika salah seorang dari mereka ditangkap. Demo menuntut teman mereka di lepas setelah ditangkap tramtib. Perkelahian sesama anak jalanan. Bener-bener potret kehidupan masyarakat pinggiran. Kehidupan yang berat terutama bagi anak-anak.


Pasukan tramtib yang berseragam orange ini menari dengan lucu. Tapi, kalau dalam dunia nyata kayaknya gak ada lucu-lucunya, ya hehe


Selain konflik kehidupan masyarakat pinggiran, tokoh Sukma dan Raga adalah mahasiswa yang peduli dengan kehidupan mereka. Tapi, bukan berarti tanpa konflik. Sukma dan Raga sempat berbeda pendapat walopun mempunyai kepedulian yang sama terhadap anak-anak pinggiran.

Raga berpikir cara untuk menghadapi pemimpin yang gak adil dan korup adalah dengan berdemo. Sukma tidak melarang, hanya saja kalaupun demonya berhasil paling cuma sesaat. Apalagi demo itu seringkali rusuh. Gak baik untuk anak-anak. Sukma ingin berbuat sesuatu yang lebih soft tapi berhasil untuk jangka panjang. Dia mengajarkan pelajaran ke anak-anak apabila sedang tidak kuliah. Menanamkan karakter baik, misalnya membiasakan untuk selalu berdiskusi apabila ada masalah. Bukan dengan kekerasan. Sukma ingin anak-anak pinggiran pun merasa berhak mempunyai mimpi yang tinggi. Usaha Sukma perlahan-lahan mulai membuahkan hasil. Anak-anak mulai mau berubah. Donatur pun mulai berdatangan hingga mereka memiliki Rumah Kita.


Masyarakat pinggiran berdemo ketika salah seorang dari mereka ditangkap tramtib


Terlalu beratkah tema ini untuk tontonan anak-anak? Temanya memang cukup serius. Tapi, karena dibuat secara musikal, Chi rasa anak-anak juga tetap bisa menikmati. Apalagi dibeberapa adegan, ada sentuhan komedinya. Menghibur tanpa menghilangkan maksud ceritanya.

Para pemain musik yang bikin pertunjukkan juga semakin keren.
Foto koleksi Fanpage Sanggar Anak Akar


Pertunjukkan teater musikal Sanggar Akar kali ini merupakan refleksi 20 tahun Sanggar Anak Akar. Selama 20 tahun perjalanan, Sanggar Akar telah membuat berbagai pertunjukkan. Tapi, untuk tahun ini, jalan ceritanya merupakan kisah nyata berdirinya Sanggar Akar.

Sanggar Anak Akar merupakan organisasi yang peduli terhadap persoalan anak-anak, khususnya anak-anak pinggiran di ibukota. Sebagai tindakan untuk newujudkan tempat yang aman dan nyaman untuk anak-anak, Sanggar Anak Akar merupakan seni sebagai salah satu media pembelajaran
Berkesenian terbukti strategis mewujudkan visi dan misi dalam mengembangkan pendidikan dan budaya yang menghormati hak anak. Sebagai bagian dari kesenian, teater merupakan salah media yang dipilih untuk menyuarakan kegelisahan terhadap hilang dan terampasnya hak-hak anak, serta kaum pinggiran. Melalui teater, Sanggar Anak Akar mencoba membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya kehidupan sosial yang merata, kesejahteraan semata-mata milik orang berada. Anak-anak dan kaum pinggiran pun memiliki hak yang sama.

Dengan harga tiket berkisar Rp50.000,00 s/d Rp150.000,00 sebetulnya Chi gak berpikir akan mendapatkan pertunjukkan yang 'WOW'. Alasan utama Chi pengen nonton adalah ingin memperlihatkan ke Keke dan Nai kalau anak-anak pinggiran pun bisa punya kegiatan positif. Dan, berharap Keke juga Nai bisa mengambil pelajaran dari semangta anak-anak jalanan itu. Alasan keduanya adalah berharap di pentas tersebut akan melihat musik jalanan ala Stomp.

Tampilan yang Chi tunggu-tunggu. Pertunjukkan musik jalanan


Ternyata, perkiraan Chi salah. Pertunjukkannya oke banget. Dikemas secara profesional. Yang langsung disuka oleh anak-anak adalah musiknya. Musiknya live, bukan dari kaset rekaman. Memang enak banget denger musik-musiknya walopun semua lagu yang dibawakan belum pernah kami dengar sebelumnya. Lagu-lagunya banyak. Sebagian besar pertunjukkan diisi dengan menari dan bernyanyi.

Tata artistik, koregrafi, dan masih banyak yang lainnya juga bagus banget. Bahkan suara-suara anak-anak tersebut ketika bernyanyi, enak didengar. Aktingnya juga pada natural. Mengingat mereka yang berakting adalah para anak jalanan, rasanya bikin Chi terharu banget. Menurut Keke dan Nai, dialognya juga bukan pake bahasa Indonesia yang baku. Bahasa sehari-hari, jadi enak dengernya. Mudah dimengerti juga.


Dari berbagai benda dimainkan bersama-sama menciptakan harmoni dalam bermusik :L


Tentu aja, anak-anak itu tidak bekerja sendirian. Ada orang-orang yang ahli di setiap bagian yang membantu mereka. Tapi, terlepas adanya orang-orang profesional tersebut, apa yang dilakukan anak-anak dari Sanggar Akar memang harus diacungin 1000 jempol (bahkan lebih).

Sebagus apapun sebuah pertunjukkan, tetap aja ada kekurangan. Begitu juga dengan pentas teater musikal "Sayap-Sayap Mimpi". Kekurangan yang pertama adalah durasi yang sedikit kepanjangan. Pentas berlangsung kurang lebih 2 jam 15 menit. Masalahnya, yang menonton bersama kami saat itu adalah rombongan anak sekolah TK. Sampe sekitar 1,5 jam mereka masih bisa duduk tenang. Tapi, lewat dari 1,5 jam, mulai deh pada berisik dan bersliweran. Udah mulai ada gak berah duduk tenang.



Kekurangan kedua adalah ada terucap 1 kata yang sangat kasar di salah satu dialog. Memang cuma 1 kata, tapi sempat diucapkan 2 apa 3 kali gitu, deh. Ketika kata yang sangat kasar tersebut pertama kali terucap, sempat kedengeran kekagetan pelan dari para penonton. Chi pun juga kaget. Memang benar, mudahnya berucap kata-kata kasar juga seperti menjadi bagian dari kehidupan anak jalanan. Tapi, mengingat yang menonton juga kebanyakan anak-anak, mungkin sebaiknya diperhalus tanpa mengurangi maksud dari jalan cerita. Dampingan orang tua memang perlu :)

Kekurangan terakhir adalah adanya adegan di kelas dimana sebetulnya mengkritik kurikulum 2013 yang dibilang menyusahkan dan memberatkan. Kalau dilihat dari keseluruhan cerita yang katanya tentang sejarah berdirinya Sanggar Akar, rasanya suasana kelas dengan kurikulum 2013 rada kurang nyambung. Apalagi pendidikan di Indonesia kan memang selalu menimbulkan pro-kontra, apapun bentuk kurikulumnya. Jadi, kenapa gak dibikin secara umum aja? Menggambarkan tentang dunia pendidikan yang dianggap memberatkan, apapun kurikulumnya.


Meskipun Chi merasa kritikan terhadap K-13 agak kurang nyambung dengan tema sejarah berdirinya Sanggar Anak Akar, tapi properti buku yang menggambarkan beratnya beban buku yang harus dibawa anak-anak ke sekolah setiap hari ini bagus banget. 1 buku beratnya kurang lebih 50kg. Dan, anak-anak bawanya udah gak dimasukkin ke tas, tapi di dorong hehe
Foto koleksi FB Sanggar Anak Akar


Walopun buat Chi ada 3 kekurangan. Tapi, kekurangan yang kecil dan bukan untuk dibesar-besarkan. Karena secara keseluruhan pentasnya memang bagus banget.

Selesai pertunjukkan, gak langsung bubar. Ada testimoni singkat dari Mbak Novi, perwakilan Dewan Kesenian Jakarta. Trus, berinteraksi singkat dengan penonton. Setelah selesai, gak taunya ada 'bonus' lain.

Kami sekeluarga diajak ke belakang panggung sama salah seorang teman K'Aie dari Sanggar Akar. Ketemu dan ngobrol-ngobrol sama sutradaranya, yaitu Ibe Karyanto (pendiri Sanggar Akar Anak) yang biasa dipanggi uwa oleh semua orang.


Ngobrol-ngobrol sejenak dengan sang sutradara pertunjukkan setelah selesai pentas


Uwa Ibe: "Kamu suka main drum? Waaahh, ayo latihan bareng di Sanggar Akar. Nanti tahun depan giliran kamu yang jadi salah satu pemain musik di pentas Sanggar Akar berikutnya."

Belum tentu juga tahun depan Keke ikutan pentas bersama Sanggar Akar. Tapi, ucapan uwa Ibe ke Keke tersebut menciptakan semangat baru baginya. Bahkan juga Nai. Namanya anak-anak, sesekali mereka itu kan butuh motivasi dan dukungan semangat :)

Itu baru 1 obrolan di belakan panggung. Masih ada obrolan-obrolan lainnya. Termasuk, apa ya hubungannya Sanggar Akar dengan Reza Rahardian? Ihiiiyyy! Tapi, dipostingan berikutnya aja, deh. Oiya yang belum kesampean menonton, biasanya tiap tahun mereka bikin Akarnaval. Jadi, mudah-mudahan ada lagi :)


Sayang, euy! Reza Rahardian datangnya pas pertunjukkan terakhir. Tapi, apa hubungannya dia dengan Sanggar Anak Akar, ya? Di postingan berikutnya ;)
Foto koleksi FB Sanggar Anak Akar


Keterangan : 3 foto yang tanpa watermark adalah koleksi Fanpage FB Sanggar Anak Akar

  • Share:

You Might Also Like

28 comments

  1. Kapan ya bisa nonton drama musical kayak gitu, kayaknya asyik banget deh..

    ReplyDelete
    Replies
    1. mungkin tahun depan ada lagi. Jangan lupa nonton kalau ada lagi, ya :)

      Delete
  2. mak,ada videonya nggak???pingin banget lihat drama musikal,penasaran apalagi yg live,huhuhu...

    ReplyDelete
  3. keren banget acara beginian mak,,,jadi nggak rugi walaupun bolos sekolah :)

    ReplyDelete
  4. Wah tidak sabar menunggu postingan berikutnya
    Ada hubungan apakah gerangan

    ReplyDelete
  5. wah keren bgt ya..nonton kayak ginian..

    ReplyDelete
  6. Ah seru bangeeet. Aku suka pertunjukan2 seperti ini. Apalagi produksi kolosal. Kapan ya dipentaskan di Jogja?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jogja bukannya sering ada festival2, Mak? Tapi, smeoga sanggar akar anak juga bikin pertunjukkan di Jogja :)

      Delete
  7. Asyik ya mak kalo bisa ajak anak2 kesini :)

    ReplyDelete
  8. Waaaaaaah pasti asik tuh acaranya.. waduuuuuuh itu buku apa tembok/.. tebel amat.. hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. kan ceritanya menggambarkan dunia pendidikan yang berat :)

      Delete
  9. aku suka nonton pertunjukan musikal seperti ini...keren ya mak, live on the stage...dan melihat anak-anak yang main, pasti rasanya jadi berbeda...terakhir pernah liat pentar Teater Anak Indonesia..jadi kangen nonton lagi :)

    ReplyDelete
  10. meriah banget! ampe bukunya aja setebel itu, dorong aja susah ... :)

    ReplyDelete
  11. Aaakkk.... kakang Rezaaaa.... *langsung heboh.
    Jujur Chi, saya kurang suka aslinya sama teate. Tapi yang ini boleh lah yaa.... sekilas kayak drama musikal gitu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. bukan sekilas lagi. Tapi memang pentas musikal. Bagus, lho

      Delete
  12. Sanggar Akar ini memang keren. Sering dengar namanya, meskipun memang belum pernah nonton.

    ReplyDelete
  13. Sanggar Anak Akar memang keren, aq beberapa kali juga nonton pertunjukan mereka...

    ReplyDelete
  14. seru ih... di bandung mah jarang ada acara2 ky gitu...
    sanggar anak akar bikin road show ke bandung atuh hihihi...

    ReplyDelete

Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)

Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^