Tanggung Jawab Guru

By Keke Naima - March 19, 2009

Sudah sering kali kita membaca atau mendengar tentang carut-marutnya sistem pendidikan kita. Dan betapa mirisnya nasib para guru dengan gajinya yang katanya kecil itu.

Tapi disini Chi bukan mau ngebahas hal di atas. Chi mau cerita kalo Chi punya beberapa teman atau pernah juga beberapa kali baca atau mendengar kalo masalah akademis adalah sepenuhnya tanggung jawab para guru. Temen Chi berpendapat tugasnya dia sebagai orang tua (suami & istri) adalah mencari uang. Maka sudah jadi tugasnya guru lah yang bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak-anak. Mereka sebagai orang tua gak mau di bebani lagi dengan masalah akademis, seperti menemani anak mengerjakan PR atau sekedar mengajak mereka untuk belajar. Dengan kata lain mereka tau beres. Kan mereka merasa udah membayar sejumlah uang kepada sekolah, jadi urusan sukses atau gagal menjadi tanggung jawab guru & pihak sekolah.

Chi disini termasuk yang mempunyai pendapat berbeda ya.. Chi pribadi malah merasa gak nyaman kalo gagal & suksesnya anak-anak hanya berkat campur tangan guru. Kalo anak kita sukses, kita mungkin akan memuji anak & gurunya (tapi kalo chi pasti akan merasa ada yang hilang karena gak ikut jadi tim sukses anak kita). Sementara kalo anak kita gagal, kalo chi pribadi sie akan merasa menyesal karena selama ini gak pernah mau terlibat sama sekali.

Selain itu Chi juga jadi kasian sama para guru. Chi ngerasain aja berdasarkan pengalaman diri sendiri. Chi punya 2 anak aja rasanya tuh campur-aduk. Mungkin kebanyakan yang Chi tulis di blog Chi adalah cerita bahagianya Chi sama anak-anak. Tapi sebenernya di balik itu banyak juga cerita kesel, marah, sedih, kecewa, bahkan nangis sampe sesenggukan pun pernah Chi alamin dalam mengasuh anak-anak.

Mengasuh anak-anak itu gak mudah ternyata. Dari pertama kali punya anak aja, setiap hari Chi selalu berpikir gimana caranya supaya anak Chi senang terus... Dan rasanya walopun Chi udah berusaha untuk tetap menjaga perasaan anak, pasti sesekali ketemu juga ganjalan-ganjalan. Misalnya ketika anak gak mau nurut ketika di suruh mandi, lagi mas-masanya susah makan, susah banget untuk belajar maunya main terus, dan lain-lain. Duh kalo lagi ngalamin masa seperti itu rasanya pengen ngeluarin segala emosi deh.. Tapi ya pastinya kita harus bisa menahan diri lah..

Ketika di karuniai anak kedua, jalan pun gak berarti menjadi lebih mudah. Karena anak bukanlah robot atau komputer yang bisa begitu aja di copas cara pengajarannya. Ada sesuatu hal yang dengan cepat bisa diterima Keke, tapi tidak dengan Nai. Begitu juga sebaliknya, walopun ada juga yang sama. Ya... namanya juga manusia, walaupun lahir dari rahim yang sama tapi kan punya sifat & watak sendiri-sendiri.. Jadi punya 2 anak berarti Chi & Kak Aie nyiapin 2 formula juga..

Nah sekarang balik lagi ke masalah guru. Diatas tadi Chi nulis, Chi punya 2 anak berarti ada 2 formula yang Chi bikin. Jadi kebayang gak sih berapa banyak guru harus menyiapkan formula? Katakan ada 10 murid aja di dalam kelas berarti ada 10 formula yang harus di siapkan. Wiii... apa gak pusing tuh!!

Materi yang di ajarkan seorang guru kepada muridnya mungkin sama. Tapi setiap murid pasti punya sifat, watak masing-masing. Ada yang mau duduk manis, ada yang gak mau diem asik sendiri, ada juga yang suka gangguin teman-teman sekelasnya, dll. Kemampuan pun berbeda ada yang cepat menangkap pelajaran, ada yang sedang, ada yang lambat.

Chi pribadi sih gak pernah berpikir anak yang cepat menangkap suatu pelajaran berarti lebih pintar daripada anak yang lambat. Faktor keterlambatan bisa macem-macem. Salah satunya adalah bisa jadi si anak gak cocok dengan metode yang diajarkan. Contohnya dalam pelajaran matematika aja itu ada beberapa macam metode. Ada metode kumon, jarimatika, sempoa, dll. Nah anak yang lemah dalam metode kumon bukan berarti dia lemah dalam pelajaran matematika. Coba aja diganti metodenya, dengan jarimatika misalnya. Bisa jadi dia akan menjadi nomer satu di kelasnya.

Tapi Chi pikir pasti akan berat rasanya bagi seorang guru untuk mengajarkan macam-macam metode berdasarkan kemampuan si anak. makanya sekolah biasanya kan cenderung memberikan 1 metode aja, trus kemampuannya si anak di lihat dari nilai atau ranking.

Di sinilah peran orang tua menurut Chi. Apabila anak kita dianggap lemah, kita jangan buru-buru menyalahkan pihak sekolah yang tidak mampu mengajar atau menyalahkan si anak. Coba cari tau.. Bisa jadi dia tidak lemah, hanya saja gak cocok dengan metode di sekolahnya atau ada masalah lain..

Nah itulah kenapa kalo Chi kurang sependapat kalo orang tua hanya menyerahkan sepenuhnya masalah pendidikan kepada pihak lain. Chi memang bukan seorang pekerja kantoran, tapi Chi pikir sesibuk apapun kerja kita di kantor kenapa gak sedikit menyisihkan waktu kita untuk menemani anak belajar? Paling gak di Sabtu-Minggu.

Gak perlu lah seharian, cukup sebentar saja rasanya udah cukup. Paling gak chi bisa liat itu dari ayahnya anak-anak. Sesibuk apapun ayah tetap mau menyisihkan waktu untuk mengajari anak-anak. Makasih banyak ya yah... :)

Di sini Chi gak bermaksud memberiakn penilaian yang salah kepada teman-teman Chi atau pihak-pihak lain yang mempunyai pendapat sama dengan teman-teman Chi. Chi hanya mencoba memberikan pendapat saja. Lalu kita balikin ke masing-masing aja. Karena yang paling tau konndisinya kan diri kita masing-masing.. :)

  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Terima kasih banyak sudah berkenan berkomentar di postingan ini. Mulai saat ini, setiap komen yang masuk, dimoderasi dulu :)

Plisss, jangan taro link hidup di kolom postingan, ya. Akan langsung saya delete komennya kalau taruh link hidup. Terima kasih untuk pengertiannya ^_^